Monday, March 30, 2009

Nusantara dan Khilafah Uthmaniyah



Artikel pilihan 1 :


Tajuk : Nusantara dan Khilafah Uthmaniyyah.


Sumber : http://faizn.blog.friendster.com/2008/12/khilafah-uthmaniyyah-dan-kaitannya-dengan-nusantara/



Pengaruh Khalifah terhadap kehidupan politik alam Melayu sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya Khilafah (Daulah Islamiyah). Kejayaan umat Islam mengalahkan Kerajaan Parsi (Iran) dan menduduki sebahagian besar wilayah Rom Timur, seperti Mesir, Syria, dan Palestina, di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khattab telah menempatkan Daulah Islamiyah sebagai kuasa besar dunia sejak abad ke-7 M. Ketika Khilafah diperintah Bani Umayyah (660-749 M), pemerintah di Nusantara –yang masih beragama Hindu sekalipun – mengakui kebesaran Khilafah.


Pengakuan terhadap kebesaran Khalifah dibuktikan dengan adanya 2 pucuk surat yang dikirim oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah di zaman Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz. Surat pertama ditemui dalam sebuah diwan (arkib) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan melalui Abu Ya’yub Ats-Tsaqofi, yang kemudian disampaikan melalui Al-Haytsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Al-Haytsam menceritakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:

“Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya dibuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah………”

Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya Al-Iqd Al-Farid. Petikan surat tersebut adalah seperti berikut:
“Dari Raja di Raja…; yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.”

Selain itu, Farooqi menemui sebuah arkib Utsmani yang mengandungi sebuah petisi dari Sultan Ala Al-Din Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni yang dibawa oleh Huseyn Effendi. Dalam surat ini, Aceh mengakui pemimpin Utsmani sebagai Khalifah Islam. Selain itu, surat ini juga mengandungi laporan tentang kegiatan askar Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Mekah. Oleh itu, bantuan Utsmani amat diperlukan untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus di serang oleh Farangi (Portugis) kafir.


Sulayman Al-Qanuni wafat pada tahun 974 H/1566 M tetapi permintaan Aceh mendapat sokongan Sultan Selim II (974-982 H/1566-1574 M), dengan mengeluarkan perintah kesultanan untuk menghantar sepasukan besar tentera ke Aceh. Sekitar September 975 H/1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah pakar senjata, tentera dan meriam. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama mana yang diperlukan oleh Sultan. Namun dalam perjalanan, hanya sebahagian armada besar ini yang sampai ke Aceh kerana dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir tahun 979 H/1571 M.


Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 M sebanyak 500 orang, termasuk pakar senjata, penembak, dan pakar teknikal. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Melaka pada tahun 1568 M.


Kehadiran armada tentera Kurtoglu Hizir Reis disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian digelar sebagai gabenor (wali) Aceh yang merupakan utusan rasmi khalifah yang ditempatkan di daerah tersebut. Ini menunjukkan bahawa hubungan Nusantara dengan Khilafah Utsmaniyah bukanlah hanya hubungan persaudaraan melainkan hubungan politik kenegaraan. Adanya wali Turki di Aceh lebih mengisyaratkan bahawa Aceh merupakan sebahagian dari Khilafah Islamiyah.


Banyak institusi politik melayu di Nusantara mendapatkan gelaran sultan dari pemerintah tertentu di Timur Tengah. Pada tahun 1048H/1638 M, pemimpin Banten, Abd al-Qodir (berkuasa 1037-1063H/1626-1651) dianugerahkan gelaran sultan oleh Syarif Mekah sebagai hasil dari misi khusus yang dikirim olehnya untuk tujuan itu ke Tanah Suci. Sementara itu, kesultanan Aceh terkenal mempunyai hubungan erat dengan pemerintah Turki Ustmani dan Haramain. Begitu juga Palembang (Sumatera) dan Makasar yang turut menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekah. Pada ketika itu, para penguasa Mekah merupakan sebahagian dari Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki.


Dari penggunaan istilah, kesultanan Islam di Nusantara sering mengaitkan dirinya dan tidak terpisah dari kekhalifahan. Beberapa kitab Jawi klasik mencatatkan perkara ini. Hikayat Raja-raja Pasai (hal. 58, 61-62, 64), misalnya, memanggil nama rasmi kesultanan Samudra Pasai sebagai “Samudera Dar al-Islam”. Istilah Dar al-Islam juga digunakan di dalam kitab Undang-undang Pahang untuk memanggil kesultanan Pahang. Nur al-Din al-Raniri, dalam Bustan al-Salatin (misalnya, pada hlm. 31, 32, 47), menyebut kesultanan Aceh sebagai Dar al-Salam. Istilah ini juga digunakan di Pattani ketika pemimpin setempat, Paya Tu Naqpa, masuk Islam dan mengambil nama Sultan Ismail Shah Zill Allah fi-Alam yang bertakhta di negeri Pattani Dar al-Salam (Hikayat Patani, 1970:75).



Dalam ilmu politik Islam klasik, dunia ini terbahagi dua, yaitu Dar al-Islam dan Dar al-Harb. Dar al-Islam merupakan daerah yang diterapkan hukum Islam dan keamanannya ada pada tangan kaum Muslim. Sedangkan Dar al-Harb adalah lawan dari kata Dar al-Islam. Penggunaan istilah “Dar al-Islam” atau “Dar al-Salam” menunjukkan bahwa para pemerintah Melayu menerima konsep geopolitik Islam tentang pembahagian dua wilayah dunia itu.


Konsep geopolitik ini semakin jelas ketika bangsa-bangsa Eropah —dimulai oleh “bangsa Peringgi” (Portugis) yang kemudian disusul bangsa-bangsa Eropah lainnya, khususnya Belanda dan Inggris— mulai bermaharajalela di kawasan Lautan India dan Selat Melaka (Sulalat al-Salatin, 1979:244-246). Mereka melakukan penjajahan fizikal dan menyebarkan agama Kristian.


Khilafah Turki Uthmaniyah, seperti disebutkan oleh orientalis, Hurgronje (1994, halaman 1631), bersifat pro-aktif dalam memberikan perhatian kepada penderitaan kaum Muslim di Indonesia dengan cara membuka perwakilan pemerintahannya (konsulat) di Batavia pada akhir abad ke-19. Para kedutaan Turki berjanji kepada umat Islam yang ada di Batavia untuk memperjuangkan pembebasan hak-hak orang-orang Arab sederajat dengan orang-orang Eropah. Selain itu, Turki juga akan berusaha supaya seluruh kaum Muslim di Hindia Belanda bebas dari penindasan Belanda.


Lebih dari semua itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan dunia Islam lainnya. Syarif Mekah mengirim utusannya ke Aceh seorang ulama bernama Syekh Abdullah Kan’an sebagai guru dan muballigh. Sekitar tahun 1582, datang 2 orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syekh Abdul Khayr dan Syekh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani dan Abdul Rauf al-Singkeli.


Abdul Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyat al-Din Shah menjadi Kadi dengan gelaran Qadi al-Malik al-Adil yang kosong kerana Nur al-Din Al-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdul Rauf menerima tawaran tersebut. Beliau menjadi qadi dengan sebutan Qadi al-Malik al-Adil. Abdul Rauf telah diminta oleh Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai rujukan (qaanun) penerapan syariat Islam. Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’at al-Tullab.
Berbagai kenyataan sejarah tadi menegaskan adanya pengakuan dan hubungan erat antara Alam Melayu dengan Khilafah Uthmaniyah. Bahkan, bukan hanya hubungan persaudaraan atau persahabatan tetapi adalah hubungan ‘kesatuan’ sebahagian dari Khilafah Utsmaniyah (Dar al-Islam).




PENJAGA PERJALANAN HAJI NUSANTARA


Kedudukan Khilafah Uthmaniyah sebagai khilafah Islam, terutama setelah ‘futuhat’(pembukaan) ke atas Istanbul (Konstantinopel), ibunegeri Rom Timur, pada 857 H/1453 M, telah menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.” Istilah “Rum” tersebar sebagai sebutan kepada Kesultanan Turki Utsmani. Mulai ketika itu, kekuatan politik dan budaya Rum (Turki Utsmani) tersebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke alam Melayu.


Kekuatan politik dan ketenteraan Khilafah Utsmaniyah mulai terasa di kawasan lautan India pada awal abad ke-16. Sebagai khalifah kaum Muslim, Turki Utsmani memiliki kedudukan sebagai ‘khadimul haramayn’ (penjaga dua tanah haram, iaitu Mekah dan Madinah). Pada kedudukan ini, para Sultan Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh laluan haji di wilayah kekuasaan Utsmani ditempatkan di bawah kawalannya. Rombongan haji dapat menuju Mekah tanpa halangan atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis. Pada 954 H/1538 M, Sultan Sulayman I (berkuasa 928 H/1520-1566 M) mengirimkan armada yang kuat di bawah Gabenor Mesir, Khadim Sulayman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuhan yang dikuasai Portugis untuk mengamankan perjalanan haji ke Jeddah.


Khilafah Uthmaniyah juga mengamankan laluan jamaah haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudera Hindia. Kehadiran angkatan laut Utsmani di Lautan Hindia pada 904 H/1498 M tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya penglibatan Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Ini memberi sumbangan penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai kesan sampingan perjalanan ibadah haji. Pada saat yang sama Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan kekuatannya di kawasan Teluk Parsi, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16.


Berkaitan dengan mengamankan laluan haji, Selman Reis (936H/1528M), laksamana Khilafah Uthmaniyah di Laut Merah, terus memantau pergerakan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan di Istanbul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan ialah seperti berikut:
“(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuhan Melaka yang berhadapan dengan Sumatera…. Oleh itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insyaAllah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran menyeluruh mereka tidak dapat dielakkan lagi, kerana satu benteng tidak boleh menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk penentangan yang bersepadu.”
Laporan ini memang cukup beralasan, kerana pada tahun 941 H/1534 M, sebuah skuadron Portugis yang diketuai oleh Diego da Silveira menghadang beberapa kapal dari Gujarat dan Aceh melalui Selat Bab el-Mandeb di Muara Laut Merah.


BENTUK-BENTUK HUBUNGAN


Portugis meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke Timur Tengah tetapi juga ke Samudera India. Raja Portugis Emanuel I secara terang-terangan menyampaikan tujuan utama ekspedisi tersebut dengan mengatakan, “Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristian, dan merampas kekayaan orang-orang Timur”. Khilafah Uthmaniyah tidak berdiam diri. Pada tahun 925H/1519 M, Portugis di Melaka digemparkan oleh berita tentang penghantaran armada ‘Utsmani’ untuk membebaskan Muslim Melaka dari penjajahan kafir. Khabar ini tentu saja sangat menggembirakan umat Islam setempat.


Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik takhta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, ia menyedari keperluan Aceh untuk meminta bantuan ketenteraan dari Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Melaka, tetapi juga untuk menakluk wilayah lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Habsyah. Pasukan Khilafah 160 orang dan 200 orang askar dari Malabar, membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Al-Kahhar selanjutnya mengerahkan untuk menakluk wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, anak saudara Pasya Utsmani di Kaherah.


Seorang sejarawan Universiti Kebangsaan Malaysia, Lukman Taib, mengakui adanya bantuan Khilafah Uthmaniyah dalam penaklukan terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Taib, perkara ini merupakan ungkapan perpaduan umat Islam yang memungkinkan Khilafah Uthmaniyah melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh. Bahkan, Khilafah mendirikan akademi tentera di Aceh bernama ‘Askeri Beytul Mukaddes’ yang diubah menjadi ‘Askar Baitul Maqdis’ yang lebih sesuai dengan loghat Aceh. Maktab ketenteraan ini merupakan pusat yang melahirkan pahlawan dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Demikianlah, hubungan Aceh dengan Khilafah yang sangat akrab. Aceh merupakan sebahagian dari wilayah Khilafah. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Khilafah sebagai persoalan dalam negeri yang mesti segera diselesaikan.


Nur Al-Din Al-Raniri dalam Bustan Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk mengadap Khalifah. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji. Pada Jun 1562 M, utusan Aceh itu tiba di Istanbul untuk meminta bantuan ketenteraan Uthmaniyah untuk menghadapi Portugis. Duta itu dapat mengelak dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia mendapat bantuan Khilafah, dan menolong Aceh membangkitkan askarnya sehingga dapat menakluk Aru dan Johor pada 973 H/1564 M.


Hubungan Aceh dengan Khilafah terus berlanjutan, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti Al-Qahhar Ke2 iaitu Sultan Mansyur Syah (985-998 H/1577-1588 M) memperbaharui hubungan politik dan ketenteraan dengan Khilafah. Hal ini disahkan oleh sumber sejarah Portugis. Uskup Jorge de Lemos, setiausaha Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993 H/1585 M, melaporkan kepada Lisbon bahawa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khalifah Utsmani untuk mendapatkan bantuan ketenteraan untuk melancarkan peperangan baru terhadap Portugis. Pemerintah Aceh berikutnya, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan telah melanjutkan lagi hubungan politik dengan Turki. Bahkan, Khilafah Uthmaniyah dikatakan telah mengirim sebuah bintang kehormat kepada Sultan Aceh, dan mengizinkan kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Khilafah.


Hubungan akrab antara Acheh dan Khilafah Othmaniah telah berperanan mempertahankan kemerdekaannya selama lebih 300 tahun. Kapal-kapal atau perahu yang digunakan Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil yang laju dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau tongkang yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujerat. Dua daerah ini merupakan wilayah Khilafah Uthmaniyah. Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000 tan. Kapal-kapal besar dari Turki dilengkapi meriam dan senjata lain digunakan Aceh untuk menyerang penjajah Eropah yang mengganggu wilayah-wilayah muslim di Nusantara. Aceh tampil sebagai kekuatan besar yang amat ditakuti Portugis kerana diperkuat oleh pakar senjata dari Turki sebagai bantuan Khilafah kepada Aceh.


Menurut sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (1016-1046 H/1607-1636 M) mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga buah kapal. Ia tiba di Istanbul setelah belayar dua setengah tahun melalui Tanjung Harapan. Ketika misi ini mereka kembali ke Aceh dengan bantuan senjata, pakar tentera, dan sepucuk surat tentang persahabatan Uthmani dan hubungannya dengan Aceh. 12 pakar tentera itu dipanggil sebagai pahlawan di Aceh. Mereka juga dikatakan begitu ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda, tidak hanya dalam membina benteng yang kukuh di Banda Aceh, tetapi juga untuk membina istana kesultanan.


Kesan kejayaan Khilafah Utsmaniyah menghalang Portugis di Lautan Hindi tersebut amat besar. Diantaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan jalan-jalan untuk menunaikan haji; kesinambungan pertukaran barang-barang India dengan pedagang Eropah di pasar Aleppo (Syria), Kaherah, dan Istanbul; serta kesinambungan laluan perdagangan antara India dan Indonesia dengan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah.


Hubungan beberapa kesultanan di Nusantara dengan Khilafah Uthmaniyah yang berpusat di Turki nampak jelas. Misalnya, Islam masuk Buton (Sulawesi Selatan) abad 16M. Silsilah Raja-Raja Buton menunjukkan bahawa setelah masuk Islam, Lakilaponto dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din (penegak agama) yang dilantik oleh Syekh Abd al-Wahid dari Mekah. Sejak itu, dia dikenali sebagai Sultan Marhum dan semenjak itu juga nama sultan disebut dalam khutbah Jumaat. Menurut sumber setempat, penggunaan gelaran ‘sultan’ ini berlaku setelah dipersetujui Khilafah Uthmaniyah (ada juga yang mengatakan dari penguasa Mekah). Syeikh Wahid mengirim khabar kepada Khalifah di Turki. Realiti ini menunjukkan Mekah berada dalam kepemimpinan Khilafah, dan Buton memiliki hubungan ‘struktur’ secara tidak kuat dengan Khilafah Turki Utsmani melalui perantaraan Syekh Wahid dari Mekah.


Sementara itu, di wilayah Sumatera Barat, Pemerintah Alam Minangkabau yang memanggil dirinya sebagai “Aour Allum Maharaja Diraja” dipercayai adalah adik lelaki sultan Ruhum (Rum). Orang Minangkabau percaya bahawa pemerintah pertama mereka adalah keturunan Khalifah Rum (Utsmani) yang ditugaskan untuk menjadi Syarif di wilayah tersebut. Ini memberikan maklumat bahawa kesultanan tersebut memiliki hubungan dengan Khilafah Uthmaniyah.


Di samping adanya hubungan langsung dengan Khilafah Uthmaniyah, ada beberapa kesultanan yang berhubungan secara tidak langsung, misalnya kesultanan Ternate. Pada tahun 1570an, ketika perang Soya-soya melawan Portugis, Sultan Ternate, Baabullah, dibantu oleh para sangaji dari Nusa Tenggara yang terkenal dengan armada perahu dan Demak dengan askar Jawa. Begitu juga Aceh dengan armada laut yang perkasa dan kekuatan 30,000 buah kapal perang telah menyekat pelabuhan Sumatera dan menyekat pengiriman bahan makanan dan peluru Portugis melalui India dan Selat Melaka. Musuh Ternate adalah musuh Demak.


Berdasarkan beberapa hakikat ini jelas bahawa kesultanan Islam di Nusantara memiliki hubungan dengan Khilafah Utsmaniyah. Bentuk hubungan tersebut berbentuk perdagangan, ketenteraan, politik, dakwah, dan kekuasaan.


SAMBUTAN (Reaksi - Fikrul) UMAT ISLAM DI ALAM MELAYU TERHADAP PENYATUAN UMAT

Semasa Khilafah Islamiyah dalam kesusahan, di mana beberapa wilayahnya mula diduduki oleh penjajah, muncul usaha untuk mengukuhkan kesatuan Islam yang diterajui oleh Sultan Abdul Hamid II. Beliau mengatakan, “Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan kaum Muslim di belahan bumi yang lain. Kita wajib saling mendekati dalam ikatan yang amat kuat. Sebab, tidak ada harapan lagi di masa depan kecuali dengan kesatuan ini.” Inilah gagasan yang dikenali sebagai Pan-Islamisme. Usaha menguatkan kesatuan Islam sampai ke Nusantara.


Snouck Hourgronje, penasihat Belanda, sentiasa memberikan maklumat kepada pemerintah Hindia Belanda bahawa ada usaha gerakan Pan-Islamisme untuk memujuk raja-raja dan pembesar-pembesar Hindia Belanda (kaum Muslim) untuk datang ke Istana Sultan Abdul Hamid II di Istanbul. Tujuan jangka pendek yang ingin dicapai di Batavia, mengikut ulasan Snouck, adalah untuk mendapatkan persamaan kedudukan orang-orang Arab dan kemudian untuk semua orang Islam sederajat dengan orang-orang Eropah. Jika tujuan ini sudah tercapai maka orang-orang Islam tidak lagi sukar mendapat kedudukan yang lebih tinggi dari orang Eropah, bahkan boleh mengalahkan mereka sama sekali. Pemerintah Hindia Belanda amat risau bila kaum Muslim tahu bahawa Sultan Abdul Hamid II menyediakan biasiswa untuk pemuda Islam. Atas pembiayaan Sultan Abdul Hamid II, mereka masuk ke sekolah-sekolah yang tinggi untuk menerima pendidikan ilmiah dan mendapat kesedaran yang mendalam tentang kelebihan setiap muslim atas orang-orang kafir. Kesedaran dan kehinaan yang mendalam yang tidak harus mereka terima dan membiarkan diri mereka diperintah oleh orang kafir. Jika mereka telah menyelesaikan pelajaran dan telah menamatkan ibadah haji ke Mekah, mereka diharapkan dapat berperanan mengembangkan pemikiran Islam di daerah mereka.
Usaha pengukuhan kesatuan ini terus dilakukan. Pada tahun 1904 telah ada 7 hingga 8 konsul (utusan) telah ditempatkan Khilafah Utsmaniyah di Hindia Belanda. Diantara kegiatan para duta ini adalah mengedar mushaf al-Quran atas nama sultan, dan karya-karya teologi Islam dalam bahasa Melayu yang dicetak di Istanbul. Di antara kitab tersebut adalah tafsir al-Quran yang di halaman judulnya menyebut “Sultan Turki Raja semua orang Islam”. Istilah Raja di sini sebenarnya adalah kata al-Malik yang bererti pemimpin, dan semua orang Islam mengantikan istilah Muslimin. Jadi, sebutan tersebut menunjukkan pengisytiharan Khalifah bahawa beliau adalah pemerintah umat Islam sedunia. Hal ini menunjukkan bahawa khilafah Uthmaniyah terus berusaha untuk menyatukan kesultanan Melayu ke dalamnya, termasuk
melalui penyebaran al-Quran.


Sebagai tindakbalas terhadap gerakan penyatuan Islam oleh Khilafah Uthmaniyah ini, terdapat beberapa pertubuhan pergerakan Islam di Alam Melayu yang mendokong gerakan tersebut di Hindia Belanda. Abu Bakar Atjeh menyebutkan di antara pertubuhan itu adalah Jam’iyat Khoir yang didirikan pada 17 Julai 1905 oleh keturunan Arab. Karangan-karangan pergerakan Islam ini di Nusantara dimuatkan dalam akhbar dan majalah di Istanbul, di antaranya majalah Al-Manar. Khalifah Abdul Hamid II di Istanbul pernah mengirim utusannya ke Indonesia, Ahmed Amin Bey, atas permintaan dari kumpulan tersebut untuk mengkaji keadaan umat Islam di Indonesia. Akibatnya, pemerintah penjajah Hindia Belanda melarang orang-orang Arab mengunjungi beberapa daerah tertentu.


Pertubuhan pergerakan Islam lain yang muncul sebagai sambutan positif terhadap penyatuan ini adalah Sarikat Islam. Bendera Khilafah Uthmaniyah dikibarkan pada Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol perpaduan sesama muslim dan penentangan terhadap penjajahan. Ketika itu, salah satu usaha yang dilakukan Khilafah Uthmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad dengan atasnama khalifah kepada segenap umat Islam, termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai Jawa. Di antara seruan tersebut adalah:

“Wahai saudara seiman, perhatikanlah berapa negara lain menjajah dunia Islam. India yang luas dan berpenduduk 100 juta muslim dijajah oleh sekelompok kecil musuh dari orang-orang kafir Inggeris. 40 juta muslim Jawa dijajah oleh Belanda. Maghribi, Algeria, Tunisa, Mesir dan Sudan menderita dibawah cengkaman musuh Tuhan dan RasulNya. Juga Kuzestan, berada di bawah tekanan penjajah musuh iman. Parsi dipecah-belah. Bahkan takhta khilafah pun, oleh musuh-musuh Tuhan selalu ditentang dengan segala macam cara”.


Hakikat ini memberikan gambaran bagaimana Khilafah Uthmaniyah member dokongan dan bantuan kepada kaum Muslim Indonesia serta memandangnya sebagai satu tubuh, bahkan menyeru untuk membebaskan diri dari penjajah musuh iman. Dalam hal ini kaum Muslim memberikan sambutan positif terhadap usaha pengukuhan kesatuan umat Islam sedunia tersebut.




Artikel Pilihan 2

Sumber : http://members.fortunecity.com/4mas1/turki_sumbangan.htm



Sebelum ini tidak ada sebuah kerajaan Islam yang mampu bertahan selama 600 tahun dan meliputi kawasan seluas kerajaan Uthmaniyah. Kerajaan Uthmaniyah bermula pada sekitar awal abad ke-14 dan berakhir pada awal abad ke-20. Kerajaan ini telah mewujudkan sebuah empayar yang merupakan kesatuan orang Islam di seluruh dunia. Selain Baghdad, Istanbul juga telah dianggap pusat pentadbiran Islam. Apabila Makkah telah dikuasai oleh Sultan Selim I pada tahun 1517, kerajaan Uthamaniyah juga dilihat sebagai pelindung umat Islam di seluruh dunia.


Suleiman I telah memperkenalkan sistem perundangan yang mempertahankan dan membela nyawa, harta, dan kehormatan setiap individu tanpa mengenal bangsa dan agama. Undang-undang ini dikenali sebagai kanun Suleiman.


Dalam sistem organisasi dan pentabiran perundangan Islam. Jawatan seperti kadi dan mufti telah menjadi sebahagian daripada organisasi pentadbiran agama Islam. Jawatan Sheikh-ul-Islam, iaitu ketua ulama diperkenalkan untuk mengeluarkan fatwa. Koleksi fatwa yang dikeluarkan oleh beliau merupakan salah satu sumbangan kerajaan Uthmaniyah kepada agama dan sains undang-undang yang kekal digunakan hingga hari ini.


Dalam aspek ekonomi pula, kerajaan Uthmaniyah banyak bergantung kepada kedudukan geografi Istanbul sebagai pusat atau kota pertemuan dalam rangkaian perdagangan diantara timur dan barat serta antara dunia Islam dengan dunia bukan Islam. Rangkaian perdagangan kerajaan Uthmaniyah meliputi pelabuhan di sepanjang Laut Tengah, Laut Merah, Laut Hindi, dan Laut Mediterranean. Rangkaian pelabuhan yang dikuasai oleh kerajaan Uthmaniyah juga telah membentuk rangkaian perdagangan dunia Islam yang berpusat di Istanbul.



Golongan atasan Eropah mengamalkan sistem bangsawan yang berasaskan keturunan dalam susun lapis masyarakat seblum kedatangan Islam di Eropah. Dengan penguasaan kerajaan Uthmaniyah di Eropah terutamanya di kawasan Balkan telah memperkenalkan sistem yang menjana kecemerlangan individu. Pengenalan sistem ini bermakna pembahagian masyarakat bergantung pada hasil usaha setiap individu. Oleh itu, ia membawa kepada mobiliti sosial yang lebih luas dalam masyarakat Eropah.



Sumbangan kerajaan Uthmaniyah dalam bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, penerbitan dan penterjemahan amat besar. Sistem pendidikan Uthmaniyah yang mempengaruhi perkembangan pendidikan dunia Islam ialah sistem madrasah. Selain itu, terdapat juga sistem pendidikan lain seperti sekolah pengetahuan akademik, sekolah sastera, maktab tentera, maktab teknik dan kolej perubatan. Antara sumbangan terbesar golongan intelektual adalah penulisan ensiklopedia. Pada ketika ini kepentingan ilmu membawa kepada kepentingan perpustakaan. Kerajaan Uthmaniyah telah membina perpustakaan di masjid, hospital dan juga di rumah. Sumbangan Uthmaniyah yang kekal sehingga kini ialah seni binanya terutamanya seni bina masjid.


Peranan Britain/British untuk menjatuhkan Kalifah :






Sunday, March 29, 2009

Bila Sirih Pulang Ke Gagang




Artikel Oleh Sangtawal Sakranta...



Tidak ada kata-kata yang boleh digambarkan oleh seluruh perwakilan dan ahli UMNO dengan kehadiran Tun Dr Mahathir ,seorang Bangsawan Sejati Bangsa Melayu yang sanggup hadir tanpa diundang kemajlis PAU kelmarin sebagai sokongan yang tidak berbelah bagi kepada Najib dan Muhyidin.Itulah pemimpin yang punyai aura dan karismanya yang tersendiri.


Kehadiran dan kelibatnya menjadi petanda kepada bermulanya zaman keemasan melayu-islam akhir zaman! Kesanggupannya untuk naik kepentas dan bersama menjulang tangan-tangan Paklah,Najib dan Muhyidin mencerminkan sikap dan jati diri Melayu itu sendiri,ia menjadi pemangkin atau Pace maker kepada cardiovascular system Umno yang telah 5 tahun berada dalam keadaaan Ischaemia yang sebelum ini hanya menunggu masa untuk mendapat pukulan penyudah Acute Coronary Syndrome atau hampir-hampir asystole..


Kehadirannya umpama Advance CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) atau ACLS (Advance Cardiac Life Support) kepada hati- hati seluruh perwakilan UMNO.Semoga dengan adanya Pace Maker ini akan berdenyutlah kembali hati-hati ahli UMNO dan seluruh bangsa melayu-islam dengan Rhythm yang sekata dan harmoni,…ditambah pula ucapan sulung Najib sebagai Presiden UMNO yang baru ibarat 1 shock 360 Joule of fully Charging defibrillator.Ucapan Muhyidin pula ibarat 1 mg Atropine selepas 5 cycle of CPR failure,maka terjadilah satu algorithm resuscitation yang menakjubkan menyelamatkan satu Cardivascular system,telah disambut dengan tepukan gemuruh seluruh perwakilan.


Kemasukan semula Tun kedalam UMNO ibarat seorang Anaesthetist yang akan merawat,menjaga dan menyelia seorang pesakit jantung - post resuscitation care di unit CCU.Sudah pasti selepas ini proses perawatan dan penyembuhannya akan mengambil kira Holistic Approach- ibarat kata Najib..kita bukan saja mengekalkan Added Value…malah menambahkan High Value treatment kepada UMNO yang umpama satu Cardiovascular System…Sudah pasti musuh-musuh Acute Coronary Syndrome seperti Lipid jahat LDL dan kroninya iaitu Thrombotic plug akan dihapuskan dengan Antilipid / Lipitor serta anti-Thrombotic/heparin dan anti-coagulants/warfarin.


Kalau dulunya Lipid jahat ini amat memerlukan co-enzim untuk bertindak dan dia juga telah bermaharajalela di segenap pembuluh darah Cardivascular System sehingga jantung hampir-hampir menjadi 3rd degree Heart block kerana sumbatan dan sekatan yang kuat kepada pembuluh darah dan mengurangkan kelancaran perjalanan darah merah beroksigen para pejuang sejati UMNO…kini Lipid jahat perlu berhati-hati, jangan nanti bila Lipid baik iaitu HDL akan lebih dominan….LDL akan dicernakan dihati dan terus dikumuhkan keluar bersama najis dari usus!!! Ingatlah wahai Lipid jahat…bila Anaesthetis baru menjaga CCU,maka beliau sudah pasti membuat semula Lipid Profil analysis untuk mengetahui berapakah nilai peratusan sebenar Lipid jahat dan lipid baik dalam satu sample darah! DNA analysis juga mungkin akan dibuat semula untuk memastikan sipakah sebenarnya Biological Son sebenar inspite of Political Son or Son in law yang layak menerajui kepimpinan Negara dan meneruskan perjuangan bangsa melayu dan agama islam.


Mungkin gurindam lama ini sesuai untuk menggambarkan kembalinya Tun
kepangkuan UMNO :


Bagai susu dengan sakar,
Bagai cincin dengan permata,
Bagai cembul dengan tutupnya,
Sirih pulang ke gagangnya,
Bunga pulang ke tangkainya,
Buah pulang ketampuknya,
Kuah tumpah ke nasinya,
Harta pulang ke yang empunya.


Buat Najib…Tahniah dan teruskan perjuangan…
Cuma satu pinta saya….lihat dan tenunglah gambar Tun dan Isterinya diatas itu betul-betul…Lalu…ingatlah madah ini… “Hebatnya seorang Lelaki itu kerana adanya seorang isteri yang baik dibelakangnya”….isteri yang patuh,taat,bijak,merendah diri biarpun berilmu,selalu bersederhana biarpun berharta,selalu dibelakang suami memberi sokongan diwaktu senang dan susah…..ingat juga kata-kata ini… “Jatuhnya seorang pemimpin kerana seorang wanita adalah amatlah memalukan bangsa dan agama yang tercinta”…..maka berhati-hatilah bila mengemudi nakhoda Negara!!! Agar hidup terus disanjung,mati tetap terus dikenang!!!

Buat Paklah...terima kasih diucapkan...jasamu juga bakal dikenang !


Disini,saya ingin sertakan artikel menarik ucapan dari minda seorang pejuang bangsa dan agama yang sejati…saya juga selalu berpesan kepada diri saya dan orang-orang disekeliling saya supaya selalu dengar,fikir dan nilai apa yang seseorang itu kata,jangan terus lihat kepada siapa yang berkata-kata itu kerana pandangan mata selalunya buta…pandangan hati..itulah yang hakiki :


Sumber: (klik sini) atau di http://pribumiperkasa.blogspot.com/2009/03/ucapan-amanat-dr-mahathir-di.html


UCAPAN OLEH YABHG TUN DR MAHATHIR BIN MOHAMAD DI PERHIMPUNAN DAN SIDANG KEMUNCAK PRIBUMI PERKASA NEGARA DI KOMPLEKS SUKAN TNB, JALAN BANGSAR, KUALA LUMPUR PADA HARI AHAD, 22 MAC 2009


1. Terlebih dahulu saya ucap terima kasih kepada penganjur perhimpunan ini kerana menjemput saya dan memberi peluang kepada saya untuk berucap kepada hadirin.

2. Saya yakin ramai daripada kita yang hadir, terutamanya orang Melayu dan bumiputra lain, hadir kerana kita berasa kita berada dalam keadaan cemas, keadaan yang merbahaya, keadaan terancam.

3. Kenapa tidak? Kita kini diserang berkali-kali oleh berbagai pihak.

4. Ramai daripada orang lain berkata Melayu adalah kaum pendatang.

5. Melayu mengamalkan apartheid ala kulit putih Afrika Selatan.

6. Melayu tidak adil, suka menidakkan hak kaum-kaum lain.

7. Melayu sudah cukup kaya dan tidak perlu dasar Ekonomi Baru lagi.

8. Semua peluang perniagaan dan pelajaran diberi hanya kepada orang Melayu.

9. Kuasa politik dibolot oleh orang Melayu dan lain-lain.

10. Berhadapan dengan tuduhan dan tohmahan ini Melayu sekarang tidak boleh mempertahankan diri, bahkan tidak boleh bercakap berkenaan dengan bangsa mereka tanpa dituduh sebagai racist. Mereka harus terima sahaja semua tuduhan/tohmahan ini dan berdiam diri atau bersetuju sahaja. Mereka juga boleh tambah tokok kepada kecaman ini dan mereka ini akan dianggap liberal dan disanjung tinggi oleh orang lain. Sebenarnya orang Melayu sekarang berada dalam ketakutan, tidak mempunyai pemimpin yang sanggup pertahankan mereka. Sebaliknya pemimpin mereka mengerohkan lagi keadaan dengan memohon maaf walaupun kesalahan dilaku oleh orang lain.

11. Demikianlah situasi yang mereka hadapi sehingga mereka berasa mereka bersalah, tergamam dan tak dapat berkata apa-apa.

12. Keadaan hari ini lebih merbahaya daripada keadaan semasa British merancang untuk menakluk negeri-negeri Melayu dengan perancangan Malayan Union. Pada masa itu kita boleh cakap berkenaan Melayu dan tidak ada sesiapa yang akan tuduh kita sebagai racist. British pun tidak panggil kita racist. Mereka akui memang pun hak orang Melayu menuntut negeri-negeri Melayu sebagai hak orang Melayu. Semua perjanjian berkenaan dengan negeri-negeri di semenanjung mesti dibuat dengan Raja-Raja Melayu. Tidak ada siapa dari kaum laim yang berhak membuat apa-apa perjanjian.

13. Sekarang orang Melayu tidak pun boleh berkata negeri ini negeri Melayu, tidak boleh sebut negeri ini dikenali sebagai Tanah Melayu. Negeri Jepun boleh dikatakan negeri orang Jepun, negeri Korea – negeri orang Korea, negeri China – negeri orang Cina, negeri India – negeri orang India. Tetapi negeri Melayu – bukan negeri orang Melayu. Dahulu mungkin. Tetapi tidak sekarang. Sekarang Malaysia, hak orang Malaysia dan bukan hak orang Melayu. Kesanggupan dan kerelaan orang Melayu berkongsi milik negara ini tidak sedikit pun dihargai. Pemberian satu juta kerakyatan oleh Tunku Abdul Rahman Putra kepada kaum lain tidak dihargai bahkan tidak diingati, dilupakan dengan begitu sahaja.

14. Orang Melayu dikatakan kaum pendatang di negaranya sendiri. Dan kaum pendatang lain tidak boleh dipanggil kaum pendatang. Jika sesiapa berbuat demikian, mereka mesti minta maaf. Tidak perlu sesiapa minta maaf jika berkata Melayu kaum pendatang.

15. Namun saya memberanikan diri untuk bercakap sedikit berkenaan orang Melayu di Malaysia walaupun akan dituduh sebagai racist. Saya beranikan diri kerana sesungguhnya orang Melayu berada dalam keadaan cemas, dilanda oleh bermacam-macam masalah dan ancaman. Jika orang Melayu tidak dibenar bercakap berkenaan masalah mereka, maka mereka mungkin jadi kaum yang terlucut hak (dispossessed) di negara mereka sendiri. Bahaya ini benar kerana kita sudah lihat tekanan dan kehinaan terhadap bangsa kita apabila mereka dijadikan bangsa minoriti di wilayah yang dahulu adalah sebahagian daripada negeri-negeri Melayu.

16. Keadaan ini boleh berlaku kepada orang Melayu bukan sahaja kerana orang lain tetapi kerana orang Melayu sendiri. Mereka suka membinasakan diri mereka.

17. Mereka tidak mahu merebut peluang yang disedia bagi mereka. Tempat di universiti tidak diambil. Peluang perniagaan diselewengkan. Belia Melayu tidak ingin belajar, lebih berminat dengan melepak atau jadi Mat Rempit.

18. Majoriti daripada rakyat Malaysia yang terlibat dengan dadah terdiri daripada orang Melayu, yang mendapat penyakit HIV Aids kebanyakan adalah Melayu, kes rogol dan jenayah lain juga ramai orang Melayu.

19. Yang gagal dalam perniagaan juga Melayu, tidak bayar hutang Melayu, tak selesaikan kontrak juga Melayu.

20. Gejala jualan AP pun melibatkan Melayu.

21. Kita tak suka dengar semua ini. Kita malu. Tetapi jika tidak disuarakan masalah tidak akan hilang dengan sendirinya. Orang lain tahu juga. Lebih baik malu jika kita dapat sedarkan beberapa kerat daripada kita dan mereka mengubah tabiat supaya tidak melakukan yang salah lagi. Yang lain tak malu tak mengapa. Tak mungkin kita dapat sedarkan semua. Yang kena akan terus kena.

22. Dasar Ekonomi Baru dibentuk supaya dalam jangkamasa 20 tahun kita akan dapat bahagian kita sebanyak 30%. Tetapi sekarang sudah hampir 40 tahun. 20% yang dikatakan kita dapat pun dapat kerana badan-badan yang mewakili Melayu, bukan orang Melayu sendiri. Kita hendak supaya DEB diteruskan. Apa gunanya jika kita tidak mahu guna peluang yang diwujudkan? Apakah kita mahu DEB kerana nak jual AP, kontrak, lesen dan sebagainya? Lebih baik DEB tidak diteruskan dan kita tidak dapat selewengkannya. Sekurang-kurangnya kita tak akan malu kerana pelbagai ejekan yang akan dibuat kepada kita.

23. Kita bernasib baik kerana dalam bidang politk kita cekap, kita kuat, kita dapat menguasai Kerajaan selama 50 tahun. Walaupun Melayu berpecah kepada beberapa parti, bermusuh sesama sendiri, tetapi majoriti Melayu masih dapat kekalkan kuasa mereka. Mereka dihormati dan disegani.

24. Tetapi itu pun sudah terlepas daripada genggaman kita. Sekarang kita tidak kuat lagi. Parti Melayu yang terkenal sudah kalah dalam Pilihanraya Umum ke-12. Parti Melayu yang menangpun berada dalam ketakutan jika parti rakan mereka menolak mereka. Sekarang orang tidak lagi hormat kita. Apa sahaja yang dituntut orang lain, baik yang menang, baik yang kalah akan kita layan. Kita yang perlu hormati orang lain. Tersilap sikit kita minta maaf bagi pihak semua bangsa Melayu.

25. Sesungguhnya pemimpin kita yang perjuangkan kemerdekaan, yang menebus maruah kita sudah kita khianati. Mereka berjuang bermati-matian supaya kita hidup bahagia. Mereka korbankan apa sahaja yang ada pada mereka. Pemimpin Melayu hari ini, pengikut –pengikut mereka tidak tahu mengenang budi. Mereka khianati pejuang-pejuang dahulu dengan melupakan perjuangan asal kerana utamakan kepentingan diri sendiri. Biar bangsa hancur asalkan dapat kemenangan bagi diri sendiri, dapat jadi Menteri, Perdana Menteri, dapat kontrak, dapat duit.

26. Kononnya nak jadi Perdana Menteri termuda. Bukan nak majukan bangsa dan negara, hanya jawatan tertinggi untuk diri sendiri seawal mungkin. Dengan apa cara sekalipun, halal atau haram, tak mengapa asalkan boleh jadi Perdana Menteri termuda.

27. Jika kita sudah sanggup jual bangsa kita, kita jual untuk dapat duit sedikit, untuk jawatan kecil dan besar, untuk isi temolok kita, alamatnya apa? Yang dikejar tidak akan dapat, yang dikilik akan berciciran. Lepas itu kita tidak ada apa-apa yang boleh diraih lagi. Semuanya akan dikuasai orang. Pada masa itu kita jadi hamba sahaja, kita akan meminta-minta sepanjang masa.

28. Ada pula yang dibawah bertanya, orang yang mereka sokong dapat jadi Perdana Menteri, Menteri, Menteri Besar – dapat kereta, dipanggil Yang Berhormat, elaun besar, terbang sana, terbang sini.

29. Kita dapat apa? Duduk di takuk tu juga. Lebih baik kita ambil sedikit bagi diri kita, sementara ada peluang.

30. Salahkah kalau kita terima duit sedikit? Mungkin kita tidak undi orang yang menyogok. Dia bukan tahu. Tetapi Tuhan tahu. Kamu membuat sesuatu yang haram. Kamu bukan sahaja jual bangsa. Kamu menolak agama kamu yang melarang, yang mengharamkan perbuatan kamu. Kamu berdosa.

31. Tapi tak mengapa. Masih muda, tak akan mati lagi. Bila dekat nak mati pakai kopiah putih dan sembahyang kuat-kuat.

32. Tetapi yang haram, haram juga. Kalau makan daging babi haram, makan duit rasuah lebih haram, kerana ia akan binasakan bukan kita sahaja, tetapi kaum bangsa kita yang semuanya beragama Islam.

33. Pengundi salah, samada undi penyogok atau tidak. Salah kerana sudah terima jenayah rasuah sebagai budaya kamu. Apabila rasuah dibudayakan, percayalah bangsa dan negara mungkin dijajah oleh penyogok secara langsung atau tidak langsung. Bangsa akan dihina oleh dunia, akan dipandang rendah, akan dipermainkan orang. Akhirnya yang makan suap, mereka sendiri akan jadi mangsa, mereka sendiri akan terpaksa hulur untuk mendapat apa yang sebenarnya hak mereka. Inilah nasib bangsa yang menjadikan rasuah sebagai budaya biasa.

34. Sesungguhnya Melayu mudah lupa. Kita lupa betapa kita dijajah dahulu, kita terpaksa panggil tuan orang yang menjajah kita, orang yang menghina kita. Tak boleh cakap berkenaan ketuanan Melayu. Kamu jadi hamba dahulu, bukan Tuan, layak hanya untuk tanam padi, tangkap ikan, jadi kuli orang, bawa kereta orang, tukang masak orang.

35. Selama 450 tahun kita dijajah, hidup sebagai hamba, dianggap tidak layak mentadbir negara sendiri, tidak layak merdeka.

36. Kita terpaksa letak diri kita dibawah naungan negara-negara jiran yang lebih kuat.

37. Tiap tahun kita usung bunga emas dan perak untuk dipersembahkan kepada negara penaung-penaung kita.

38. Kadang-kadang Raja kita pun pergi bersama, untuk membukti kesetiaan diri dan negeri kepada negara penanung.

39. Kata orang Kedah “Terkerempun-kerempun” apabila berhadapan dengan orang asing. Mungkin ramai yang tidak faham. Tanyalah orang Kedah. Itulah “body language” kita dahulu walaupun hari ini ada juga, tetapi pada Raja yang tak bertakhta.

40. Saya biasa lihat seorang orang tua Melayu berbasikal di tendang jatuh oleh askar Siam semasa Kedah diberi kepada Siam oleh Jepun. Kesalahan orang tua ini ialah kerana tidak berhenti dan menghormati lagu kebangsaan Siam.

41. Saya biasa lihat orang Melayu ditempeleng dan disuruh panjat pohon kelapa seperti kera oleh Jepun. Inilah nasib orang yang tidak merdeka, tidak memerintah negara sendiri. Boleh ditendang, boleh ditempeleng.

42. Dan yang lihat diam sahaja, tak dapat buat apa-apa, termasuk saya. Dalam kehinaan ini muncul kesedaran dan semangat untuk menebus balik maruah bangsa. Dan bergabunglah orang Melayu untuk menangkis rancangan Malayan Union British, untuk mengekalkan perhambaan orang Melayu. Tidak siapa yang bertanya “apa yang saya akan dapat bagi diri saya” pada ketika itu. Yang kita tumpukan ialah untuk membebaskan bangsa dan negara daripada dijajah dan dihina. Kalau dalam proses ini kita terkorban, atau kita berada seperti biasa, itu tidak mengapa. Yang kita utamakan ialah maruah bangsa kita, tidak lagi akan ditendang, tidak lagi akan ditempeleng – tetapi akan dihormati oleh kawan dan lawan.

43. Sekarang kita merdeka. Perjuangan pengasas negara telah berjaya. Kita tidak akan ditendang dan ditempeleng lagi. Kita bebas daripada kehinaan. Memang pun keadaan terhormat ini sudah menjadi perkara biasa bagi kita. Bagi ramai dari kita ia datang bergolek. Ia datang melayang. Ia tidak akan dipisah dari kita.

44. Perjuangan orang dahulu adalah perkara lama, tidak perlu diingati. Yang jelas kita sudah merdeka, dapat pelajaran dan kaya sedikit. Soal tendang, tempeleng, itu cerita lama. Pepatah Melayu berkata sekali merdeka, selama-lamanya merdeka. Apa pun kita buat merdeka tetap merdeka. Sekarang ialah masa untuk kita “enjoy”. Kita kecap sepenuhnya nikmat yang ada pada kita.

45. Apa dianya semangat ke-Melayuan? Apa relevannya? Bukankah kita sudah berjaya? Hendak semangat buat apa lagi? Masuk parti untuk apa? Perjuangan sudah selesai dengan jayanya.

46. Tidak bermakna masuk parti jika tidak dapat sesuatu bagi diri sendiri. Kita sokong orang dapat jadi Yang Berhormat, jadi Menteri, dapat peluang raih duit kerajaan dan lain-lain. Kita tak bolehkah dapat sikit bagi diri kita?

47. Tetapi benarkah kita akan merdeka selama-lamanya? Memang benar. Walaupun kita tidak buat apa-apa untuk mengekalkan kemerdekaan, bukankah sudah 50 tahun kita merdeka? Apa yang hendak dikhuatirkan? Lima puluh tahun, 100 tahun lagi pun kita akan merdeka walau apa pun kita lakukan. Takkanlah kerana kita ambil 100 Ringgit duit sogokan maka akan hilanglah kemerdekaan kita? Kita boleh sembahyang hajat dan terima 100 Ringgit lagi. Orang lain terima lebih daripada kita., katanya satu juta. Masih kita merdeka. Tidak benar kerana sedikit rasuah kemerdekaan akan hilang.

48. Tetapi ingatlah penjajahan tidak selalu berbentuk penaklukan secara langsung. Penjajahan boleh berlaku walaupun kita miliki pemerintahan sendiri. Ia boleh berlaku apabila pemerintah kita yang dipilih dan diberi kuasa oleh kita sudah menjual diri mereka kepada orang lain, samada dari dalam negeri atau dari luar. Atau takut jiran marah.

49. Pemerintah yang mengikut telunjuk orang lain bukan bebas lagi. Pemerintah yang menjadi pemerintah melalui rasuah akan benar diri mereka disogok kerana perlu mendapat kewangan yang cukup untuk membeli sokongan lagi supaya kedudukan mereka sebagai pemerintah akan kekal.

50. Untuk mendapat sogokan yang cukup mereka akan sanggup ikut arahan penyogok. Dengan perkataan lain mereka akan jadi alat pada penyogok.

51. Kepentingan penyogok tidak sama dengan kepentingan kita, atau kepentingan bangsa dan negara.

52. Kita sudah lihat hanya kerana hendak kekal sebagai pemerintah, ada yang sanggup layan apa sahaja arahan, tuntutan, desakan oleh pihak yang menentukan jawatan bagi kita. Kalau pun apa yang dituntut merugikan orang Melayu, itu tidak mengapa asalkan kita dapat jawatan, walaupun sebagai “figurehead”, patung sahaja, tidak berkuasa pun.

53. Jika kita terjemah keadaan ini kepada jawatan yang didapati kerana disogok apakah yang tidak sanggup kita buat? Jual bangsa, jual negara pun kita sanggup.

54. Apabila kita sudah jual bangsa dan negara apakah kita merdeka lagi? Sudah tentu tidak.

55. Justeru itu tidak benar kepercayaan kita bahawa sekali merdeka selama-lamanya merdeka. Pada permukaannya kita merdeka tetapi pada hakikatnya kita sudah kembali dijajah. Apabila kita kembali dijajah maka kita sudah khianati pejuang-pejuang kemerdekaan kita dahulu.

56. Itulah kenyataan yang sebenar.

57. Melayu mudah lupa. Kata seorang ahli falsafah; “Mereka yang lupa akan sejarah mereka akan didera dengan mengulangi kesalahan mereka berkali-kali”.

58. Inilah hasil daripada mudah lupa. Kita lupa bahkan kita tidak suka diperingati akan sejarah kita. Apa kena-mengena peristiwa 50 tahun dahulu? Apa kena-mengena dengan kita akan kemiskinan Melayu, dengan kedaifan mereka dalam bidang ilmu dan profesyen di masa dahulu? Itu dahulu, ini sekarang. Sudah tentu sejarah penjajahan kita dahulu tidak ada kena mengena dengan keadaan kita sekarang. Tidak ada pelajaran yang akan kita dapati daripada sejarah 100, 500 tahun dahulu. Itu semua cerita dongeng.

59. Apa yang kita lakukan sekarang, kita lakukan kerana kita sudah merdeka dan selamat. Buatlah apa pun kita tetap selamat, tetap merdeka.

60. Jadi penagih dadah, jadi pelepak, jadi “Mat Rempit”, jadi penjenayah pun tak mengapa.

61. Bukankah kita yang memilih dan membentuk Kerajaan? Kerajaan perlu bertanggungjawab terhadap kita. Jika kerana amalan buruk kita, sesuatu yang tidak baik menimpa kita, bukankah menjadi tanggungjawab Kerajaan pilihan kita untuk menyelamatkan kita?

62. Jika kita diserang orang bukankah menjadi tanggungjawab Kerajaan yang kita pilih untuk menangkis serangan ini?

63. Jika kerana Kerajaan yang kita pilih terdiri daripada orang yang sogok duit pada kita dan mereka pula disogok oleh orang lain dan mereka berasa lebih terikat kepada yang menyogok mereka dan kurang bertanggungjawab kepada kita kerana sokongan kita mereka dapati kerana kita terima sogokan, apakah yang dapat kita buat? Tak banyak. Hanya menerima sahaja.

64. Akan menjadi lebih buruklah nasib kita sepanjang masa.

65. Hakikat yang sebenar ialah sokongan kita, undi kita yang kita jual tidak lagi mengikat mereka yang kita pilih untuk jadi Kerajaan.

66. Mereka akan anggap balasan kepada sokongan kita sudah pun dibuat melalui wang sogokan daripada mereka.

67. Sesungguhnya nasib kita ada di tangan kita. Jika nasib ini tidak baik kitalah yang harus berusaha untuk memperbaikinya. Ingatlah, Tuhan telah berfirman yang Dia tidak akan mengubah nasib sesuatu kaum melainkan kaum itu sendiri berusaha mengubah nasibnya.

68. Apakah kita sedang berusaha untuk memperbaiki nasib kita? Tidak ternampak satu pun usaha ke arah ini. Yang kita lihat ialah perbuatan merosakkan lagi keadaan nasib yang sudah buruk ini.

69. Kita tahu yang kita lakukan bukan untuk memperbaiki keadaan. Tetapi kita lakukan juga untuk kepentingan semasa kita. Masa depan soal lain.

70. Pejuang-pejuang kemerdekaan telah pilih demokrasi sebagai cara kita memerintah. Kenapa?

71. Sebabnya ialah kerana mereka percaya majoriti daripada rakyat tentulah bijak dalam amalan mereka, tentulah tahu antara yang baik dengan yang buruk, tentulah bijak semasa membuat pilihan.

72. Pengasas kemerdekaan percaya majorti akan tahu pilih apa yang baik bagi mereka. Sudah tentu mereka akan menolak orang yang hanya bergantung kepada sogokan untuk dipilih.

73. Tetapi mereka tidak sangka pewaris mereka, sebilangan yang tidak kecil akan tolak kebaikan dan mengutamakan sogokan untuk menentukan siapa akan memerintah mereka.

74. Pejuang kemerdekaan yang sedar betapa sukarnya bagi orang Melayu mendapat peluang dan bantuan dahulu dan dengan kerana itu Melayu tidak berjaya.

75. Dengan kesedaran ini mereka merangka untuk mengadakan lebih banyak peluang dan sokongan kepada bangsa mereka supaya bangsa mereka boleh berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan kaum-kaum lain, bahkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Mereka percaya semua peluang dan sokongan akan direbut oleh pewaris daripada bangsa mereka.

76. Ya, mereka ini kebanyakan sudah tidak ada, sudah tinggal kita. Tetapi jika mereka ada apakah perasaan mereka? Tentulah mereka akan kecewa dan hampa amat sangat kerana segala-gala yang mereka ilhamkan sudah dipermainkan oleh pewaris mereka, tidak dihargai oleh pewaris mereka.

77. Mereka melihat bagaimana peluang dan bantuan disalahgunakan atau ditolak dengan begitu sahaja. Sepatutnya dengan peluang belajar di semua peringkat bangsa mereka sudah jadi bangsa yang berilmu. Dengan peluang berniaga mereka sudah jadi kaya, atau sekurang-kurangnya tidak miskin.

78. Tetapi tidak. Peluang bukan sahaja tidak direbut tetapi peluang digunakan secara yang boleh merosakkan bangsa. Mereka lepak, mereka jadi Mat Rempit, yang lakukan jenayah yang kadang-kadang menyebabkan kematian mangsa mereka.

79. Diberi peluang berniaga, diberi modal, diberi latihan tetapi kerana ingin kaya cepat mereka memperdagangkan peluang, kontrak, lesen, permit dan sebagainya.

80. Modal mereka guna untuk belanja bagi memenuhi nafsu, hutang mereka tidak dibayar. Kerana kelakuan beberapa daripada mereka, bangsa mereka dicap sebagai bangsa yang tidak beramanah, dan tidak boleh dilayan, tidak boleh diharap dengan duit ringgit.

81. Dan banyaklah lagi perbuatan mereka yang tetap mengecewakan pejuang bangsa dahulu.

82. Kata mereka, jangan buka pekong di dada.

83. Malu kata mereka.

84. Tetapi tidakkah lebih malu apabila mereka lakukan apa yang telah saya sebutkan. Tak buka pekong pun busuk juga. Biarlah pekong di dada dibuka supaya kerana bau terlalu busuk kita akan cuba melepaskan diri daripadanya. Jika tidak ia akan menjadi lebih busuk di dalam dan akan bunuh kita.

85. Semua yang disebut ini menjadi pengkhianatan kepada pejuang bangsa dahulu. Kerosakan kerana ini lambat laun akan merosakkan masa depan kita.

86. Tetapi yang terdahsyat diantara amalan buruk kita ialah rasuah, terutama rasuah politik. Politiklah yang dapat memberi kuasa walaupun pada yang lemah dan miskin. Politik kita sewaktu perjuangan untuk kemerdekaan berjaya memberi kekuatan kepada Melayu sehingga mereka yang daif ini dapat mengalahkan kuasa besar dunia. Hanya dengan bersatu dan bertindak bersama, hanya dengan pendirian yang tegas kelemahan dapat diatasi dan kejayaan dicapai. Sesungguhnya kuasa politik kuasa ajaib.

87. Selagi ada kuasa ini kepada kita, percayalah kita akan dapat pulih segala-galanya, kita akan dapat mengatasi kelemahan kita, kita akan dapat tentukan masa depan kita.

88. Tidakkah kita lihat bagaimana daripada bangsa yang dijajah dan dihina, kuasa politik sudah mengubah nasib kita demikian sehingga kita dianggap sebagai contoh kepada bangsa-bangsa lain di dunia.

89. Bandingkan negara kita 50 tahun dahulu di waktu kita mencapai kemerdekaan dan negara kita sekarang. Negara dagang yang ke-17 terbesar di dunia. Kemiskinan dikurangkan daripada 70 peratus kepada lima peratus. Bandar sebesar bandar di negara maju, penuh dengan pencakar langit. Bekalan air, api dan kenderaan yang terkini.

90. Pendapatan per kapita yang 20 kali lebih tinggi dari 50 tahun dahulu dan lain-lain.

91. Semua ini adalah hasil kuasa politik semata-mata. Kerana kuasa politik, negara berbilang kaum, ugama, budaya dan bahasa dapat distabilkan. Dan sesungguhnya kita sudah dapat berdiri hampir sama tinggi dengan kaum-kaum lain dan bangsa-bangsa lain.

92. Tetapi sekarang kita lakukan perbuatan untuk menghakis dan menghapus kuasa politik kita.

93. Kerana wang yang sedikit, kerana 100-200 Ringgit kita jual kuasa politik, kita serah nasib kita kepada perasuah, perasuah yang akan jual bangsa dan negara.

94. Apakah akan jadi kepada kita apabila kuasa politik terlucut daripada kita? Apakah kita akan terus merdeka? Saya fikir tidak.

Tuan-Tuan dan Puan-Puan,

95. Perhimpunan Melayu hari ini memang menjadi hak bagi kita kerana kita menghadapi masalah-masalah yang besar-besar, bukan satu tetapi banyak masalah.

96. Kita semua berasa cemas. Di mana-mana sahaja orang Melayu sedang berhimpun untuk membincang masalah mereka, kecemasan yang mereka rasai.

97. Jika pada hari ini kita dapat menyedarkan akan musibah yang sedang dan akan timpa keatas kita, jika kesedaran ini akan menyebabkan kita bertindak keras terhadap mereka diantara kita yang mencetuskan masalah ini, jika kita dapat bandingkan gejala rasuah yang menjadi ancaman terhadap kita yang terbesar sekali, maka ralatlah perhimpunan ini, berjayalah perhimpunan ini.

98. Saya tak salahkan orang lain. Saya salahkan kita sendiri. Tak mungkin orang lain menguasai kita jika kita tegas dan tidak membenarkan mereka.

99. Maju mundurnya bangsa kita terpulanglah kepada kita. Ingatlah Tuhan tidak akan ubah nasib kita melainkan kita berusaha mengubah nasib kita sendiri.

100. Oleh itu berusahalah mengubah nasib diri sendiri setelah kita berhimpun di sini untuk membincang masalah yang kita hadapi. Saya percaya perbincangan kita akan membuahkan pemikiran dan tindakan yang boleh menyelamatkan kita.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Terima kasih.

Friday, March 27, 2009

Chedet : The Challenge;Chapter 12 - Corruption !

Setelah beberapa hari mengikuti perkembangan Perhimpunan Agung UMNO serta mengetahui siapa yang telah berjaya terpilih oleh perwakilan...

saya teringat akan tulisan chedet dalam bukunya THE CHALLENGE...pada tahun 1986 ...dalam bab khusus ke-12..CORRUPTION... m/s 140...



Disini saya petik beberapa perenggan tulisan beliau....


"Man,as a creature of God with the ability to think and pass knowledge down from generation to generation,need not to decide everything through his own experience.Accumulated experience which shapes thoughts and value is not only shared with the whole society which exists at the time but it passed down to subsequent generations.....


Corruption is one of the practices deemed bad by nearly all societies in the world.That corruption is bad is decided by tradition and not by study or experience.Everyone everywhere condemns corruption as a crime.Yet,though everybody condemns corruption.this does not mean that everybody accept the same interpretation of the term'corruptin' or trully knows what bad consequences come from corruption.....corruption is better known as a practice which enables someone to obtain remuneration through illegitimate means....


Corruption can become a habit which finally bears no relation to the size of a person's legitimate income.Human desire knows no limits......therefore raising salaries is no sure way of stopping corruption......


Corruption occurs everywhere.no country or nation is free from it..To erase it a hundred per cent is impossible...however,its effects can be lessened provided it has not reached two critical stage....


Stage 1:

when corruption is still kept secret but links have been formed between junior and senior officials....when this happens,every official will protect every other.This may involve the highest officials,including ministers or other politicians,and even the judiciary and the enforces of the law.The effects of this stage are obvious.Worse,even when the masses want to clean up the system,there is nobody to take action because everybody is involved in corruption.Minister and officials may be replaced,but those who take their places will in no time be drawn into the corruption.Even if they refuse to be involved,they are paralysed,for their staff will not obey their directives.


Stage 2:

The second critical stage of corruption is when it is no longer hidden and is accepted as common practice by society.....when corruption is openly practised and is in essence no longer illegitimate,its effects on a nation are most pernicious.first..the government is weakened...


It is important to identify these two critical stages of corruption,for once they are reached,there is no hope of remedy!!!!....."

Bila membaca alasan kenapa beliau tidak hadir ke perhimpunan itu di blognya beliau berkata alasannya ialah dia tidak mahu dirinya tercemar.....bila baca kembali tulisan dalam bukunya diatas....ternyata beliau mempunyai prinsip perjuangan yang tersendiri....dia kota apa yang dia kata!


Saya sangat hairan kenapa orang yang telah didapati bersalah dalam rasuah oleh lembaga disiplin diberi peluang untuk bertanding dan menang pula!...apa yang penting disini untuk menilai seseorang itu ialah samaada dia terlibat atau tidak...itu saja...umpama orang yang mencuri....persoalan utamanya ialah dia mencuri atau tidak...berapa jumlah wang yang dicuri itu menjadi hal yang nombor dua ...SALAH TETAP SALAH ...jumlah yang dicuri akan berkadar dengan hukuman yang setimpal.....didunia ini kita boleh lepas..tapi di akhirat nanti ..pasti kita akan menerima hukuman yang sewajarnya dari ALLAH.

Monday, March 23, 2009

Hikayat Sangtawal (14) - Empayar Chermin,Langkasuka dan Kelantan




Sebelum saya siarkan artikel-artikel pilihan saya kali ini,ingin sekali saya mengajak anda semua untuk merenung, meneliti dan mengkaji dua gambar diatas.Perhatikan bentuk binatang,kaki,kepala ,ekor binatang tersebut dan bentuk tulisan kaligrafinya!....

Gambar Pertama ialah : The roar of the Ottoman:
Perkembangan dan Capaian Empayar Islam naungan Khalifah Ottoman tahun 1089 - 1915M) –( bacaan lanjut : klik sini)

Gambar kedua ialah : Gambar Bendera lama negeri Kelantan Darul Naim tahun 1912-1923



Artikel Pilihan 1.


Tajuk : Empayar Chermin: Kelantan atau Patani?

Disunting dari artikel oleh Hj Wan Mohd. Shaghir Abdullah

Posted by: faizn in Kelantan-Patani's Forgotten History

Sumber : http://faizn.blog.friendster.com/2007/12/negeri-chermin-kelantan-atau-patani/



Beberapa orang penulis Kelantan menyebut bahawa negeri Chermin itu ialah negeri Kelantan. Jauh sebelum kemunculan penulis-penulis Kelantan menyebut bahawa negeri Chermin ialah Kelantan, Syeikh Ahmad al-Fathani telah menggelar kerajaan Fathani Darus Salam dengan ‘Fathani Cermin Mekah’.


Oleh itu, ada kemungkinan negeri Chermin itu ialah Patani atau pun memang betul negeri Chermin itu adalah Kelantan. Antara Patani dan Kelantan pada zaman dahulu seolah-olah dua negeri yang tidak boleh dipisahkan baik dari segi kekeluargaan, kebudayaan, geografi dan lain-lain mahu pun pemerintahan.


Maulana Malik Ibrahim yang dianggap sebagai Wali Songo (Wali Sembilan) yang tertua digelar Maulana Maghribi atau Syeikh Maghribi, juga digelar dengan Sunan Gersik. Ada riwayat yang menyebut bahawa beliau berasal dari Farsi. Riwayat lain menyebut bahawa beliau berasal dari keturunan Arab di Kasyan. Sementara pendapat lain mengatakan berasal dari Gujerat, India.


Raffles dalam History of Yava, menyebut, Malik Ibrahim seorang Arab, sepupu Raja Chermin, berasal dari tanah seberang. Tetapi kedatangannya ke Indonesia diriwayatkan adalah sebagai ketua rombongan misi Islam yang datang ke Indonesia dan berangkat dari negeri Chermin sekitar tahun 1397 M.



Maulana Malik Ibrahim sendiri adalah sebagai ketua rombongan, yang turut disertai Raja Chermin bersama-sama putera dan puterinya. Puteranya bernama Shiddiq Muhammad. Tujuan mereka ke Jawa adalah untuk mengislamkan Raja Majapahit.



Selain itu diriwayatkan beberapa orang saudara sepupu Maulana Malik Ibrahim ikut serta dalam rombongan itu. Mereka ialah Saiyid Ja’far, Saiyid Qasim dan Saiyid Khairat. Usaha mereka gagal dan sebahagian besar yang mengikuti rombongan tersebut kembali ke negeri Chermin.


Sebagaimana disebut-sebut mengenai negeri Chermin mulai pengenalan riwayat Saiyid Jamaluddin al-Kubra hingga cucunya Maulana Malik Ibrahim, maka di sini dirasakan perlu menambah keterangan mengenai negeri Chermin itu.


Di manakah negeri Chermin itu masih terus menjadi pertikaian. Raffles berpendapat ia terletak di daerah Hindustan, di halaman yang lain pula dikatakannya dari tanah seberang. Salah satu versi riwayat Patani ada menyebut bahawa Maulana Malik Ibrahim sewaktu akan ke Jawa, beliau mulai berangkat dari Patani.


Dalam beberapa buku sejarah selain versi penulisan ulama Patani, dikatakan bahawa Saiyid Ibrahim telah menemani ayahnya Saiyid Jamaluddin al-Kubra ke negeri Siam. Penulis berpendapat bahawa yang dimaksudkan negeri Siam (bersifat umum) itu adalah negeri Patani (dalam jajahan Siam).


Mengenai negeri Chermin pula hampir semua penulis yang berasal dari Kelantan seperti Drs. Abdul Rahman Al-Ahmadi, Abdullah bin Muhammad (Nakula) dan lain-lain berpendapat bahawa negeri Chermin itu di Kelantan/Patani. Maka penulis pula menyokong bahawa negeri Chermin itu adalah di Fathani Darus Salam.


Oleh kerana itulah barangkali Syeikh Ahmad al-Fathani menggelar Fathani Darus Salam itu sebagai Negeri Chermin Mekah. Namun walau bagaimanapun sewaktu penulis berulang-alik (berkali-kali dalam tahun 1992-1993) ke negeri Chaiya, berdasarkan di beberapa buah masjid, kitab yang dimiliki oleh seseorang dan manuskrip ditulis dalam tulisan Melayu/Jawi adalah ‘cahaya’ bukan ‘chaiya’.


Beberapa orang penduduk yang berumur lanjut (antara 80 hingga 120 tahun) menceritakan bahawa sebelum negeri itu bernama ‘Negeri Cahaya’ pernah juga bernama ‘Negeri Chermin’.


Oleh sebab pada masa dulu ‘Negeri Cahaya/Chaiya’ itu memang di bawah Daulah Fathani Darus Salam, besar kemungkinan ia terletak di negeri Cahaya/Chaiya. Raja Chermin/Cahaya pula adalah di bawah kekuasaan Sultan Fathani Darus Salam.


Maulana Malik Ibrahim ialah anak saudara Saiyid Ibrahim al-Hadhrami, yang makamnya terletak di Gersik, Jawa Timur sedangkan pelabuhan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu adalah Kerisik atau Keresik. Menurut riwayat versi Patani bahawa Maulana Malik Ibrahim pernah tinggal di Kerisik.


Barangkali orang sukar menerima ada riwayat orang tua-tua di Patani bahawa Maulana Malik Ibrahim itu dilahirkan di Kerisik, Patani. Cerita rakyat memang sukar diterima oleh ahli sejarah yang menghendaki pembuktian secara tertulis. Akan tetapi adalah sangat tidak adil apabila kita mempertahankan teori yang ada sedangkan kita tidak berusaha mencari penyelesaian melalui penyelidikan-penyelidikan sehingga dapat mempertemukan antara cerita rakyat dengan data dan fakta yang tertulis.


Riwayat terakhir Maulana Malik Ibrahim menetap di Gersik, Jawa Timur, mendirikan masjid dan pondok pesantren demi untuk menyebarkan agama Islam di tempat beliau tinggal, sehingga beliau wafat pada 12 Rabiulawal 882 H/1419 M, dimakamkan di Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Salah seorang keturunan beliau yang dapat dikesan ialah K. H. Ahmad Dahlan, pengasas Muhammadiyah.




Artikel Pilihan 2.


Tajuk : Kelantan dalam catatan purba

Posted by: faizn in Kelantan-Patani's Forgotten History

Sumber ; http://faizn.blog.friendster.com/2008/07/kelantan-dalam-catatan-purba/



Sejarah awal Kelantan belum diketahui secara pasti. Catatan bangsa Eropa dan China yang ditulis pada masa lalu dapat dijadikan sebagai rujukan untuk memotret fakta dan gambaran tentang asal-usul keberadaan Negeri Kelantan. Berikut ini adalah catatan-catatan singkat yang dimaksud:


1. Berdasarkan catatan Claudius Ptolemy, ahli bumi dan ilmu falak berkebangsaan Yunani, dalam bukunya Geography of Eastern Asia yang ditulis pada abad ke-2 M, disebutkan nama tiga buah tempat, yaitu “Kole Polis”, “Primula”, dan “Tharra” yang terletak di pantai timur Semenanjung Tanah Melayu.


2. G. E. Gerini, peneliti berkebangsaan Itali, mengatakan bahawa “Kole Polis” terletak di Kelantan. Ia menganggap nama Kelantan adalah gabungan kata dari “Kolo” dengan kata “Thana” atau “Tanah”, hingga menjadi “Kolathana” atau “Kolamtanah” atau “Kolantan”.


3. Sejak abad ke-6 M, catatan-catatan sejarah China menyebut Kelantan dengan berbagai nama. Pada masa Kerajaan Liang (502-557 M), orang China menyebut “Tan-Tan”. Pada masa Kerajaan Tang (618-906 M), orang China menyebut “Tann-Tann”. Sedangkan pada masa Kerajaan Sung (960-1279 M), Kelantan disebut dengan kata “Chi-lan-chau” atau “Chi-lan-tan”. Pada awal abad ke-17 M, Kelantan disebut dengan “Ko-lan-tan” atau “Ku-lan-tan”.


4. Selain “Tan-Tan” atau “Tann-Tann”, ada sebuah negeri lagi yang disebut-sebut oleh orang-orang China, yaitu “Chit-tu” yang bererti Negeri Tanah Merah dan dikaitkan dengan Negeri Kelantan.


Berdasarkan letak geografinya, sebahagian ahli sejarah justru beranggapan bahwa Chit-tu (Tanah Merah) atau “Raktamrittika” adalah Kelantan itu sendiri. Seorang ahli sejarah Eropah, Paul Wheatley cenderung mempercayai bahawa Chit-tu itu terletak di Kelantan.


Hal itu bermula dari sejarah Kerajaan Raktamrittika yang didirikan pada abad ke-6 M oleh Raja Gautama, putra Raja Kalahtana. Chit-tu pernah menjadi wilayah taklukan Kerajaan Funan. Pada tahun 1225 M, Kelantan pernah ditakluk oleh Sriwijaya.


Pada tahun1411 M (814 H), Negeri Kelantan mulai dipimpin oleh seseorang bernama Raja Kumar. Namun, pakar-pakar sejarah belum dapat menentukan dari mana asal Raja Kumar. Hanya ada sebuah data yang menyebutkan bahawa Raja Kumar pernah menjalin hubungan dengan Raja China. Misalnya, pada tahun 1412 M, Raja Kumar menerima pemberian berupa kain-kain sutera dan surat puji-pujian dari Raja China.


Sebahagiannya dari sumber:

Hamid, Rogayah A. dan Mariyam Salim, Kesultanan Melayu Kelantan, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2006).


Kalau menurut dalam “Ikhtisar Sejarah Kelantan” oleh Abdul
Razak Mahmud (Ustaz Mat), Bab 2, muka surat 7 & 8, negeri Kelantan
dikatakan bernama “Medang Kamulan”. Dalam History Of Java oleh Stamford
Raffles muka surat 74, pada lebih kurang tahun 600 Masehi seorang
lelaki bernama Aji Saka dari negara asing ( quote: Aji Saka from a
foreign country) datang ke Jawa dan memerintah. Menurutnya Aji Saka
dari Medang Kamulan. (Ini masih boleh dibicarakan secara ilmiah.
Wallahualam).



Artikel Pilihan 3.

Tajuk : Rangka manusia purba bukti tamadun awal di Kelantan.(Rangka manusia 5000 tahun dulu di Gua Cha Kelantan)

Posted by: faizn in Kelantan-Patani's Forgotten History

Sumber : http://faizn.blog.friendster.com/2008/01/rangka-manusia-purba-bukti-tamadun-awal-di-kelantan/


KUALA LUMPUR 17 Jan.2008 – Menteri Kebudayaan, Kesenian dan Warisan Datuk Seri Dr Rais Yatim akan berlepas ke England minggu depan untuk mendapatkan tulang rangka manusia Gua Cha pada zaman purbakala yang kini disimpan di University of Cambridge’s MacDonald Institute of Archaelogy.


Tulang rangka itu dari gua di Kelantan, kira-kira 5,000 tahun lepas, dikeluarkan dari Malaysia pada 1950-an oleh bekas pengarah Muzium Taiping, G. de Sieveking ke rumahnya di United Kingdom.


Sieveking (1925-2007) seorang ahli arkaelogi zaman purbakala, yang lebih terkenal kerana kerja-kerja mengenai batu api dan lombong batu api.


Seorang penuntut doktor falsafah di University of Cambridge, beliau menjalankan penggalian di Malaysia pada 1950-an, yang paling terkenal di Gua Cha.

Menurut kenyataan Jabatan Warisan Negara kementerian itu hari ini, Rais akan mengetuai satu delegasi untuk memuktamadkan penghantaran pulang tulang rangka itu, yang dianggap penting dan bernilai bagi penduduk kuno di Malaysia.

Pesuruhjaya Warisan Negara, Datuk Prof. Emeritus Zuraina Majid telah mengilhamkan usaha itu untuk membawa balik tulang rangka berkenaan awal apabila beliau masih lagi berkhidmat dengan Universiti Sains Malaysia (USM).

Jabatan itu menyatakan Gua Cha, yang terletak di benteng Sungai Nenggiri di Ulu Kelantan, merupakan sebuah tapak zaman purbakala di Asia Tenggara dan telah menyimpan kira-kira 40 tulang rangka.

– Bernama



Artikel Pilihan 4.

Tajuk : Kaitan antara Kelantan,Empayar Chermin,Langkasuka dan Majapahit.

Sumber : Disunting dari Forum di- http://www.asiafinest.com/forum/lofiversion/index.php/t163209-0.html


Artikel (4a)

Tajuk : Menyingkap sejarah lama dari sumber Thailand berkaitan Kerajaan Tien Sun,Pan-Pan,Chieh Tou,Langkasuka


The kingdoms that was once exist in Southern Thailand on Malayan Peninsula according to Thailand sources are:

เตี้ยนสุน Tien Sun

Chinese records stated that this kingdom existed in the Malay Peninsular, around the Tapi River in modern day Surat Thani province. The kingdom was supposedly a supply and trading port for ancient mariners, between India and Indochina. The kingdom was Hindu.

ผั่น ผั่น Pan Pan

This kingdom prospered from 300 – 500 AD, Chinese records showed that this kingdom was also situated near the Tapi River, in Surat Thani Province. The ruling dynasty could have been Indian or from modern day Thai central plains. Chinese records stated that a Funan ruler came to rule Pun Pun as well, he was overthrow in Funan, and the people in Pun Pun did not accept the new Funan ruler. The new ruler then invaded Pun Pun, and also invaded the modern day Chao Phraya basin. Chinese records also stated that the Pun Pun kingdom also sent envoys to the Chinese court. Pun Pun was a Buddhist kingdom with Hindu influence, Bhrmans from India have a lot of influence in the court. Pun Pun disappeared around 558 AD, with the beginning of the Tambralingga Kingdom.

เซียะโท้ Chieh Tou

This kingdom was situated south of Tambralingga, with the capital at modern day Kalantan or Pattalung, Thailand. Sui Dynasty records in 608 AD stated that an envoy led by Zhang Sun (Zhang Jin?) and Wang Jin Cheng visited the kingdom. The kingdom existed during Pan Pan’s existence, and also sent envoys to the Chinese court.

ลังกาสุกะ Langgasukah

This kingdom was situated in the south of the ‘Tambralingga’ kingdom, near modern day Pattani and Trung in Thailand. The capital is believed to be in Pattani. The kingdom developed around AD 450 – 550, and was supposedly an East-West center in the area (Kedah in the West, Patani in the East), due to trade. The kingdom was supposedly also a center for spreading Buddhism and Indian culture throughout SEA. The kingdom was also part of Funan for a time. The fall of the kingdom was as a result of either invasion from Cambodia or Malacca, or a plague. Around the 1200s the Kingdom was absorbed into the ‘Tambralingga’ Kingdom, and eventually became a part of Sri Vijaya. In 516 AD, the kingdom supposedly sent an envoy to China. Ma Tuan Lin’s record around the 11th Century also provided details to the Kingdom.


To me, Pan Pan was likely like the new edition of Tun Sun.


The very, very first Funanese conqueror of Semenanjung/Segenting Malay kingdoms was probably Fan Shih Man (Sri Mara) in late 2nd century AD.

The next Funan ruler who re-absorbed Tun Sun/Pan Pan (around mid or early 6th century) into his kingdom's orbit could have been Rudravarman, one of the 3 sons of Jayavarman Kaundinya/Preah Thong who married the Naga king's daughter Nagi Soma. Rudravarman was himself a usurper of his father's kingdom, n some guys reckon he drowned his very young half brother Gunavarman, who was the rightful heir, in order to steal the throne.

Anyway, Rudra was eventually overthrown by Bhava(varman) n Chitra(sena), the twin sons of his other half brother Viravarman. After Bhava gained the throne, he went about staging a re-invasion of nearby kingdoms formerly under Funanese hegemony which tried to break away, including Malayu (to which maybe he gave the alternative name Jambi), Acheh etc.

As for Chi Tu/Raktamrittika/RedEarth/TanahMerah, there is mention of someone called a Maha Navika (Great Mariner) called Buddhagupta, who came from a place in India/Bengal, also called Raktamrittika (meaning Red Earth). He probaby named his new adopted homeland with the same name as his old homeland in India/Bengal.


There was also a Buddhagupta among the kings of Gupta empire in Bengal/Magadha. Records about him in Gupta-related history is a bit scarce. Either he wasn't regarded as an outstanding Gupta king or he suddenly went out of favour for some reason or other.


Maybe this Buddhagupta eventually was exiled or got fed up with war n then went away to the far eastern lands to find peace, n eventually landed in Semenanjung/Isthmus n founded a new kingdom. Which he also called Raktamrittika. So the Chinese called it Chi Tu n the locals called it Tanah Merah.


For the record, there is fairly good chronological (i.e. time) agreement between the Buddhagupta who came to Semenanjung's/Segenting's Chi Tu (Tanah Merah) n the Buddhagupta who was a king of Gupta empire.


Anyway, the Buddhagupta of Gupta empire was supposed to have reigned from 476 to 495, so he could have reached Chi Tu, his new Raktamrittika, late 5th century (nearly 500 AD). Some guys also believe Chi Tu to be the earliest version of Langkasuka (like its first birthplace).


In otherwords, Chi Tu later expanded to become Langkasuka, whose king Bhagadatta was said to have sent the envoy to China in 516 AD. Bhagadatta (Bhaga Datta) was actually a title meaning Divine Envoy/Ambassador/Messenger (Datta/Dutta = Envoy/Ambassador/Messenger) used by several Khmer kings.

My guess is Buddhagupta eventually became the 1st king (Bhagadatta) of Langkasuka.

There r several likely candidates for the old Chi Tu, i.e. Tanah Merah (Kelantan), Pattalung (Songkhla) or even Tambralingga itself (Tam means Red, while Tamba means Copper).


The name "Langkasuka" was also mentioned in Malay and Javanese chronicles. Tamil sources name "Ilangasoka" as one of Rajendra Chola's conquests in his expedition against the Srivijaya empire. It was described as a kingdom that that was "undaunted in fierce battles".


Further embassies (utusan) were sent to China in 523, 531 and 568. The later embassies could have been sent by another Bhagadatta, probably a successor of Buddhagupta, perhaps a son or son-in-law. Langkasuka remained under Funan-Chenla hegemony until it came under the dominance of new SEA regional power Srivijaya in around 800 AD.


Artikel (4b)


Tajuk : Dari mana asal usul “Orang Langkasuka” itu ?


The early inhabitants of Langkasuka were probably an eclectic assemblage of early Malays, Mons and Khmers. The maritime nature of the polity alludes to Austronesian (the greater Malay group) dominance. Significant Sumatran Malay acculturation commenced with the Sri Vijayan conquest of the Kra Isthmus in the 8th century. The Langkasukans were certainly not T’ais. At that time, the ancestral T’ais were still in the hills and river valleys of Yunnan prior to being displaced to Indo-China by the Han Chinese. Linguistically, Sri Vijayan rule, which flourished in the 9th and 11-13th centuries, signified the gradual eradication of Austro Asiatic languages (including Mon-Khmer) and early Austronesian tongues by High Malay, Sri Vijaya’s language of administration. By the 13th century, Malay language, culture and identity had subsumed other populations of the peninsula’s northern half up to the Kra Isthmus. The last vestiges of the old Mon-Khmer language are today found in the native vernacular of the aborigines of Malaya and south Thailand, the so-called Aslian Group.


The coming of Islam further cemented the affiliation of the Isthmian Malays to the people of the Nusantara. However, the arts and culture of the Patani-Kelantan region (historically, extending northwards up to present-day Phatthalung) till this day carry a distinct flavour of Khmer courts of old, exemplified by Wayang Kulit, Mak Yong, Menora and Petri (respectively, traditional shadow play depicting adapted Ramayana-Mahabhrata epics; a royal court theatre combining dance, opera, drama and comedy; a complex rhythmic dance drama depicting ancient pre-Islamic folklore; and the cryptic musical-dance spiritual cleansing ritual), all often inaccurately attributed to a “Thai” or “Siamese” origin. The T’ai (or Thai) themselves adopted and emulated these high culture from the courts of Cambodia when they rebelled against their Khmer rulers in the 13th century and formed their ancestral polities in the central Chao Phraya basin. See Geoffrey Benjamin’s “Ethnohistorical Perspectives on Kelantan’s Prehistory” in Kelantan Zaman Awal, 1987, pp.108-46, for a fascinating discourse on the linguistic-cultural evolution of the northern peninsula Malays, particularly the Patani-Kelantanese group. His hypothesis somewhat reaffirmed the socio-cultural specificities of the Patani-Kelantan Malays and their intrinsic distinction from other Malays of the peninsula.


courtesy: http://krismanreality.blogspot.com/

Patani VS Siam/Thailand ........ When and How It All Began.

Book Excerpt


Patani's ancestral state of Langkasuka was already a growing regional power a thousand years before the progenitor T’ai state of Sukhothai emerged in the central Chao Phraya basin from the shadows of the Khmer Empire. Indeed, during the early Langkasukan period, the T’ais were still languishing in their southern China homeland on the verge of being displaced to Indochina (and incrementally to present-day Thailand by the 10th century) by the southward expanding Han Chinese. A millennium ago, present day Thailand north of the Kra Isthmus was dominated by the Hinduised Mon-speaking Dvaravati Kingdom and later the Khmer Empire while the Malay Peninsula from Kra southwards was under the suzerainty of Srivijaya.


Centred near today’s Yarang (Jerang or Binjai Lima in the original Malay) district 15km inland from Patani town, Langkasuka dates back to at least 200AD based on historical records and archaeological evidence. This state prevailed through recorded history for 1,200 years until the 1400s. At its zenith, Langkasuka stretched coast-to-coast from the Kra Isthmus in the north to present-day Kedah and Kelantan in the south. Contemporary Chinese accounts defined an empire 30 days march east to west and 20 days march north to south. The annals of China’s Liang Dynasty, the 7th century Liang-shu, recorded the establishment of relations when Langkasuka’s King P’o-ch’-ieh-ta-to (transliterated generally as Bhagadatta) sent an envoy, A-ch’e-to, to present a memorial to the Emperor in 515 AD. Langkasuka sent further diplomatic missions in the years 523, 531 and 568 and Langkasuka-China relations flourished during the tenure of Liang Dynasty Emperor Wu (Liang Wu Ti, 502-549AD).


Patani’s Langkasuka legacy is well-documented, with multiple references to the Langkasuka toponym and geographic inference to today’s Patani Region in contemporary Chinese, Indian, Javanese and Arab historiographies. Chinese archival records and ancient coastline navigation maps placed Langkasuka on the coast stretching from present-day Phatthalung to Kelantan (and centred near the estuary of the Patani river). The Chinese transliterations for Langkasuka in various dialectical spelling variants from the 7th to 14th centuries include Lang-ya-hsiu, Ling-ya-ssu-chia, Lang-hsi-chia and Long-sai-ka. The Rajarajesvara temple inscriptions of Tanjore, India memorialized an attack by the Chola King, Rajendra I in the year 1030 on key states of the Sri Vijayan empire, including Ilangasoka, extolled as “undaunted in fierce battles.” The Nagarakertagama, an epic poem composed in 1365 by Mpu Rakawi Prapañca mentioned Langkasuka (in a list of Malay Peninsula entities) as a tributary of the Javanese Majapahit empire, although this was more reflective of a poet obliged to eulogise his benefactor, the Majapahit King, Hayam Wuruk (Prabu Sri Rajasanagara), than political realities of that era.


Langkasuka was a member of the Sri Vijayan Thalassocracy from c.800-1300AD. During this period, the Kingdom was prominent in Chinese, Indian, Arab and Javanese historiographies, with territory extending from the frontier of Nagara Sri Dharmaraja (Ligor) in the north to incorporate present-day Kelantan in the southeast and Kedah in the southwest. The T’ais reached the central Chao Phraya basin by 1000 AD, having displaced the Mons and subsequently fought the domination of the Khmer Kambujadesa Empire. Sukhothai emerged from the last vestiges of Khmer rule and became the first T’ai kingdom in the late 13th century, adopting the finer elements of Khmer court culture and traditions. Patani-Thai relations, in their various incarnations, date back at least 800 years when Patani’s ancestral Langkasuka Empire and subsequent Sri Vijayan overlords took note of the fledgling T’ai polities in the Chao Phraya basin emerging from the last vestiges of Khmer rule. The collapse of Sri Vijaya saw Langkasuka’s fragmentation into several northern Malay kingdoms, of which Patani rose to prominence by the late 14th century. Sukhothai itself was overshadowed and finally absorbed by the Ayutthayan kingdom downriver also by the late 14th century.The two nascent kingdoms of Patani and Ayutthaya began to expand their spheres of influence and conflict was inevitable.


Hence, began 600 years of conflict between the peoples of these two great civilizations -- the Malays of Patani and the T'ais of Ayutthaya/Thonburi/Krung Thep/Siam/Thailand. Indeed, conflict is not a new phenomenon in Patani. The current insurrection represents the latest manifestation of a long series of warfare and revolts over six centuries by the ethnic-Malay populace against Siamese/Thai political machinations that led to the incremental subjugation of the Patani Kingdom, culminating in final annexation in 1906.


Artikel (4c)

Tajuk : Dimanakah sebenarnya lokasi sebenar Langkasuka itu?


Langkasuka is the name used, from very early times, for the kingdoms of the Isthmus. However, there are many conflicting theories concerning exactly where the kingdom of Langkasuka was situated. Hikayat Merong Maha Wangsa and The History of Kedah or Kedah Annals described Langkasuka as covering the Isthmus from sea to sea, from the port of Pattani to Kedah, with Gunung Jerai as the centre of the kingdom.


Notable among Chinese records is the Chi Tu Guo Ji, "Record of the Kingdom of Red Earth", written by the Sui Dynasty envoys after a visit to the peninsula in 607-610. This is the most important documentary evidence of an inland kingdom known as Chi Tu "Red Earth". There are a number of good arguments giving credence to the theory that the kingdom was situated in Kelantan. Upriver of the Kelantan area, Gua Cha is known for its early settlement some 8000 years ago. The Dabong-Pergau rivers are known for their clay deposits and witnessed the making of old black pottery; Tanah Merah (Red Earth) is the name of a place upriver of Kelantan. The capital of the kingdom was described in the Chinese annals as having triple gates more than a hundred paces apart painted with images of bodhisattvas and hung with flowers and bells ... to the rear of the king's couch there is a wooden shrine inlaid with gold, silver and five perfumed woods, and behind the shrine is suspended a golden light ... several hundred brahmans sit in rows facing each other on the eastern and western sides.


Chinese records written by Chang Chun during the reign of the 7th century Sui Emperor Yang Di, spoke of a kingdom called Lang Ya Shu in Chinese, identifiable as Langkasuka in Malay. Chang Chun described Langkasuka as one of the earliest individual states in South East Asia, a Malay Kingdom. Slightly earlier, the History of the Liang Dynasty 502-566 seems to support a Malay tradition that Langkasuka was founded at the end of the first century in the neighbourhood of what was later called Pattani. Lang Ya Shu proved to be of great economic importance, partly due to the existence of an overland trade route or portage across the Isthmus.


But which of these states is Langkasuka: Kedah, Kelantan, Pattani, or Ligor? Many scholars have come up with various theories, based on archaeological evidence, linguistic clues, or traditions from dance and folklore. Archaeologists point out that the Sungai Pattani River flowed from Kedah to Pattani with another route to Sungai Merbok, Kedah. They are trying to prove that the Bujang valley in Kedah, was the centre of Langkasuka, and the important ruins of Hinduized temples found there make it a strong candidate. Others have sought the origins of Langkasuka in its similarity with the names of Langkapuri, Langkapura, Langkawi and Alangkah Suka, the land of the legendary 17th century Princess Saadong. Paul Wheatley in Golden Kersonese insisted that Langkasuka was in Pattani. While we cannot be sure that Pattani was the capital of Langkasuka, Wheatley was not far wrong in pointing out that Pattani was a famous port of Langkasuka and later became a city-state in its own right before being subsumed as a province of the Thai Kingdom.


Stewart Wavell went seeking for Langkasuka in his romantic voyage depicted in The Naga King's Daughter, a cultural travel journal from Pahang in Malaysia to Chaiya in Thailand in 1963. Wavell described his excitement on meeting a girl named "Golden Naga" in Pattani. Golden Naga was a Manora dancer who described Manora as:


..the oldest of all magic from the land of Lakawn Suka. We merely pay our respect to the Princess Saadong.


Wavell drew together Lakawn Suka, the Pattani Malays' fairyland equivalent of Langkasuka, and Princess Saadong from the folk stories of Kedah. Golden Naga described Lakawn Suka as being near the hill of Bukit Sangkalalili in Pattani and placed the palace of Princess Saadong on the hill. Wavell discovered an old ruin at Yarang (Binjal Lima in Malay). His findings at this old Pattani monastery included:


Buddhas with cylindrical head-dresses of the Sri Wijaya style, carved with the naturalistic impulse of those Sailendras artists who worked such wonders at Borobudur in Central Jawa ... more interesting were the Dvaravati Buddhas of pre-Thai period, possibly prior to the 7th century when Langkasuka would have passed out of the orbit of Funan into the temporary vassalage of the Mons at Thaton before Sailendras spread their power over the former territories of Funan...


Wavell's comment on Funan is significant, because it lends credence to speculation that some of the earliest forms of Malay culture are to be found in Funan. Funan was Southeast Asia's earliest Indianized state, and it is known that Funan controlled the Isthmus from the 3rd to the 6th centuries. From there such influences could easily have spread south to Sumatera and Jawa.


Wavell wondered whether Yarang might even have been the capital of Langkasuka. However, H.G. Quaritch Wales and the Fine Arts Department of Thailand later asserted that the site was the northern capital of Sri Wijaya. Though Wavell knew that he could not make a clear archaeological connection between the Yarang ruins and Langkasuka, he insisted on linking Pattani with the tales of Langkasuka as they appear in folklore: the Story of King Merong Maha Wangsa, the Bukit Sankalalili hill, and the fabled Princess Saadong as revealed in Pattani Manora dance. H.S.H. Princess Piya Rangsit of Thailand believed in a variation of Wavell's theory, placing Langkasuka further north at Ligor/Tambralinga (Nakhorn Sri Thammarat) but she did not manage to fully research her discovery, as she was killed in a helicopter accident during a coup in the 1970's. Today, the Pattani people still believe that the old site of Yarang in Pattani is the site of the Langkasuka Kingdom, the same story they told Wavell nearly forty years ago.


Artikel (4d)

Tajuk : Empayar Chermin , Majapahit II dan Patani.

While the history of the earlier periods is obscure, the later 14th and 15th centuries were a high point of the Langkasuka civilisation. Raja Sang Tawal the son of Raja Sakranta of the Melayur Empire, based at Ligor, moved to Kelantan after he was defeated by Siam in 1295 and lost Singgora (the old name for Songkhla). Kelantan then became the base for unified Langkasuka. In 1339, Raja Bharubhasa (Sultan Mahmud Syah) replaced his father Raja Sang Tawal as king of Langkasuka, and succeeded in grouping the Isthmus, Champa in Vietnam, and Samudra-Pasai in Sumatera into a new empire known as the Chermin Empire.


The period of the so-called Chermin Empire, reaching from Sumatera to Vietnam, was the zenith of Langkasuka power. Raja Bharubhasa captured Kedah from the mad king Raja Bersiong (Maha Prita Daria) and incorporated Gangga Nagara (the old kingdom of Perak) as part of the Chermin Empire. The Raja's sister, Dewi Durga( Cik Siti Wan Kembang) ruled Lamuri, later known as Aceh. In 1345, the Siamese mounted a major attack on the Isthmus, with the result that Raja Bharubhasa was forced to offer gold and silver trees as tribute to the Kingdom of Sukhotai. The offering of tribute to Siam was a symbolic turning point, the "little weft within the lute" that centuries later was to end with Siam permanently capturing the northern portion of the Isthmus. Raja Bharubhasa moved upriver to another area in Kelantan called Bukit Panau, and named his new capital Jeddah, meaning "Jewel". The jewel capital of Raja Bharubhasa was situated very near the very site of the "Red Earth" kingdom of the 7th century — the original Langkasuka.

From this time onwards a tug-of-war with Siam ensued. In 1357 Gajah Mada of the Majapahit empire in Jawa defeated Siam and joined in a coalition with the peninsular states to successfully attack Ayudthaya. Gajah Mada declared Jeddah the capital of West Majapahit, with Jawa island being known as East Majapahit. History repeated itself, following the same pattern of Sri Wijaya when it split in the 7th century, and also located one capital at Kelantan/Kedah and another in Sumatera.


In 1395 Siam re-attacked the southern peninsula and captured Temasek in 1401. The power of Siam was on the rise. Sultan Iskandar Shah (Kemas Jiwa) was called from Jawa to come back and rule Kelantan, though he was married to the Majapahit Queen in 1427. Basing himself in Kelantan, Iskandar Shah proclaimed his kingdom as Majapahit II (1432-1502) with the capital called Kota Mahligai (Fort of Heaven). In 1467, Siam of Ayudthaya conquered Majapahit II, and Sultan Iskandar Shah fled to Champa and died there. His nephew Pateh Aria Gajah, who had served as Iskandar's prime minister, moved to Pattani. Later, Iskandar's son known as Mansur Shah briefly revived the Majapahit II kingdom in Kelantan. Majapahit II under Mansur survived a short time until defeated by Melaka in 1499.


As we can see from the fact that Iskandar Shah named his Kelantan kingdom "Majapahit II", the Majapahit empire of Jawa was inextricably connected to the history of the states of the Isthmus. Majapahit was known as the greatest empire of all states in insular Southeast Asia from 1300 onwards, claiming political control over most of the archipelago, but declining in the 15th century. Essentially, the relationship that earlier had existed between Sri Wijaya and the Isthmus evolved into one between Majapahit and the Isthmus.

Pattani

The final fall of Majapahit II in 1502 is sometimes taken by historians as the end of Langkasuka. However this defeat no more marked the end of Langkasuka than all the other victories and defeats, rises and falls of dynasty recorded earlier. The royal courts and culture of the region continued to thrive after 1500 — in fact the culture of the Isthmus reached its highest flower in the years that were to come. However, two important changes occurred at this time in the history of Langkasuka: First, with conversion to Islam by the Sultan of Pattani in 1500, the culture became Islamic. Second, the locus of Langkasuka shifted away from Kelantan, pulled higher up the Isthmus in a response to the growing power of Siam. From 1500 until 1900 power on the Isthmus was located in Pattani and Ligor (Nakhorn Sri Thammarat). This was the era of maritime power, and Pattani had an advantage over other states because of its important natural harbour.

Pasir Putih (meaning "white sand") is another name for Gresik, an earlier kingdom in Pattani history. It is the name of an old place in East Jawa, possibly during the Majapahit Kingdom. Gresik later became Pattani, and its importance grew after the beginning of the 14th century when Siam began to expand downwards and Ligor became a Siamese dependency. Pattani appeared in the records of the Ming Admiral Cheng Ho, who led a Chinese fleet to Melaka in the early 1400's. With the decline of the Majapahit and the Chermin empires after the 15th century, Pattani eventually gained hegemony over the Isthmus, and it maintained its independence long after Siam absorbed other northern Isthmian Malay states.


The glory of the Pattani Kingdom dates from the rule of Sultan Ismail Shah (1500-1530), who founded the Malay Muslim kingdom known as Pattani Darul Salam after he converted to Islam. It was believed that Islam in Pattani came way before Melaka (1412) and Trengganu (1303/1368), as Pattani was a seaport through which traders came and went, the source of Islamic teaching and cultural forms.


Pattani as the name of a city state may have been changed after the ruler converted to Islam. There is some dispute about the origins of the name, one theory being that the name derives from Pantai Ini in standard Malay language. At the same time, the people of Pattani, Kelantan and Besut (the northern part Trengganu) speak a very distinctive dialect in which the sounds Patta Ni mean "This Shore". Today, the Thais denote the language of the people in the south of Thailand is "Jawi", where Malaysians use Jawi to refer to the written script of the Malay language adapted from Arabic script. This script is thought to have originated in Pattani.


Pattani's Golden Era came after the fall of Melaka to the Portuguese in 1511. Four Queens ruled Pattani during this time: Queen Green (1584-1616), Queen Blue (1616-1624), Queen Purple (1624-35) and Queen Yellow (1635-86). Around 1688-90, the rule of Pattani shifted to the Kelantan royal line, and this scenario was reversed around 1730 when the Pattani royal line came to rule Kelantan. The last sultan of Pattani, Sultan Abdul Kadir Kamaruddin's (1899-1902) son Tengku Seri Akar was married to the daughter of Sultan Muhamad IV of Kelantan. Through the 16th century to the 19th century we can trace many Pattani royal sons and daughters married into the ruling families of Kelantan, Perlis, Trengganu, Pahang, Johor, Melaka and Kedah.


After the four Queens, the power of Pattani gradually declined. Where the rulers of Pattani had once commanded the whole Isthmus, their domains shrank to cover only the four provinces of Pattani, Narathiwat, Yala, and Sathun. Eventually they controlled only the area covered by the modern Thai province of Pattani, only to be swallowed up by Siam in the early 20th century. As Pattani declined, the Sultan of Ligor (Nakhorn Sri Thammarat), although still under Siamese suzerainty, regained a measure of independence, and it is from this that confusion has arisen as to the true location of Langkasuka.


The Thais tend to favour theories that place the centre of Langkasuka farther up north along the Isthmus, at Ligor, rather than at Pattani. Local historians in Nakhorn Sri Thammarat (Ligor/Tambralinga) believe that there were 12 states under the rule (or loosely federated with) the King of Nakhorn Sri Thammarat, before he was captured by the last King of Ayudthaya. This group of 12 states included Kelantan, Trengganu, Pahang and Kedah. At the end of the 18th century, King Taksin of Siam moved his capital to Thonburi after the Burmese sacked the city of Ayudthaya. As part of Taksin's military feats, he captured Ligor. King Taksin removed the King of Ligor and installed him as the Governor of Nakhorn Sri Thammarat.