Artikel Pilihan 1
Tajuk : Bangsa Moro dalam Lintasan Sejarah
Oleh: Iman Nugraha
Sumber : http://www.angelfire.com/id/sidikfound/moro.html
Secara geografis wilayah Filipina terbagi dua wilayah kepulauan besar, yaitu utara dengan kepulauan Luzon dan gugusannya serta selatan dengan kepulauan Mindanao dan gugusannya. Muslim Moro atau lebih dikenal dengan Bangsa Moro adalah komunitas Muslim yang mendiami kepulauan Mindanao-Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian selatan.
Sejarah masuknya Islam
Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao, pada tahun 1380. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut.
Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangiran dari Minangkabau (Sumatra Barat). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan kodifikasi hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab.
Manguindanao kemudian menjadi seorang Datu yang berkuasa atas propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datu atau Raja bahkan setelah kedatangan orang-orang Spanyol. Konon menurut para ahli sejarah kata Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri Allah yang aman). Pendapat ini bisa jadi benar mengingat kalimat tersebut banyak digunakan oleh masyarakat Islam sub-kontinen (anak benua India).
Masa Kolonial Spanyol
Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina pada 16 Maret 1521, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik "ekspedisi ilmiah" Ferdinand de Magellans. Ketika kolonial Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah.
Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun 1876). Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum Muslimin. Namun, walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara total.
Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah and kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai "Moor" (Moro). Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut.
Tahun 1578 terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri. Penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian di adu domba dan disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan "misi suci". Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang.
Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari pulau Cebu, kemudian Raja Humabon sendiri dan rakyatnya.
Masa Imperialisme Amerika Serikat
Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tak bermoral Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat Paris.
Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo.
Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran.
Patut dicatat bahwa selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro.
Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka.
Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan di antara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat.
Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen. Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian yang selama ini dipelihara oleh masyarakat Muslim.
Masa Peralihan
Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah. Kemudian Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah. Demikian juga Public Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496 sebagai tanah negara, The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN Filipina dan AS, serta Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat (Filipina) yang berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih paham dengan urusan birokrasi, untuk melegalisasi kalim-klaim atas tanah.
Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis.
Pemberlakukan Quino-Recto Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935 menandai upaya pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan menjajah Mindanao. Pemerintah mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan survei-survei tanah negara, sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang baru. NLSA - National Land Settlement Administration - didirikan berdasarkan Act No. 441 pada 1939. Di bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang menampung ribuan pemukim dari Utara dibangun di propinsi Cotabato Lama.
Bahkan seorang senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 gigih mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang Utara dengan tujuan untuk menghancurkan keragaman (homogenity) dan keunggulan jumlah Bangsa Moro di Mindanao serta berusaha mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Filipina secara umum.
Kepemilikan tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao. Banyak pemukin yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan. Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri.
Masa Pasca Kemerdekaan hingga Sekarang
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.
Pada awal kemerdekaan pemerintah Filipina disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon. Sehingga tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro dikurangi. Gerombolan komunis Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti penjajahan Jepang, setelah Jepang menyerah mereka mengarahkan perlawanannya ke pemerintah Filipina. Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa Ramon Magsaysay, menteri pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino (1948-1953). Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986).
Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal dengan Presidential Proclamation No. 1081 itu.
Perkembangan berikutnya kita semua tahu. MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.
Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2 dasawarsa itu. Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF).
Semua pihak memandang caranya lah yang paling tepat dan efektif. Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara mereka walaupun dengan penuh resiko. "Semua orang harus memilih, tidak mungkin memuaskan semua pihak," katanya.
Artikel Pilihan 2.
Tajuk : Perang Moro Dalam Sejarah Awal Filipina
Sumber : : http://tausug-global.blogspot.com/2008/09/8-perang-moro-dalam-sejarah.html
Ahad, 2008 September 14
PHILIPINES atau Filipina sebagaimana juga negara-negara di sekitar Nusantara punya pra-sejarah yang sama. Manusia Negrito adalah penghuni awal, kemudian Melayu-Proto adalah yang menghuni kepualauan Filipina setelah itu. Masyarakat Negrito dipercayai telah menghuni kepulauan Filipina sejak 30,000 tahun yang lampau semenjak Zaman Ais lagi.
.
Pada 1500-an, Islam telah pun berada di Pulau Luzon. Para pedagang Arab-Islam dipercayai adalah pembawa Agama Islam di seluruh kepulauan Filipina. Pada 1565 telah wujud Bandar Amanillah (Mendapat keamanan Allah) yang dikenali Manila pada hari ini.
Sejarah telah membuktikan pada kita, Raja Sulaiman (Kerabat Kesultanan Brunei) adalah yang berkuasa di situ sekurang-kurangya sebelum kedatangan Spanyol sekitar 1600.
Sistem masyarakat ditadbir secara Islam dengan para Datu yang mengetuai setiap kawasan Barangay. Tentunya bahasa Melayu adalah sebahagian bahasa pertuturan di Manila di sebabkan kesultanannya adalah dari kerabat Kesultanan Brunei yang sememangnya adalah orang Melayu. Manakala di bahagian selatan ketika itu, Mindanao dan kepuluan Sulu juga menerima kedatangan Islam lebih awal. Sebahagian ahli sejarah percaya Islam telah pun sampai di selatan Filipina pada 1380–1400an di sana berdasarkan pada bukti-bukti berupa kubur-kubur dan sebagainya.
Pada 16 Mac 1521, penjelajah terkenal Spanyol, Ferdinand Magellan (1480-1521) telah mendarat di Cebu ketika dalam misinya mengelilingi dunia di samping mencari tanah jajahan. Tanah Pulau Cebu telah dimasukkan sebagai wilayah baru hak milik Raja Charles 1 di Spanyol. Sebulan kemudian Ferdinand Magellan telah dibunuh dalam satu pertempuran tepi pantai Maktan oleh seorang panglima Islam. Peristiwa pembunuhan Ferdinand Magellan ini adalah yang paling bersejarah di Filipina hingga ke hari ini sehingga didirikan tugu peringatan si pembunuhnya iaitu panglima “Lapu-lapu” di Bandar Maktan, Cebu.
Pada 1565, Miguel Lopez De Legazpi seorang Gabenor Diraja telah sampai ke Pulau Cebu dari New Spain (Maxico). Enam tahun kemudian setelah berjaya melumpuhkan sistem pentadbiran Islam di tangan para Datu, beliau telah ke Manila dan mendirikan pelabuhan komersil di bandar utama Manila sebagai pusat pentadbiran ketenteraan dan keagamaan. Maka di sinilah bermula nama Filipina (Philipines) sempena nama Raja Philip II di Spanyol yang memerintah pada 1556 hingga 1598. Maka bermulalah penjajahan ke atas Filipina sehingga lebih 300 tahun lamanya di tangan Spanyol dan kita akan dapat saksikan sejarah telah mencatatkan keganasan demi keganasan ke atas masyarakat Filipina terutamanya masyarakat Islam sehingga ke hari ini. Sebaliknya yang dituduh pengganas adalah masyarakat Islam sendiri yang berjuang menentang penceroboh.
Matlamat Penjajah Spanyol
Matlamat penjajahan Spanyol di Filipina sebenarnya adalah kerana 3 sebab:-
1. Menguasai kawasan dan laluan rempah.
2. Membina persefahaman dengan Dinasty China dan Jepun.
3. Mengkristiankan Masyarakat Filipina keseluruhannya.
Matlamat pertama dan kedua telahpun berjaya dengan cemerlang, cuma matlamat yang ketiga mereka gagal melaksanakannya hingga ke hari ini. Kerana penentang utamanya adalah masyarakat Islam sendiri yang sukar ditewas dan ditundukkan kerana punya senjata yang menggerunkan pihak spanyol sendiri iaitu senjata “Jihad Fi Sabilillah” yang dikenali oleh Spanyol sebagai “Juramentado” (Berani Mati). Sejarah juga telah memberitahu kita, hanya bahagian selatan Filipina sahaja yang tidak pernah mereka masuki dan tadbir secara menyeluruh disebabkan tentangan sengit masyarakat Islam yang diketuai oleh Sultan-sultan Maguindanao dan Sultan-sultan Sulu serta Datu-datu nya .
Perlu juga diakui bahawasanya Spanyol dan misi Kristianisasinya telah berjaya di bahagian utara Filipina. Bukti kejayaan mereka ialah hingga ke hari ini majoriti penduduk dari tengah Filipina hingga ke utara adalah Kristian. Manakala dari utara Mindanao hingga ke Kepulauan Sulu majoritinya muslim. Kita melihat betapa misi pengkristianan Spanyol adalah secara istiqamah menujah masuk ke selatan Filipina (Mindanao dan Kepulauan Sulu) tetapi tentangan berdarah dari masyarakat Islamnya juga istiqamah. Buktinya hingga ke hari ini tentangan berdarah ini masih berlaku. Tetapi bagi Spanyol dorongan membolot harta kekayaan yang banyak di selatan Filipina sangat kuat cuma perlu berkerja keras menukar agama “Muhamadan” mereka kepada Kristus agar mudah mereka masuk menyedut apa sahaja yang ada di bumi selatan Filipina itu.
Malangnya wilayah terakhir yang dipertahankan aqidahnya iaitu Pulau Cebu telah berjaya dikristiankan. Sejarah memberitahu kita wilayah terakhir yang berjaya dikristiankan ialah Pulau Cebu iaitu Permaisuri Raja Humabon telah masuk Kristian disebabkan tekanan politik dan taktik kotor pihak kolonial Spanyol. Tidak lama kemudian Raja Humabon sendiri telah murtad dan diikuti oleh rakyatnya. Kejayaan besar buat Spanyol. Maka misi seterusnya ialah wilayah selatan (Mindanao dan Kepulauan Sulu).
Kronologi Perang Moro Sulu Era Spanyol
Pemberontakan Bangsa Moro di Filipina barangkali adalah kesinambungan peperangan yang panjang sejak abad ke-15 dan ke-16 yang lalu. Islam telah datang ke Selatan Filipina pada abad ke-14 ke kepulauan yang terbentang luas hingga ke kepulauan Indonesia yang dibawa oleh para pedagang Islam dan para pendakwah (Ahlul-Bait), dan pada abad ke-16 dakwah Islam telah menyebarluas melalui gugusan kepulauan Sulu hingga ke Mindanao sehinggalah ke utara. Masyarakat ini mempunyai konsep kehidupan dan kekuasaan, kehidupan sosial, serta kedaulatan mereka sendiri. Kronologinya:
Pada 1565, Prof. Cesar menyatakan bahawa perang pertama meletus pada 1565 di utara Filipina (kawasan Bohol) antara kapal dagang orang Borneo (Melayu Brunei) dengan angkatan perang Legazpi. 20 orang Brunei terkorban sedangkan Spanyol hanya seorang yang terbunuh. Sebelum ini sememangnya orang-orang Brunei telahpun bertapak di pulau Luzon iaitu di Amanillah (sekarang Manila) yang diperintah oleh Kerabat Diraja Brunei iaitu Raja Sulaiman.[1]Tetapi sebelum itu telahpun berlaku peperangan kecil di pulau Cebu antara Ferdinand Magellan dengan perwira Lapu-Lapu (dari Bugis Sulawesi) [2] pada April 1521 yang membawa kepada pembunuhan Ferdinand Magellan.
Pada 1569, Orang Brunei bersatu dengan Orang Sulu[3] menentang Spanyol di perairan Visaya antara 9 buah kapal Spanyol melawan 20 buah kapal tentera Brunei dan Sulu. Malangnya tentera Brunei dan Sulu berjaya dikalahkan dengan merampas 4 buah kapal yang sarat dengan barang-barang dagangan yang berharga. Spanyol telah menuduh 20 kapal Brunei dan Sulu itu sebenarnya adalah Lanun. Maka bermulalah penggelaran lanun terhadap umat Islam Moro yang menentang Spanyol ketika itu oleh Montero y Vidal.
Pada 1574 Sultan Brunei mempersiap satu angkatan tentera untuk men-yerang Manila iaitu 100 perahu, 100 buah kapal kecil dengan tentera seramai lebih kurang 7,000. Ketika dalam perjalanan ke Manila Sultan Brunei memanggil tenteranya kembali semula ke Brunei disebabkan alasan tertentu.
Pada 1578 Pangeran Buong Manis (Pangeran Sri Lela) yang mahu merebut takhta kerajaan Brunei (dari saudaranya Seiful-Rizal) datang ke Manila me-minta bantuan Spanyol mengalahkan Seiful-Rizal. Sekiranya berjaya beliau berjanji membayar ufti kepada Spanyol. Peluang keemasan ini tidak dilepaskan oleh Spanyol lalu Gabenor Jeneral Francisco de Sande belayar ke Brunei dengan 40 buah kapal beserta serdadu 400 Spanyol, 1,500 anak tempatan Filipina dengan diiringi oleh tentera tambahan dari Pangeran Buong Manis iaitu orang-orang Brunei sendiri seramai 300 orang. Setelah 30 hari belayar, sampai ke Kuala Sungai Brunei dan pertempuran terus berlaku. Tentera Brunei yang dibantu oleh tentera Sultan Sulu (Pangeran Budiman @ Raja Ilo adalah saudara ipar kepada Sultan Seiful-Rizal)[4] itu telah dikalahkan oleh Spanyol. Seiful-Rizal melarikan diri bersama ayahandanya yang uzur Sultan Abdul Kahar ke pedalaman Brunei dan mendirikan istana di sana.
Kegembiraan Spanyol dalam kemenangan tersebut hanya sementara apabila selang beberapa bulan kemudian Pangeran Buong Manis (talibarut Spanyol) telah dibunuh dan Seiful-Rizal pula telah diangkat menjadi Sultan Brunei yang baru maka segala perancangan Spanyol bersama Pangeran Buong Manis untuk mendapat tempat di Borneo terbantut begitu sahaja.
Pada Jun 1578 Sultan Sulu (yang menyertai peperangan melawan Spanyol bersama saudara iparnya Seiful-Rizal di kuala Sungai Brunei telah berjaya meloloskan diri kembali ke Sulu setelah pasukan mereka dikalahkan oleh Spanyol). Didapati tentera Spanyol yang diketuai oleh Kapten Esteban Rodriguez de Figueroa atas arahan Francisco de Sande telah sampai di Jolo pula maka berlaku lagi satu pertempuran sengit antara tentera Sultan Sulu dengan Spanyol di Jolo malangnya tentera Sulu berjaya dikalahkan dan sultan terpaksa mengaku membayar ufti (inilah peperangan pertama antaraSultan Sulu dengan Spanyol di Jolo, Sulu).[5]
Pada 1597 di Mindanao, Sultan Maguindanao telah bersatu pula dengan Sultan Ternate (Maluku)[6] untuk menentang serangan Spanyol di Mindanao. Ternate (Maluku) menghantar 800 orang perwiranya membantu saudara-saudara seagamanya di Mindanao malangnya turut tumpas di tangan Spanyol.
Pada 1597 dalam tahun yang sama juga Kapten Joan Pacho berangkat ke Sulu dengan 60 serdadu Spanyol untuk suatu ekspedisi menghukum tapi telah diserang hendap oleh orang Sulu dan membunuh kaptennya sekali.
Pada Februari 1602 Spanyol menghantar lagi satu ekspedisi dari Manila diketuai oleh Juan Gallinto dengan 200 serdadu Spanyol serta beberapa serdadu anak negeri menuju ke Sulu. Spanyol menyerang penempatan orang Sulu di Jolo memaksa pejuang Sulu berundur ke pedalaman termasuk penduduk-penduduknya. Spanyol berjaya membuat kubu tetapi meninggalkannya kerana kekurangan bekalan makanan. Sebelum mereka meninggalkan Jolo mereka memusnahkan penempatan, perkebunan serta harta benda orang-orang Sulu.[7]
Pada Oktober 1616 orang-orang Sulu bersama dengan 80 buah perahu caracoa (seperti perahu joangga yang dikayuh oleh lebih sedozen pendayung serta diletak meriam di bahagian hadapan) melancarkan serangan keatas jajahan Spanyol di Pantao dan Camarines yang menjadi limbungan kapal Spanyol dan berjaya membakar 3 buah kapal yang masih dalam pembinaan termasuk sebuah gelon (kapal besar yang dilengkapi meriam). Tidak puas hati dengan harta rampasan dan tawanan, orang-orang Sulu menyerang limbungan kapal Spanyol di Cavite pula. Orang-orang Sulu sebenarnya dibantu oleh saudara mereka dari Kesultanan Brunei (tentunya orang-orang Tidung).[8]
Pada 1624 Sultan Mawallil Wasit @ Raja Bongsu menghantar perwakilan (berdagang) ke Manila bernama Datu Ache (Asri) iaitu seorang datu yang dihormati. Ketika balik dari Manila rombongan Datu Ache dipintas oleh Spanyol yang kebetulan sedang memburu orang-orang Tidung (Camucones) kerana menyerang pulau-pulau jajahan Spanyol. Datu Ache dan orang-orang Sulu (mungkin salah faham kerana mereka dianggap orang Tidung) telah ditangkap manakala kapalnya dirampas. Mereka dibawa ke Manila akhirnya dibebaskan dan Spanyol meminta maaf walaupun beberapa biji mutiara berharga Datu Ache telah diambil oleh panglima Spanyol. Datu Ache menganggap perbuatan Spanyol itu satu penghinaan terhadap dirinya yang bermaruah sebagai seorang datu yang dihormati yang sudah tentu turut memalukan Sultan Sulu sendiri.
Pada 1627 Sultan Sulu telah mempersiapkan angkatan tentera yang terdiri daripada 30 buah caracoas dan 2,000 perwira telah menyerang limbungan kapal Spanyol di Camarines dengan memusnahkan garison mereka (Sultan sendiri mengetuai serangan ini). Orang-orang Sulu merampas meriam, senapang dan ubat bedil serta barang-barang besi dan gangsa yang sangat diperlukan oleh mereka. Orang-orang Sulu membakar rangka-rangka kapal dan menumpahkan simpanan beras ke dalam laut (yang diperuntukkan Spanyol kepada pekerja garison) kerana tidak mampu dibawa sambil diperhatikan oleh pekerja-pekerja garison. Orang-orang Sulu pergi dari situ dengan membawa 300 orang tawanan.
Dalam serangan balas dendam ini Sultan Sulu menawan seorang wanita Spanyol bernama Dona Lucia (menjadi juru tulis sultan kemudiannya) yang kemudian menulis pesanan sultan yang titinggalkan ditempat itu untuk Kerajaan Spanyol menyatakan bahawa sebenarnya serangan itu merupakan balasan orang Sulu ke atas perbuatan salah sangka dan rompakan keatas duta mereka, Datu Ache. Dalam perjalanan pulang orang-orang Sulu turut men-yerang wilayah-wilayah lindungan Spanyol seperti pulau Bantayan dan Ormoc di Leyte dengan menawan 300 orang tawanan lagi.
Pada 1628 Spanyol dengan satu angkatan perang yang besar dari Manila bertolak ke Sulu. Pada 22 April tiba di Jolo dan menyerang dan membunuh serta memusnahkan apa sahaja yang mereka jumpa. Orang-orang Sulu tidak bersedia langsung sehingga dikatakan pihak Spanyol tidak mengalami kemalangan jiwa walau seorang. Spanyol menyerang kubu Sultan Sulu tapi tidak berjaya kerana terlalu kukuh dan dilengkapi oleh meriam-meriam besar. Tawar menawar telah berlaku antara Spanyol dan Sultan Sulu untuk membebaskan Dona Lucia.[9]
Pada 1629 orang-orang Sulu pula menyerang balas meranapkan penempatan-penempatan naungan Spanyol di Camarines, Samar, Leyte dan Bohol dengan kekuatan 36 caracoas.
Pada 17 Mac 1630 satu angkatan laut Spanyol mengandungi 2 buah ghalias (kapal besar dikelilingi meriam), beberapa buah tongkang, 50 buah caracoas bersama 400 serdadu Spanyol dan serdadu anak negeri seramai 2,500 telah bertolak dari Dapitan menuju ke Jolo. Tujuan utama angkatan besar tentera Spanyol ini adalah memusnahkan kubu kota gunung Sultan Mawallil Wasit @ Raja Bongsu yang kukuh itu. Setelah mendarat panglima Spanyol Lorenzo de Olaso mula-mula mengarahkan tenteranya berjalan kaki menuju ke kubu sultan. Malangnya perwira-perwira Sulu rupanya telah pun bersedia. Hanya menunggu masa menyerang. Perwira Sulu menyerbu, maka berlakulah serangan yang tidak diduga iaitu serangan sengit dari perwira-perwira Sulu sehingga ramai terbunuh dari pihak Spanyol. Spanyol dan orang-orangnya yang ketakutan itu berundur. Tetapi sebelum mereka berundur buat “selama-lamanya” Spanyol telah mengelilingi pulau itu dan memusnahkan penempatan-penempatan di sana sini dan berusaha menyelamatkan tawanan dari orang-orang Sulu yang ditawan sebelum ini. Tetapi gagal kerana Spanyol telah dilanda angin ribut lalu meninggalkan Jolo. Orang-orang Sulu menyerang balas lagi dengan menyerang Leyte pada tahun berikutnya dan dapat menawan ramai tawanan lalu dijual ke Makassar kepada orang-orang Bugis.[10]
Kami menamatkan perang Sulu era Spanyol ini di sini. Siri peperangan antara Spanyol dan orang-orang Sulu masih berterusan dan Spanyol sehingga peperangan akhir pun iaitu pada tahun 1867 – 1878 masih tidak dapat menakluki Sulu.
Peperangan terus berkesinambungan antara Spanyol dan Masyarakat Islam Moro sehinggalah pada tahun 1898 telah berlaku peperangan antara Amerika dan Spanyol. Amerika memenangi peperangan ini, maka muncullah satu lagi kuasa baru yang boleh dianggap pada ketika itu sebagai penyelamat. Amerika datang untuk menyelamat? Ia boleh sahaja dianggap penyelamat sebagaimana kedatangan tentera Jepun yang kononnya menyelamatkan Asia dari tentera luar dengan slogan Asia untuk Asia. Walhal era tentera Jepun lagi parah dari pada penjajah sebelumnya.
Maka Amerika Syarikat berjaya mengalahkan Spanyol dalam peperangan Spanyol-Amerika Syarikat. Pada tahun 1899, setelah mengetahui kekalahan pihak Spanyol dalamperang Amerika-Spanyol itu masyarakat Islam Moro menyedari satu kesempatan dari penurunan moral para tentera Spanyol. Maka tanpa membuang masa dengan semangat Jihad dan penuh persenjataan lengkap dengan masih mempertahankan identiti dan jatidiri mereka, maka untuk kali yang terakhir, dengan penuh semangat mereka telah menyerang dan memporak-perandakan pasukan Spanyol dari kota pertahanan mereka sebelum kedatangan tentera Amerika Syarikat untuk mengambil alih, di wilayah Jolo, Sulu.
Dari kesempatan ini boleh sahaja kita menganggap pasukan Islam Moro sebagai “menangguk di air yang keruh”. Maka kita melihat masyarakat Islam Moro telah semakin bersatu dengan panji-panji Sultan bertunjang Agama Islam anutan mereka di tegakkan dengan harapan setinggi langit iaitu kini mereka bebas memerintah dan merdeka. Malangnya masyarakat Islam Moro tidak menyedari yang mereka telah dijual hidup-hidup oleh Spanyol. Bagi Spanyol tidak begitu mudah mereka meninggalkan selatan Filipina tanpa memberi mereka kesengsaraan dan penghinaan setelah ketiadaan mereka.
“Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan sebahagian dari wilayahnya. Secara tidak sah dan tak bermoral, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Syarikat dengan harga 20 juta Peso pada tahun 1898 melalui Perjanjian Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercayai. Dan inilah perwatakan musuh-musuh Islam sebenarnya pada abad ini. Hal ini dibuktikan dengan termeterainya Perjanjian Bates pada 1899 yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Islam Moro.
Namun perjanjian tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, kerana pada masa yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan revolusi Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah pemberontak revolusi kalah pada 1902, sikap AS berubah dengan menunjukkan wajahnya yang sebenar. Setahun kemudian iaitu pada 1903 Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah Moroland dengan alasan untuk membangunkan rakyat Mindanao dan Sulu.
Sebaliknya apa yang berlaku ialah peperangan demi peperangan yang ditimpakan AS terhadap Bangsa Moro. Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Manakala di antara tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran.”
Kita melihat betapa AS dengan kebijaksanaannya berdamai dengan Masyarakat Moro ketika AS sedang menangani pemberontakan di utara itu. Setelah berjaya mematahkan pemberontakan revolusi yang terdiri kelompok Kristian di utara Filipina pada 4 Julai 1902 dengan jayanya maka Presiden AS Theodore Roosevelt ketika itu menyatakan,
“ Keamanan telah pun tercapai di semua gugusan kepulauan, kecuali di negeri yang didiami oleh Kaum Moro”.
Dengan penuh ketidak-pekaan, wilayah selatan telah diserang dalam bulan Mei 1902. Maka bermulalah siri insiden, kemarahan yang amat, yang mana masyarakat Islam Moro di Sulu telah menjadi mangsa kekejaman yang tak dapat di gambarkan lagi.
Apakah ini yang dikatakan penyelamatan atau pembangunan? Atau sememangnya satu pembunuhan secara terancang untuk meng‘kasi’kan semangat orang-orang Islam Moro sebagaimana yang telah mereka buat terhadap kaum Red Indian di Amerika?
Sebenarnya boleh sahaja kita persalahkan masyarakat Moro ini kenapa mesti memerangi AS yang berjasa menyatukan dua wilayah besar Mindanao dan Kepulauan Sulu? Bukankah sebelumnya AS yang telah mengalahkan Spanyol dan menjadikan mereka (Moro) bebas dan terbela di tangan AS sekarang?
Bermacam persoalan yang bermain di kepala kita sebenarnya yang perlukan jawapan. Perlu ditegaskan disini bahawa AS tidaklah berpengalaman berperang dengan masyarakat Islam di Nusantara sebelum ini. Penulis menyebut Nusantara sebab budaya dan adat resam masyarakat Moro tiada bezanya dengan masyarakat Melayu lain di Nusantara, malah berkongsi Mazhab Sunnah (Syafi’i) yang sama serta sistem monarki Sultan yang sama. Malah AS sendiri tidak pernah lagi berperang dengan mana-mana wilayah Islam sebelum ini.
Fakta Kegagalan Amerika
Mengapa pendekatan AS menyatukan Mindanao dan Sulu yang di sebut Moroland itu tidak berjaya malah ditentang oleh masyarakat Moro? Bagi pihak masyarakat Moro sendiri pula apakah yang mereka inginkan sebenarnya lantaran mereka menentang habis-habisan penyatuan dua wilayah itu? Bukankah pendekatan AS itu baik untuk mereka?
Jawapan kepada persoalannya amat mudah iaitu mencari sebab-sebabnya terlebih dahulu. Kita lihat beberapa fakta yang mungkin membantu kita mencari sabab musababnya penentangan masyarakat Moro terhadap pendekatan AS itu.
.
Fakta 1:
AS setelah mengambil alih Filipina pada 1898 melalui Perjanjian Paris daripada Spanyol, AS mendapati wilayah Selatan masih ditadbir oleh masyarakat Moro dengan diketuai oleh Sultan dan para Datu yang masih berpegang kuat kepada ajaran Islam. Ini bermakna Spanyol telah menjual Negara Filipina kepadanya termasuk dua wilayah (Mindanao & Sulu) yang belum di kuasainya 100%.
Fakta 2:
Masyarakat Islam Moro yang majoritinya hanya di selatan terbahagi kepada dua wilayah besar iaitu Mindanao dan Sulu. Ini bermakna ditadbir oleh dua kekuasaan yang berdaulat masing-masing di bawah Kesultanan Maguindanao dan Kesultanan Sulu. Kedua-dua wilayah kesultanan punya sejarah peperangan yang panjang dengan Spanyol selama lebih 300 tahun dan masih belum dikuasai sekalipun ketika kedatangan Amerika Syarikat. Apa yang mereka mahu ialah kemerdekaan mutlak agar mereka bebas bergerak dan memilih Islam sebagai agama rasmi serta bebas mengamalkan adat resam dan budaya mereka. Bila AS mengambil alih kekuasaan dari Spanyol mereka (orang-orang Moro) mendapati bahawa tiada bezanya dengan Spanyol malah AS lagi teruk.
Fakta 3:
Setelah AS mendapati bahawa masyarakat Islam Moro belum ditundukkan oleh Spanyol malah sanggup menggadai nyawa sekali lagi sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada Spanyol sebelum ini maka tiada cara lain melainkan menggunakan cara atau taktik “Menundukkan Red Indian” itu semula. Bagi AS ia adalah satu-satunya cara yang berjaya dan akan mengulanginya di Filipina kali ini. Sebab itu perlunya kedua wilayah itu disatukan tanpa mengambil kira kedudukan sultan-sultan di dua wilayah itu (sebab itu Perjanjian Bates telah dibatalkan oleh AS sendiri setelah menyedari perjanjian tersebut tidak menguntungkan mereka dan diganti pula dengan Perjanjian Carpenter pada 1915).
_______________________________________________________________________
AKHIRNYA satu lagi keadaan yang tidak diingini oleh umat Islam seluruh dunia pada ketika itu ialah pembunuhan beramai-ramai terhadap orang Sulu di Bud Bagsak dan Bud Dajo telah berlaku. Umat Islam Moro merasakan negara mereka dijual tanpa persetujuan mereka sendiri oleh Spanyol kepada Amerika. Bukan sahaja Bangsa Moro yang dijual hidup-hidup oleh Spanyol malah AS seolah-olahnya terbeli ikan busuk yang tidak sesuai lagi dimakan kecuali perlu dicincang lumat atau dilenyek terlebih dahulu sebelum dijadikan baja. Sebab itu salah satu tindakan AS untuk mem‘baja’kan bangsa Islam Moro ialah menyatukan dua wilayah besar Mindanao dan Kepulauan Sulu di bawah satu nama dan pentadbiran iaitu “MOROLAND”.
Bolehkah menyatukan dua wilayah yang bertaraf negara dengan empunya kesultanan masing-masing begitu mudah? Ia sama seperti menyatukan negara Malaysia dan negara Indonesia dalam satu negara kesatuan dengan istilah “Indonesia Raya” sebagaimana yang berlaku di era konfrontasi Malaysia-Indonesia ketika dulu kerana mendapat inspirasi dari Kesatuan Soviet di Russia. Ia tidak akan berjaya. Kalau ia berjaya sekali pun akan berlaku seperti apa yang kita lihat sekarang ini di selatan Filipina. Peperangan berterusan dan keganasan juga akan berterusan. Hasilnya penduduknya akan bertebaran merata-rata mencari penghidupan yang lebih selamat dari konflik yang tiada kesudahan. Pembangunan akan terbantut dan terus tergendala maka yang rugi umat Islam sendiri dengan kemunduran yang berleluasa.
Hakikatnya ialah, Mindanao punya sistem kesultanannya sendiri dibawah kesultanan Maguindanao. Kepulauan Sulu juga punya sistem kesultanan yang unik dan tersendiri malah kekuasaan kesultanan Sulu juga pernah menjadi empayar. Perlu juga ditegaskan di sini bahawasanya Masyarakat Moro di Mindanao adalah dikuasai oleh Kesultanan dan para Datu Maguindanao dan bahasa yang digunakan secara meluas ialah Bahasa Maguindanao dan Maranao. Suku-suku kaum di Mindanao juga banyak. Mereka punya sejarah kesultanan yang hebat menentang penjajah seperti Sultan Qudarat dan sebagainya.
Moro Lawan Amerika Syarikat
Filipina telah diserahkan kepada Amerika Syarikat (A.S.) dibawah perjanjian “Treaty of Paris” 1898. Wilayah Islam Sunni di Filipina selatan terpaksa mengatur pertahanan semula. Pada tahun 1899-1902 pemberontakan di wilayah Utara (pemberontakan Aguinaldo) telah berjaya di Filipina ditamatkan dengan jayanya dibawah pasukan tentera A.S. dan telah diistiharkan tamat pada 4 Julai 1902. Presiden A.S. Theodore Roosevelt ketika itu menyatakan “Keamanan telah pun tercapai di semua gugusan kepulauan, kecuali di negeri yang didiami oleh kaum Moro”. Dengan penuh ketidak-pekaan, wilayah selatan telah diserang dalam bulan Mei 1902. Bangsa Moro tidak memerlukan A.S. malah memutuskan melancarkan Jihad demi kemerdekaan wilayah mereka dari kuasa asing samada Filipina, Spanyol atau A.S.
Tentera A.S , tentera laut dan darat akhirnya mendapati diri mereka berdepan dengan musuh iaitu Moro yang begitu cepat menyesuaikan diri dengan kedatangan AS menunjukkan kegagahan mereka, berdedikasi sesama mereka dan yang lebih penting Moro adalah musuh yang sangat ketat dan sukar. Malah tentera A.S. menjadi lebih berhati-hati dengan kesan semangat kerohanian Islam yang menyebabkan BangsaMoro terdorong berjihad, dengan pendirian bahawa apa yang benar pada mereka ialah kebebasan bernegara sendiri yakni ‘kemerdekaan’.
Berbanding Tentera A.S. peralatan ketenteraan Moro sangat daif dan ketinggalan. Tentera A.S. banyak senjata, model senjata seperti 30-caliber Krag-Jorgensen rifle- M1892 dan M1896 dengan senapang 5-shot magazine. Dicipta oleh Gatling dan Hotchkiss serta beberapa model meriam ringan. Manakala tentera Moro hanya memiliki pelbagai jenis senjata lama, termasuk senapang yang menggunakan ubat bedil (Muzzle-Loaders) dan beberapa meriam tembaga kuno. Itulah senjata yang mereka mampu dan mahir menggunakannya yang sangat memeranjatkan, dengan hanya senjata musuh, mereka datang dan menyerang sampingan telah menaikkan kegerunan seolah-olah membunuh diri dengan harapan membunuh sebanyak mungkin sebelum diri-sendiri terbunuh. Tentera A.S. melihat dan baru dapat mengenali dan memahami betapa kemampuan orang Moro dengan Barong terhunus sepanjang 1½-kaki berbentuk seperti daun (Barong adalah Pedang panjang Kampilan 3 ½-kaki senjata tradisi Moro, Kaum Tausug), adalah senjata tradisi Moro Kaum Maguindanao dan Maranao. Manakala Kris adalah senjata paling berkuasa ketika itu (di seluruh Nusantara).
Lazimnya, tentera Moro sangat terlatih dengan serangan dalam hutan, belukar dan serangan hutan paya, dan juga mahir dalam serangan kota. Orang Moro sering menyerang hendap kumpulan bergerak musuh ataupun sedang berkhemah dan selalu melakukan serangan secara dekat menetak dan menikam tentera A.S. dengan pantas sekalipun tentera A.S. bersenjata canggih ketika itu. Tentera A.S. tidak pernah tersua musuh jenis seperti ini sebelumnya, suasananya tidak seperti Peperangan Revolusi negera mereka dulu ataupun peperangan dengan Puak Indian.
Satu lagi masalah tentera A.S. ialah mereka tidak dapat membezakan tentera lelaki atau tentera wanita Moro. Kadang-kadang tentera wanita Moro tentera lelaki Moro sedangkan kononnya mempunyai kupayaan sama dengan tentera A.S. hanya ditugaskan memerangi kaum lelaki sahaja. Ini adalah masalah besar tentera A.S. ketika itu (hanya alasan). Yang lebih memburukkan keadaan ialah pahlawan wanita berpakaian serupa dengan pakaian pahlawan lelaki Moro. Tentera A.S. ketika itu adalah dilarang menembak kaum wanita dalam kumpulan rakyat Filipina. Yang menambahkan lagi masalah tentera A.S. ialah fakta bahawa keupayaan luarbiasa dan keyakinan yang nekad oleh pahlawan Moro, walaupun mereka ditembak dengan senapang canggih berkali-kali tapi masih dapat menetak dengan Kris mereka sehingga kehembusan nafas mereka yang terakhir. Pahlawan Moro berlatih serangan berani mati, atau telah terbena semangat ingin mati dalam diri mereka, di seluruh dunia, pahlawan Muslim telah menjadi musuh yang sangat merbahaya, sebab tiada erti kehidupan di dunia buat mereka (setelah datangnya panggilan berjihad).
Juramentado Dan Jihad
Pihak Amerika dikejutkan dengan taktik serangan berani mati tentera Moro. Tentera Spanyol yang sebelum kedatangan tentera Amerika menggelar serangan berani mati sebagai “Juramentado”, secara kasar bermakna “nekad untuk mati” atau dengan kata lain ‘Berani Mati’. Begitulah cara tentera Moro mentafsirkan erti Jihad. Dengan tujuan yang nekad membunuh mati untuk seramai mungkin tentera Kristian sebelum diri sendiri mendapatkan balasan syurga. Seorang Moro “Juramentado” akan menyerang kumpulan musuh dengan satu tujuan “membunuh dan mati”. Mujahideen Bangsamoro mengambil keputusan ini untuk mendapat keredhaan Allah swt, berkorban untuk mati.
Pada 1899, Lieutenant John J. Pershing telah tiba di Filipina dan ditugaskan dalam Eighth Army Corps. Misi utamanya ialah mengalahkan penyerang-penyerang Moro yang terdiri daripada pelbagai suku kaum itu. Akhirnya beliau dinaikkan pangkat sebagai Captain Pershing pada 2 February 1901. Beliau bertindak sebagai ‘adjutant’, jurutera, pegawai kastam dan komander pasukan berkuda. Penting juga dinyatakan di sini bahawa Pershing telah berada di Filipina dari 1899 hingga Jun 1913. Pershing juga dinaikkan pangkat ke Brigadier General oleh Presiden Roosevelt dalam tahun 1906 dan dihantar semula ke Filipina sebagai Gabernor Wilayah di selatan Filipina dan ditugaskan untuk membuat perjanjian dengan Moro.
Satu alasan yang perlu diperhatikan apabila tentera Moro secara berterusan menyelinap masuk menyerang dan membunuh rakyat Jolo, pegawai-pegawai Jolo, tentera Amerika atau rakyat Amerika ketika 1912 dan pada awal 1913 menjadikan General Amerika tertekan menyebabkan kerahan memburu dan menyerang tentera Moro. Diketahui dengan jelas juga bagaimana 38-caliber U.S. Army revolver tidak dapat menewaskan Pahlawan-pahlawan Moro yang terus menyerang dan membunuh tentera Amerika walaupun telah berkali-kali ditembak di tubuh mereka. Bila Brigadier General John J. Pershing mendapat penghantaran kapal yang membawa persenjataan baru yang lebih berkuasa 45-caliber automatic revolver, dia begitu berharap senjata baru itu dapat menghentikan serangan berani mati para juramentado Moro. (pent.- Selepas ini berlakulah pembunuhan beramai-ramai oleh tentera Amerika ke atas orang Moro di kota pertahanan Bud Bagsak, Jolo Sulu).
Kebangkitan Bangsa Moro Abad Ke-21: (Kesinambungan perang angkatan bersenjata Moro pada abad ke-20).
Pengulas abad ke-21 dari Filipina, serangan pengganas 11 September 2001 di Pusat Dagangan Dunia dan Pentagon denga cepat menuduh “Juramentado”. Seorang pemerhati menyatakan: “Keputusan bahawa (11 September) pengganas membunuh seramai mungkin dan akhirnya turut membunuh diri mereka mengingatkan kita pada orang Islam ‘Juramentado’ di Zamboanga dan Jolo, Filipina Selatan ketika era penjajahan Amerika ke atas kepulauan itu pada awal 1900-an”.
.
Pertembungan Moro dengan bala tentera U.S. berterusan sejak ketika memuncaknya perang yang pertama pada 1902 sehingga dengan rasminya tentera U.S. memerintah penuh pada 1913. Perang Dunia Pertama telah menjadi gangguan, dan perang telah mancapai tahap yang lebih rumit dengan menaikkan semangat masyarakat Filipina Utara (Wilayah Kristian totok) menuntut perhatian dan keadilan berbanding Moro, serta cita-cita Jepun menakhluk Filipina dalam Perang Dunia II menambahkan lagi kekecewaan Moro untuk mendapatkan kemerdekaan. Kemasukan Jepun telah ditentang hebat oleh tentera Moro, tetapi setelah selesai perang (War World II) Filipina pada 04 July 1946, dan masyarakat Moro mendapati telah dimerdekakan diri dan wilayah mereka telah disatukan bersama Republik Filipina pula.
.
Dekad yang seterusnya, Moro menyambung penentangan mereka berbanding berintegrasi dengan Republik Filipina. Kerajaan melaksanakan migrasi Kristian Filipina ke tanah atau wilayah tradisi Moro di Selatan yang mana dilihat oleh masyarakat Moro sebagai pengambil-alihan tanah secara besar-besaran adalah seperti mencurah minyak ke api. Perjuangan Moro mutakhir menggambarkan persamaan kemasukan rakyat Filipina (Kristian) ke Selatan dengan “Tindakan Polis ‘Israel’ menentang rakyat Palestin”. Kerajaan Kristian Utara akan menambahkan lagi ancaman keatas identiti Masyarakat Islam Moro. Moro gunakan taktik perang gerila di Pulau Jolo telah mendapat perhatian Major General Jens A. Doe, general pemerintah 41st Infantry Division, pada April 1945.
.
Kebangkitan MNLF Melawan Marcos
Moro menuntut bahagian dari hasilbumi mereka daripada Kerajaan Pusat dengan permintaan yang berbeza iaitu pelaburan ke kawasan mereka, pendidikan, penjagaan kesihatan, mendapat hak sistem keadilan, dan beberapa permintaan lagi iaitu pemangkin aspirasi kepada kemerdekaan sebelum ini. Tetapi kumpulan-kumpulan ganas Kristian yang bersekongkol dengan angkatan polis tempatan telah melakukan kekejaman terutamanya pembunuhan beramai-ramai Jabidah pada 18 March 1968, telah menjadi bencana melahirkan tindakbalas ganas dari Moro ketika era pemerintahan Marcos. Tentera Filipina membunuh sekurang-kurangnya 200 Moro yang direkrut di Corregidor Island. Para rekrut ini (Jabidah Special Forces) sedang dalam latihan untuk misi perang yang luarbiasa dengan sasaran iaitu merampas Sabah (Borneo) yang dipertikaikan pemilikan Malaysia ke atas Sabah di bawah kod “Operation Merdeka”.
Para rekrut Moro telah ditembak setelah enggan mengikut arahan dan juga untuk menyembunyikan bukti tujuan sebenar operasi itu. (Bermakna mereka dibunuh setelah mengetahui tujuan mereka di latih lalu enggan mengikut arahan seterusnya)
Setelah tercetus situasi ini maka tiba-tiba secara diam-diam tertubuhlah satu formasi tentera, Moro National Liberation Front (MNLF) lewat 1969. Para pelajar Moro dari seluruh universiti di Filipina, Mesir, dan dimana-mana tempat di Timur Tengah yang prihatin untuk mewujudkan negara Islam yang merdeka di Filipina Selatan bersatu menubuhkan MNLF. MNLF semakin kuat dengan bantuan asing seperti Muammar Qaddafi dari Libya dan turut membantu ialah Gabenor Sabah, Malaysia, yang menyumbang persenjataan dan lain-lain bantuan perubatan dari Libya yang juga melatih latihan ketenteraan para belia Moro.
Dengan dokongan bantuan persenjataan dari luar dan bermacam-macam lagi bantuan, dalam pertengahan 1970-an, MNLF dianggarkan mempunyai ahli yang mencecah 30,000 tentera lelaki lengkap bersenjata bertempur dengan tentera Filipina dan Polis di kepulauan Sulu dan Mindanao. Pada awalnya telah menampakkan kejayaan tetapi mula lemah penentangannya pada lewat 1975, walaubagaimana pun para pemimpinnya berpindah ke Sabah dan mendapat sedikit bantuan dari kerajaan serta Program Amnesty. (Talipok, Kota Kinabalu & Mawtas atau Kg. Bahagia Sandakan adalah sebahagian Penempatan Amnesty untuk pelarian Filipina yang masih wujud sehingga ke hari ini). Genjatan senjata pada 1976 dan pembangunan di kawasan otonomi sementara telah diberikan, tetapi bukannya kemerdekaan, zon kawasan masyarakat Islam di selatan seolah-olahnya adalah kawasan mutlak MNLF. Tidak lama kemudian, disusuli oleh Iran dengan kebangkitan revolusinya pada 1979 telah turut membantu datangnya curahan bantuan dan dokongan semula di peringkat antarabangsa kepada MNLF.
Kemudian pada tahun 1987 di Jolo Filipina tercetus lagi satu ensiden yang menyebabkan perang Moro masih tiada jalan penyelesaian. Seorang Datu, iaitu Datu Halun Amilusia yang memiliki senapang antik ayahnya era Perang Dunia II, jenis M-1 Carbine yang begitu bangga dengan riflenya. Ketika dulu pernah digunakan membunuh tentera Jepun dan pernah melalui zaman kerajaan Islam ketika dulu, dan juga pernah membunuh tentera Filipina. Khabarnya adik lelaki dan Ayah Datu ini, Pernah mendapat anugerah “Bronze Star” kerana keberanian menjadi tentera gerila menentang tentera Jepun, telah dibunuh oleh tentera Filipina pada 1985 ketika tentera Filipina menyerang rumahnya. Pembunuhan seperti ini bukannya sedikit, maka tindak balas ganas dari pihak Moro akan berterusan.
Kebangkitan MILF
Dalam tahun 1979, satu kumpulan kecil saingan yang tidak bertahan lama telah muncul yang telah diasaskan oleh pemimpin MNLF yang tidak sehaluan yang berpusat di Saudi Arabia. Pada 1977 iaitu Bangsa Moro Liberation Organization, kepimpinan MNLF yang tidak bersatu menyebabkan perpecahan maka tertubuhla organisasi ini. Pada 1983 satu lagi kumpulan serpihan tersebut menamakan kumpulan baru iaitu MILF (Moro Islamic Liberation Front). Walaupun MILF lebih kecil dari pendahulunya (MNLF) tetapi juga mempunyai keupayaan yang tidak terduga dengan persenjataan perang yang lengkap.
Pada ketika ini, 3 organisasi Islam dengan keunggulan masing-masing ingin menunjukkan kepada masyarakat Moro dengan janji menaikkan taraf hidup mereka, genjatan senjata, serta berbincang perdamaian dengan organisasi pertubuhan Moro lain untuk berdamai dengan kerajaan Filipina. Tetapi suasana menjadi semakin rumit bila satu lagi kebangkitan yang lebih jauh dari jangkauan geografi, iaitu bermulanya perang Soviet-Afghan pada Disember 1979. Telah menghasilkan satu lagi pemberontak kumpulan, lebih radikal dan ganas berbanding kumpulan Islam lain di Filipina, dinamakan Abu Sayyaf Group (ASG).
(ASG) dan Keganasan? Kebangkitan Abu Sayyaf
Sebelum formasi ASG ini secara terperinci, kita menelusuri asal kemunculan secara kasarnya kita bersetuju bahawa pengasas kepada kumpulan Moro ini Bakar Janjalani yang pernah belajar di Timur ialah Abdurrazak Abu Tengah telah tertarik dengan fahaman Wahhabi yang dilagang oleh Professor Abdul Rasul Abu Sayyaf. Professor Afghan dan kaum dari etnik Pashtun ini adalah seorang bekas pengikut fahaman yang berasal dari Arab Saudi – yang diasaskan pada kurun ke-18 oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab (Sebenarnya Arab Saudi bermazhab Neo-Hambali yakni Mazhab Hambali mengikut acuan Ibnu Taimiyyah yang diperkenalkan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab kepada pemerintahan awal Bani Sa’ud. Sebahagian umat Islam menggelar mereka Wahhabi tetapi mereka yang digelar wahhabi ini pula menamakan diri mereka Salafi).
Selepas pelanggaran Soviet ke atas Afghanistan, Abu Sayyaf, dikatakan telah menjadi seorang yang disegani, sifat kepemimpinannya terserlah dan telah mewujudkan kumpulan-kumpulan mujahideen yang beroperasi dekat Kabul yang menentang tentera Soviet pada 1986. Untuk menunjukkan pengikut Wahhabi dari Arab Saudi kesatuan Islam, para simpati radikal adalah penyumbang kewangan terbesar kepada kumpulan ini, yang juga Islam. Yang akhirnya menjadi bantuan dikaitkan dengan persaudaraan pemusatan aktiviti oleh seorang rakyat Jordan berbangsa Palestin Sheikh Abullah Azzam untuk membawa masuk ramai mujahideen dari luar yang juga mendapat pelbagai sokongan pada 1984. Kewangan dan sumbangan lain selalunya datang dari sumbangan amal umat Islam.
Dilaporkan ASG telah melatih lebih kurang 20,000 tentera mujahideen asing. Kebanyakan dari mereka yang dilatih di kem berhampiran Peshawar, Pakistan, yang bersedia untuk dekerah berperang adalah dari Timur Tengah, Afrika Selatan dan Filipina.
Abu (Abdurrazak) sendiri tiba di Afghanistan pada 1986 dan Bakar Janjalani di laporkan menyertai Kesatuan Islam Sayyaf (Sayyaf’s Islamic Union). Dia berkemungkinan berada di Afghanistan dalam kem latihan Sayyaf dan seterusnya berada di situ sehingga perang tamat. Sebagaimana ribuan tentera Islam yang bukan berbangsa Afghan, termasuk mujahideen Mesir, Saudi, Algeria, Chechen, Uzbek, Kuwait, Uighurs dari Xinjiang China, dan lain-lain, Janjalani juga turut serta menghalau keluar Tentera Soviet dari Afghanistan. Dengan tamatnya peperangan mujahideen mendapat kejayaan yang membanggakan pada Februari 1989, hampir kesemua pejuang mujahideen asing bertebaran di negara-negara Islam di seluruh dunia setelah kembali ke negara masing-masing.
Telah didokumentasikan dengan baik, bahawa kebanyakan dari mereka telah terlibat dengan kekacauan dan kumpulan-kumpulan penentang bersenjata untuk berperang atas nama jihad keatas rejim kerajaan masing-masing yang dianggap telah melakukan bid’ah atau keterlaluan mengikut pemerintahan acuan barat. Kesinambungan terjalin erat dan semakin subur dari pengalaman perang Afghanistan, telah menguasai peraturan dalam serangan ke atas kehidupan rakyat Amerika Syarikat, harta serta kepentingan A.S. di seluruh dunia yang akan terus berlaku dimasa-masa akan datang.
Pada pertengahan 1989 hingga 1990, Janjalani muncul dan meninggalkan Afghanistan menuju ke wilayah asalnya di Filipina iaitu Pulau Basilan, Sulu yang hanya dipisahkan oleh selat lurus dengan ibu negeri Mindanao, Zamboanga. Dia dan ramai lagi bekas pejuang Afghan Moro kembali ke Filipina dengan pandangan, kejayaan Afghanistan perlu diulangi di Filipina. Azam yang begitu tinggi untuk mendapatkan kemerdekaan dengan mewujudkan kerajaan Islam yang tegas di Selatan Filipina.
Ada juga Mujahideen Moro yang sekembali dari Afghan menyertai MNLF dan sebilangan lagi menyertai MILF. Walaubagaimana pun Janjalani (Abdurrazak) percaya akan “keaslian” agama Islam yang di bawa oleh Wahhabi. Di Basilan dengan bandar utamanya Tabuk, dia pernah berkata bahawa sudah tiba masanya mengubah kepada suasana awal (awal Islam) dengan wanita berpakaian hitam dan lelakinya memakai pakaian kelabu atau putih.
Dia memulakan dengan beberapa orang pengikut dan menubuhkan kumpulan pemberontak yang dinamakannya Abu Sayyaf. Sempena nama mentornya (Prof. Abdul Rasul Abu Sayyaf). Elemen tidak sehaluan dalam MNLF yang diketuai oleh seorang yang berfahaman sama dengan Janjalani, seorang guru yang warak bernama Wahab Akbar, menyertai Janjalani dalam perjuangan ini. Dengan pengikut yang kecil pada peringkat awal kira-kira 20 keahlian, dengan matlamat mewujudkan kerajaan Islam yang asli di Mindanao.
ASG semakin berkembang dengan keahlian yang semakin ramai sekurang-kurangnya beberapa ratus keahlian yang semakin menonjol dan semakin dirasakan kehadirannya di dan beberapa kawasan di Mindanao. ASG Basilan, gugusan kepulauan Sulu telah menunjukkan dirinya yang sebenar di khalayak dengan sifat ganasnya seperti pengeboman, pembunuhan, serangan dan serang hendap yang juga diketahui sebagai merompak, memeras ugut, penculikan dan akhirnya menjadi ‘trademark’ mereka.
Salah satu elemen yang cukup besar yang mengundang tindakbalas Tentera Filipina yang di sokong oleh A.S berkemungkinan disebabkan penahanan 2 muballigh Kristian dari Wichita, Kansas dan beberapa ‘Nurse’ Filipina. ASG juga digambarkan sebagai satu kekuatan yang menguasai lautan tradisi Moro, aktiviti pelanunan berleluasa di sekitar perairan Filipina yang kadang-kadang aktiviti mereka menjangkau ke tempat-tempat yang lebih jauh dari rumah mereka. Komentator Filipina membuat salah seorang lanun yang manjadi legenda bernama antara perbandingan kumpulan ASG Jikiri (Dzikiri) kira-kira tahun 20-an yang lalu dengan mempunyai persamaan. Selepas bertahun berjaya dengan perlakuan jenayahnya iaitu dengan berselindung di sebalik tuntutan mengembalikan sebahagian hak-hak orang Moro, yang akhirnya Jikiri terbunuh setelah bertempur dengan pegawai Amerika secara “hand-to-hand” di Pulau Patian. Kini, kapal-kapal perniagaan komersil mula takut yang ASG pula dan kumpulan-kumpulan ganas lainnya akan mengalihkan perhatian kepada mereka sebagai mangsa mudah di lautan yang terbentang luas itu akan menjadi kenyataan.
.
Askar Filipina dan angkatan Polis juga mencapai beberapa kejayaan dalam misi menghapuskan ASG, termasuk kejayaan meragut nyawa pengasasnya, Janjalani (Abdurrazak) pada Disember 1998 dalam satu pertempuran bersenjata yang juga turut menangkap atau membunuh beberapa pemimpin beserta pengikut lain. pengasasnya dan dengan gelaran seperti Khaddafy Janjalani, adik kepada nama pemimpin Libya yang mendapat sokongan, kini menjadi pemimpin ASG yang baru.
.
Laporan ada mengaitkan antara Osama Bin Laden dan ASG yang pernah bertemu di Afghanistan pada 1980-an di mana Osama seperti juga Janjalani (Abdurrazak) sangat rapat ketika dalam hubungannya dengan Professor Abdul Rasul Abu Sayyaf Sayyaf’s Islamic Union dan turut sama-sama berperang. Ketika kerahan Osama ini dilaporkan penyumbang perang Afghan, Al-Qaeda kumpulan kewangan di samping penyumbang lain kepada ASG. Walaubagaimana pun secara tepat bantuan itu disalurkan tidaklah diketahui.
.
Pada awal pertengahan 1990-an adik tiri Osama, seorang jutawan Arab Saudi ketua bernama Muhammad Jamal Khalifa, disyaki salah seorang dari penyumbang kewangan kepada ASG dan berkemungkinan pemberontak Islam Filipina turut mendapat bantuan sama. Melalui sumbangan amal di Filipina, sesetengah sumbangan melalui individu yang ada pertalian dengan Khalifa, Ramzi Yusuf, yang mana terlibat dalam pengeboman Pusat Dagangan Dunia (World Trade Center) pada 1993.
.
Kami menamatkan perang Moro ini di sini. Mengenai sejarah ASG di atas, jelas menunjukkan pada kita asal usul ASG itu. Beberapa orang Sulu yang kami temui dan temuramah melalui internet menyatakan bahawa Abdul Razak Janjalani itu sekalipun dikatakan menganut ajaran Wahhabi/Salafi tetapi telah menunjukkan keazaman dan ketelusan semasa hayatnya memerangi ketidak adilan Filipina terhadap Sulu. Tetapi setelah beliau terbunuh, jamaahnya telah diambil alih oleh pemimpin yang telah disusupi anasir luar. Hakikatnya ASG itu adalah produk CIA dengan kerjasama pihak keselamatan Filipina sendiri dengan merancang serangan-serangan ganas agar ASG dituduh pengganas pula, maka ada alasan meminta bantuan Amerika seterusnya membawa tentera Amerika masuk ke Sulu.
________________________________________________________________________
Ulasan: Dalam konteks penentangan orang-orang Moro di Selatan Filipina, perlu kita ambil perhatian bahawasanya mereka (orang-orang Moro) secara semulajadinya menentang kepada pencerobohan penjajah yang sudah mereka maklumi sebagai pembawa ajaran Kristian kerana mereka telah pun menyaksikannya sendiri bagaimana para penjajah berjaya mengkristiankan utara Filipina. Prof. Cesar telah menyentuh perkara ini dalam bukunya ‘Islam Di Filipina’ bahawa Spanyol telah menunjukkan diri mereka sebagai penjajah yang memaksakan agama mereka (Kristian) keatas Moro Sulu sebab itu orang-orang Moro Sulu termasuk Moro Mindanao sangat keras penentangannya terhadap Spanyol hinggakan tidak pernah Spanyol mendapat kesempatan menakluk wilayah selatan kecuali memeterai perjanjian perdagangan sahaja. Spanyol telah melakukan perkara yang memalukan dan biadap dengan menjual kesemua wilayah Filipina termasuk Sulu dan Mindanao kepada Amerika Syarikat (setelah kalah perang) dengan harga murah. Walhal dua wilayah besar Sulu dan Mindanao itu tidak pernah ditakluki oleh Spanyol.
Rentetan dari penjualan negara yang biadap itu, Amerika mendapati dua wilayah di selatan itu belum tertakluk sebab itu Amerika mengganas di Sulu dengan melakukan pembunuhan beramai-ramai yang tercatat dalam sejarah mereka sendiri sebagai “Pembunuhan yang memalukan”.
Kerana membunuh ribuan rakyat Moro Sulu termasuk kaum wanita dan kanak-kanak hanya disebabkan kaum Tausug tidak puas hati dengan pendudukan Amerika di wilayah mereka yang sememangnya merdeka. Prof. Datu Emmanuel D.Mangubat menyatakan dalam satu artikelnya dalam akhbar tempatan Filipina bahawa ketika Aguinaldo berjaya memerdekakan Filipina dari tangan Amerika Syarikat wilayah Selatan (Moroland) itu masih berperang dengan Amerika maka bagaimana mereka (Filipina) mengatakan yang Sulu dan Mindanao itu wilayah mereka? Wallahu a’lam.
Nota kaki:
[1] Islam Di Filipina, Prof. Cesar Adib Majul, m.s. 154 (Terjemahan Shamsuddin Jaapar, DBP:1988).
.
[2] Lapu-Lapu perwira yang membunuh Ferdinand Magellan ini dikatakan berbangsa Bugis dari Sulawesi manakala dari versi lain menyatakan bahawa beliau ialah dari kaum Tausug Sulu. Rasanya kedua-duanya benar, sebab sekiranya beliau berasal dari Tanah Bugis sudah tentu di Sulu pun ada kaum yang berasal dari Tanah Bugis itu, iaitu kaum Tausug Baklaya. Tausug Baklaya adalah Tausug yang tinggal di persisiran pantai Sulu dan sejarah menyatakan mereka berasal dari Sulawesi atau dari Tanah Bugis.
.
[3] Kesultanan Sulu dan Kesultanan Brunei sememangnya adalah bersaudara sekalipun antara mereka tidak berkahwin campur kerana moyang mereka Sultan Sulu, Sultan Shariful Hashim (keturunan Sayyidina Hussein r.a.) dan Sultan Brunei, Sultan Sharif Ali Barakat (keturunan Sayyidina Hassan r.a.) itu adalah dikalangan Ahlul Bait Rasulullah s.a.w.
.
[4] Rujuk: Salsilah Kesultanan Sulu susunan YM Datu Ali Aman – Pangeran Budiman @ Raja Ilo sebenarnya adalah Sultan Sulu dari keturunan Sultan Shariful Hashim, anak saudaranya berkahwin dengan Sultan Brunei ketika itu.
.
Tajuk : Bangsa Moro dalam Lintasan Sejarah
Oleh: Iman Nugraha
Sumber : http://www.angelfire.com/id/sidikfound/moro.html
Secara geografis wilayah Filipina terbagi dua wilayah kepulauan besar, yaitu utara dengan kepulauan Luzon dan gugusannya serta selatan dengan kepulauan Mindanao dan gugusannya. Muslim Moro atau lebih dikenal dengan Bangsa Moro adalah komunitas Muslim yang mendiami kepulauan Mindanao-Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian selatan.
Sejarah masuknya Islam
Islam masuk ke wilayah Filipina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao, pada tahun 1380. Seorang tabib dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai orang pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut.
Menurut catatan sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangiran dari Minangkabau (Sumatra Barat). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao, memeluk Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Pada masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan kodifikasi hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb, Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab.
Manguindanao kemudian menjadi seorang Datu yang berkuasa atas propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao. Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datu atau Raja bahkan setelah kedatangan orang-orang Spanyol. Konon menurut para ahli sejarah kata Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata Amanullah (negeri Allah yang aman). Pendapat ini bisa jadi benar mengingat kalimat tersebut banyak digunakan oleh masyarakat Islam sub-kontinen (anak benua India).
Masa Kolonial Spanyol
Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina pada 16 Maret 1521, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik "ekspedisi ilmiah" Ferdinand de Magellans. Ketika kolonial Spanyol menaklukan wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah.
Tentara kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun 1876). Menghabiskan lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum Muslimin. Namun, walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara total.
Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah belah and kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam. Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai "Moor" (Moro). Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut.
Tahun 1578 terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri. Penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian di adu domba dan disuruh berperang melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan "misi suci". Dari sinilah kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang.
Sejarah mencatat, orang Islam pertama yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah istri Raja Humabon dari pulau Cebu, kemudian Raja Humabon sendiri dan rakyatnya.
Masa Imperialisme Amerika Serikat
Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya. Secara tidak sah dan tak bermoral Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat Paris.
Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus 1898) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo.
Terbukti setelah kaum revolusioner kalah pada 1902, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903) Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Periode berikutnya tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran.
Patut dicatat bahwa selama periode 1898-1902, AS ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode 1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa Moro.
Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka.
Kebijakan pendidikan dan bujukan yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan kesatuan di antara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai diserang oleh norma-norma Barat.
Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan orang-orang Kristen. Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit demi sedikit mengancam tradisi kemandirian yang selama ini dipelihara oleh masyarakat Muslim.
Masa Peralihan
Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis seperti Land Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah. Kemudian Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah. Demikian juga Public Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496 sebagai tanah negara, The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN Filipina dan AS, serta Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat (Filipina) yang berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih paham dengan urusan birokrasi, untuk melegalisasi kalim-klaim atas tanah.
Pada intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis.
Pemberlakukan Quino-Recto Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935 menandai upaya pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan menjajah Mindanao. Pemerintah mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan dan survei-survei tanah negara, sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang baru. NLSA - National Land Settlement Administration - didirikan berdasarkan Act No. 441 pada 1939. Di bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang menampung ribuan pemukim dari Utara dibangun di propinsi Cotabato Lama.
Bahkan seorang senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 gigih mengkampanyekan program pemukiman besar-besaran orang-orang Utara dengan tujuan untuk menghancurkan keragaman (homogenity) dan keunggulan jumlah Bangsa Moro di Mindanao serta berusaha mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Filipina secara umum.
Kepemilikan tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao. Banyak pemukin yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan. Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka sendiri.
Masa Pasca Kemerdekaan hingga Sekarang
Kemerdekaan yang didapatkan Filipina (1946) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat) dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina). Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada saat yang sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan.
Pada awal kemerdekaan pemerintah Filipina disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan Hukbong Bayan Laban Sa Hapon. Sehingga tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro dikurangi. Gerombolan komunis Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat anti penjajahan Jepang, setelah Jepang menyerah mereka mengarahkan perlawanannya ke pemerintah Filipina. Pemberontakan ini baru bisa diatasi di masa Ramon Magsaysay, menteri pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino (1948-1953). Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986).
Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro. Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih dikenal dengan Presidential Proclamation No. 1081 itu.
Perkembangan berikutnya kita semua tahu. MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah. Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro.
Ditandatanganinya perjanjian perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta lebih menunjukkan ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2 dasawarsa itu. Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF).
Semua pihak memandang caranya lah yang paling tepat dan efektif. Namun agaknya Ramos telah memilih salah satu diantara mereka walaupun dengan penuh resiko. "Semua orang harus memilih, tidak mungkin memuaskan semua pihak," katanya.
Artikel Pilihan 2.
Tajuk : Perang Moro Dalam Sejarah Awal Filipina
Sumber : : http://tausug-global.blogspot.com/2008/09/8-perang-moro-dalam-sejarah.html
Ahad, 2008 September 14
PHILIPINES atau Filipina sebagaimana juga negara-negara di sekitar Nusantara punya pra-sejarah yang sama. Manusia Negrito adalah penghuni awal, kemudian Melayu-Proto adalah yang menghuni kepualauan Filipina setelah itu. Masyarakat Negrito dipercayai telah menghuni kepulauan Filipina sejak 30,000 tahun yang lampau semenjak Zaman Ais lagi.
.
Pada 1500-an, Islam telah pun berada di Pulau Luzon. Para pedagang Arab-Islam dipercayai adalah pembawa Agama Islam di seluruh kepulauan Filipina. Pada 1565 telah wujud Bandar Amanillah (Mendapat keamanan Allah) yang dikenali Manila pada hari ini.
Sejarah telah membuktikan pada kita, Raja Sulaiman (Kerabat Kesultanan Brunei) adalah yang berkuasa di situ sekurang-kurangya sebelum kedatangan Spanyol sekitar 1600.
Sistem masyarakat ditadbir secara Islam dengan para Datu yang mengetuai setiap kawasan Barangay. Tentunya bahasa Melayu adalah sebahagian bahasa pertuturan di Manila di sebabkan kesultanannya adalah dari kerabat Kesultanan Brunei yang sememangnya adalah orang Melayu. Manakala di bahagian selatan ketika itu, Mindanao dan kepuluan Sulu juga menerima kedatangan Islam lebih awal. Sebahagian ahli sejarah percaya Islam telah pun sampai di selatan Filipina pada 1380–1400an di sana berdasarkan pada bukti-bukti berupa kubur-kubur dan sebagainya.
Pada 16 Mac 1521, penjelajah terkenal Spanyol, Ferdinand Magellan (1480-1521) telah mendarat di Cebu ketika dalam misinya mengelilingi dunia di samping mencari tanah jajahan. Tanah Pulau Cebu telah dimasukkan sebagai wilayah baru hak milik Raja Charles 1 di Spanyol. Sebulan kemudian Ferdinand Magellan telah dibunuh dalam satu pertempuran tepi pantai Maktan oleh seorang panglima Islam. Peristiwa pembunuhan Ferdinand Magellan ini adalah yang paling bersejarah di Filipina hingga ke hari ini sehingga didirikan tugu peringatan si pembunuhnya iaitu panglima “Lapu-lapu” di Bandar Maktan, Cebu.
Pada 1565, Miguel Lopez De Legazpi seorang Gabenor Diraja telah sampai ke Pulau Cebu dari New Spain (Maxico). Enam tahun kemudian setelah berjaya melumpuhkan sistem pentadbiran Islam di tangan para Datu, beliau telah ke Manila dan mendirikan pelabuhan komersil di bandar utama Manila sebagai pusat pentadbiran ketenteraan dan keagamaan. Maka di sinilah bermula nama Filipina (Philipines) sempena nama Raja Philip II di Spanyol yang memerintah pada 1556 hingga 1598. Maka bermulalah penjajahan ke atas Filipina sehingga lebih 300 tahun lamanya di tangan Spanyol dan kita akan dapat saksikan sejarah telah mencatatkan keganasan demi keganasan ke atas masyarakat Filipina terutamanya masyarakat Islam sehingga ke hari ini. Sebaliknya yang dituduh pengganas adalah masyarakat Islam sendiri yang berjuang menentang penceroboh.
Matlamat Penjajah Spanyol
Matlamat penjajahan Spanyol di Filipina sebenarnya adalah kerana 3 sebab:-
1. Menguasai kawasan dan laluan rempah.
2. Membina persefahaman dengan Dinasty China dan Jepun.
3. Mengkristiankan Masyarakat Filipina keseluruhannya.
Matlamat pertama dan kedua telahpun berjaya dengan cemerlang, cuma matlamat yang ketiga mereka gagal melaksanakannya hingga ke hari ini. Kerana penentang utamanya adalah masyarakat Islam sendiri yang sukar ditewas dan ditundukkan kerana punya senjata yang menggerunkan pihak spanyol sendiri iaitu senjata “Jihad Fi Sabilillah” yang dikenali oleh Spanyol sebagai “Juramentado” (Berani Mati). Sejarah juga telah memberitahu kita, hanya bahagian selatan Filipina sahaja yang tidak pernah mereka masuki dan tadbir secara menyeluruh disebabkan tentangan sengit masyarakat Islam yang diketuai oleh Sultan-sultan Maguindanao dan Sultan-sultan Sulu serta Datu-datu nya .
Perlu juga diakui bahawasanya Spanyol dan misi Kristianisasinya telah berjaya di bahagian utara Filipina. Bukti kejayaan mereka ialah hingga ke hari ini majoriti penduduk dari tengah Filipina hingga ke utara adalah Kristian. Manakala dari utara Mindanao hingga ke Kepulauan Sulu majoritinya muslim. Kita melihat betapa misi pengkristianan Spanyol adalah secara istiqamah menujah masuk ke selatan Filipina (Mindanao dan Kepulauan Sulu) tetapi tentangan berdarah dari masyarakat Islamnya juga istiqamah. Buktinya hingga ke hari ini tentangan berdarah ini masih berlaku. Tetapi bagi Spanyol dorongan membolot harta kekayaan yang banyak di selatan Filipina sangat kuat cuma perlu berkerja keras menukar agama “Muhamadan” mereka kepada Kristus agar mudah mereka masuk menyedut apa sahaja yang ada di bumi selatan Filipina itu.
Malangnya wilayah terakhir yang dipertahankan aqidahnya iaitu Pulau Cebu telah berjaya dikristiankan. Sejarah memberitahu kita wilayah terakhir yang berjaya dikristiankan ialah Pulau Cebu iaitu Permaisuri Raja Humabon telah masuk Kristian disebabkan tekanan politik dan taktik kotor pihak kolonial Spanyol. Tidak lama kemudian Raja Humabon sendiri telah murtad dan diikuti oleh rakyatnya. Kejayaan besar buat Spanyol. Maka misi seterusnya ialah wilayah selatan (Mindanao dan Kepulauan Sulu).
Kronologi Perang Moro Sulu Era Spanyol
Pemberontakan Bangsa Moro di Filipina barangkali adalah kesinambungan peperangan yang panjang sejak abad ke-15 dan ke-16 yang lalu. Islam telah datang ke Selatan Filipina pada abad ke-14 ke kepulauan yang terbentang luas hingga ke kepulauan Indonesia yang dibawa oleh para pedagang Islam dan para pendakwah (Ahlul-Bait), dan pada abad ke-16 dakwah Islam telah menyebarluas melalui gugusan kepulauan Sulu hingga ke Mindanao sehinggalah ke utara. Masyarakat ini mempunyai konsep kehidupan dan kekuasaan, kehidupan sosial, serta kedaulatan mereka sendiri. Kronologinya:
Pada 1565, Prof. Cesar menyatakan bahawa perang pertama meletus pada 1565 di utara Filipina (kawasan Bohol) antara kapal dagang orang Borneo (Melayu Brunei) dengan angkatan perang Legazpi. 20 orang Brunei terkorban sedangkan Spanyol hanya seorang yang terbunuh. Sebelum ini sememangnya orang-orang Brunei telahpun bertapak di pulau Luzon iaitu di Amanillah (sekarang Manila) yang diperintah oleh Kerabat Diraja Brunei iaitu Raja Sulaiman.[1]Tetapi sebelum itu telahpun berlaku peperangan kecil di pulau Cebu antara Ferdinand Magellan dengan perwira Lapu-Lapu (dari Bugis Sulawesi) [2] pada April 1521 yang membawa kepada pembunuhan Ferdinand Magellan.
Pada 1569, Orang Brunei bersatu dengan Orang Sulu[3] menentang Spanyol di perairan Visaya antara 9 buah kapal Spanyol melawan 20 buah kapal tentera Brunei dan Sulu. Malangnya tentera Brunei dan Sulu berjaya dikalahkan dengan merampas 4 buah kapal yang sarat dengan barang-barang dagangan yang berharga. Spanyol telah menuduh 20 kapal Brunei dan Sulu itu sebenarnya adalah Lanun. Maka bermulalah penggelaran lanun terhadap umat Islam Moro yang menentang Spanyol ketika itu oleh Montero y Vidal.
Pada 1574 Sultan Brunei mempersiap satu angkatan tentera untuk men-yerang Manila iaitu 100 perahu, 100 buah kapal kecil dengan tentera seramai lebih kurang 7,000. Ketika dalam perjalanan ke Manila Sultan Brunei memanggil tenteranya kembali semula ke Brunei disebabkan alasan tertentu.
Pada 1578 Pangeran Buong Manis (Pangeran Sri Lela) yang mahu merebut takhta kerajaan Brunei (dari saudaranya Seiful-Rizal) datang ke Manila me-minta bantuan Spanyol mengalahkan Seiful-Rizal. Sekiranya berjaya beliau berjanji membayar ufti kepada Spanyol. Peluang keemasan ini tidak dilepaskan oleh Spanyol lalu Gabenor Jeneral Francisco de Sande belayar ke Brunei dengan 40 buah kapal beserta serdadu 400 Spanyol, 1,500 anak tempatan Filipina dengan diiringi oleh tentera tambahan dari Pangeran Buong Manis iaitu orang-orang Brunei sendiri seramai 300 orang. Setelah 30 hari belayar, sampai ke Kuala Sungai Brunei dan pertempuran terus berlaku. Tentera Brunei yang dibantu oleh tentera Sultan Sulu (Pangeran Budiman @ Raja Ilo adalah saudara ipar kepada Sultan Seiful-Rizal)[4] itu telah dikalahkan oleh Spanyol. Seiful-Rizal melarikan diri bersama ayahandanya yang uzur Sultan Abdul Kahar ke pedalaman Brunei dan mendirikan istana di sana.
Kegembiraan Spanyol dalam kemenangan tersebut hanya sementara apabila selang beberapa bulan kemudian Pangeran Buong Manis (talibarut Spanyol) telah dibunuh dan Seiful-Rizal pula telah diangkat menjadi Sultan Brunei yang baru maka segala perancangan Spanyol bersama Pangeran Buong Manis untuk mendapat tempat di Borneo terbantut begitu sahaja.
Pada Jun 1578 Sultan Sulu (yang menyertai peperangan melawan Spanyol bersama saudara iparnya Seiful-Rizal di kuala Sungai Brunei telah berjaya meloloskan diri kembali ke Sulu setelah pasukan mereka dikalahkan oleh Spanyol). Didapati tentera Spanyol yang diketuai oleh Kapten Esteban Rodriguez de Figueroa atas arahan Francisco de Sande telah sampai di Jolo pula maka berlaku lagi satu pertempuran sengit antara tentera Sultan Sulu dengan Spanyol di Jolo malangnya tentera Sulu berjaya dikalahkan dan sultan terpaksa mengaku membayar ufti (inilah peperangan pertama antaraSultan Sulu dengan Spanyol di Jolo, Sulu).[5]
Pada 1597 di Mindanao, Sultan Maguindanao telah bersatu pula dengan Sultan Ternate (Maluku)[6] untuk menentang serangan Spanyol di Mindanao. Ternate (Maluku) menghantar 800 orang perwiranya membantu saudara-saudara seagamanya di Mindanao malangnya turut tumpas di tangan Spanyol.
Pada 1597 dalam tahun yang sama juga Kapten Joan Pacho berangkat ke Sulu dengan 60 serdadu Spanyol untuk suatu ekspedisi menghukum tapi telah diserang hendap oleh orang Sulu dan membunuh kaptennya sekali.
Pada Februari 1602 Spanyol menghantar lagi satu ekspedisi dari Manila diketuai oleh Juan Gallinto dengan 200 serdadu Spanyol serta beberapa serdadu anak negeri menuju ke Sulu. Spanyol menyerang penempatan orang Sulu di Jolo memaksa pejuang Sulu berundur ke pedalaman termasuk penduduk-penduduknya. Spanyol berjaya membuat kubu tetapi meninggalkannya kerana kekurangan bekalan makanan. Sebelum mereka meninggalkan Jolo mereka memusnahkan penempatan, perkebunan serta harta benda orang-orang Sulu.[7]
Pada Oktober 1616 orang-orang Sulu bersama dengan 80 buah perahu caracoa (seperti perahu joangga yang dikayuh oleh lebih sedozen pendayung serta diletak meriam di bahagian hadapan) melancarkan serangan keatas jajahan Spanyol di Pantao dan Camarines yang menjadi limbungan kapal Spanyol dan berjaya membakar 3 buah kapal yang masih dalam pembinaan termasuk sebuah gelon (kapal besar yang dilengkapi meriam). Tidak puas hati dengan harta rampasan dan tawanan, orang-orang Sulu menyerang limbungan kapal Spanyol di Cavite pula. Orang-orang Sulu sebenarnya dibantu oleh saudara mereka dari Kesultanan Brunei (tentunya orang-orang Tidung).[8]
Pada 1624 Sultan Mawallil Wasit @ Raja Bongsu menghantar perwakilan (berdagang) ke Manila bernama Datu Ache (Asri) iaitu seorang datu yang dihormati. Ketika balik dari Manila rombongan Datu Ache dipintas oleh Spanyol yang kebetulan sedang memburu orang-orang Tidung (Camucones) kerana menyerang pulau-pulau jajahan Spanyol. Datu Ache dan orang-orang Sulu (mungkin salah faham kerana mereka dianggap orang Tidung) telah ditangkap manakala kapalnya dirampas. Mereka dibawa ke Manila akhirnya dibebaskan dan Spanyol meminta maaf walaupun beberapa biji mutiara berharga Datu Ache telah diambil oleh panglima Spanyol. Datu Ache menganggap perbuatan Spanyol itu satu penghinaan terhadap dirinya yang bermaruah sebagai seorang datu yang dihormati yang sudah tentu turut memalukan Sultan Sulu sendiri.
Pada 1627 Sultan Sulu telah mempersiapkan angkatan tentera yang terdiri daripada 30 buah caracoas dan 2,000 perwira telah menyerang limbungan kapal Spanyol di Camarines dengan memusnahkan garison mereka (Sultan sendiri mengetuai serangan ini). Orang-orang Sulu merampas meriam, senapang dan ubat bedil serta barang-barang besi dan gangsa yang sangat diperlukan oleh mereka. Orang-orang Sulu membakar rangka-rangka kapal dan menumpahkan simpanan beras ke dalam laut (yang diperuntukkan Spanyol kepada pekerja garison) kerana tidak mampu dibawa sambil diperhatikan oleh pekerja-pekerja garison. Orang-orang Sulu pergi dari situ dengan membawa 300 orang tawanan.
Dalam serangan balas dendam ini Sultan Sulu menawan seorang wanita Spanyol bernama Dona Lucia (menjadi juru tulis sultan kemudiannya) yang kemudian menulis pesanan sultan yang titinggalkan ditempat itu untuk Kerajaan Spanyol menyatakan bahawa sebenarnya serangan itu merupakan balasan orang Sulu ke atas perbuatan salah sangka dan rompakan keatas duta mereka, Datu Ache. Dalam perjalanan pulang orang-orang Sulu turut men-yerang wilayah-wilayah lindungan Spanyol seperti pulau Bantayan dan Ormoc di Leyte dengan menawan 300 orang tawanan lagi.
Pada 1628 Spanyol dengan satu angkatan perang yang besar dari Manila bertolak ke Sulu. Pada 22 April tiba di Jolo dan menyerang dan membunuh serta memusnahkan apa sahaja yang mereka jumpa. Orang-orang Sulu tidak bersedia langsung sehingga dikatakan pihak Spanyol tidak mengalami kemalangan jiwa walau seorang. Spanyol menyerang kubu Sultan Sulu tapi tidak berjaya kerana terlalu kukuh dan dilengkapi oleh meriam-meriam besar. Tawar menawar telah berlaku antara Spanyol dan Sultan Sulu untuk membebaskan Dona Lucia.[9]
Pada 1629 orang-orang Sulu pula menyerang balas meranapkan penempatan-penempatan naungan Spanyol di Camarines, Samar, Leyte dan Bohol dengan kekuatan 36 caracoas.
Pada 17 Mac 1630 satu angkatan laut Spanyol mengandungi 2 buah ghalias (kapal besar dikelilingi meriam), beberapa buah tongkang, 50 buah caracoas bersama 400 serdadu Spanyol dan serdadu anak negeri seramai 2,500 telah bertolak dari Dapitan menuju ke Jolo. Tujuan utama angkatan besar tentera Spanyol ini adalah memusnahkan kubu kota gunung Sultan Mawallil Wasit @ Raja Bongsu yang kukuh itu. Setelah mendarat panglima Spanyol Lorenzo de Olaso mula-mula mengarahkan tenteranya berjalan kaki menuju ke kubu sultan. Malangnya perwira-perwira Sulu rupanya telah pun bersedia. Hanya menunggu masa menyerang. Perwira Sulu menyerbu, maka berlakulah serangan yang tidak diduga iaitu serangan sengit dari perwira-perwira Sulu sehingga ramai terbunuh dari pihak Spanyol. Spanyol dan orang-orangnya yang ketakutan itu berundur. Tetapi sebelum mereka berundur buat “selama-lamanya” Spanyol telah mengelilingi pulau itu dan memusnahkan penempatan-penempatan di sana sini dan berusaha menyelamatkan tawanan dari orang-orang Sulu yang ditawan sebelum ini. Tetapi gagal kerana Spanyol telah dilanda angin ribut lalu meninggalkan Jolo. Orang-orang Sulu menyerang balas lagi dengan menyerang Leyte pada tahun berikutnya dan dapat menawan ramai tawanan lalu dijual ke Makassar kepada orang-orang Bugis.[10]
Kami menamatkan perang Sulu era Spanyol ini di sini. Siri peperangan antara Spanyol dan orang-orang Sulu masih berterusan dan Spanyol sehingga peperangan akhir pun iaitu pada tahun 1867 – 1878 masih tidak dapat menakluki Sulu.
Peperangan terus berkesinambungan antara Spanyol dan Masyarakat Islam Moro sehinggalah pada tahun 1898 telah berlaku peperangan antara Amerika dan Spanyol. Amerika memenangi peperangan ini, maka muncullah satu lagi kuasa baru yang boleh dianggap pada ketika itu sebagai penyelamat. Amerika datang untuk menyelamat? Ia boleh sahaja dianggap penyelamat sebagaimana kedatangan tentera Jepun yang kononnya menyelamatkan Asia dari tentera luar dengan slogan Asia untuk Asia. Walhal era tentera Jepun lagi parah dari pada penjajah sebelumnya.
Maka Amerika Syarikat berjaya mengalahkan Spanyol dalam peperangan Spanyol-Amerika Syarikat. Pada tahun 1899, setelah mengetahui kekalahan pihak Spanyol dalamperang Amerika-Spanyol itu masyarakat Islam Moro menyedari satu kesempatan dari penurunan moral para tentera Spanyol. Maka tanpa membuang masa dengan semangat Jihad dan penuh persenjataan lengkap dengan masih mempertahankan identiti dan jatidiri mereka, maka untuk kali yang terakhir, dengan penuh semangat mereka telah menyerang dan memporak-perandakan pasukan Spanyol dari kota pertahanan mereka sebelum kedatangan tentera Amerika Syarikat untuk mengambil alih, di wilayah Jolo, Sulu.
Dari kesempatan ini boleh sahaja kita menganggap pasukan Islam Moro sebagai “menangguk di air yang keruh”. Maka kita melihat masyarakat Islam Moro telah semakin bersatu dengan panji-panji Sultan bertunjang Agama Islam anutan mereka di tegakkan dengan harapan setinggi langit iaitu kini mereka bebas memerintah dan merdeka. Malangnya masyarakat Islam Moro tidak menyedari yang mereka telah dijual hidup-hidup oleh Spanyol. Bagi Spanyol tidak begitu mudah mereka meninggalkan selatan Filipina tanpa memberi mereka kesengsaraan dan penghinaan setelah ketiadaan mereka.
“Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan sebahagian dari wilayahnya. Secara tidak sah dan tak bermoral, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada Amerika Syarikat dengan harga 20 juta Peso pada tahun 1898 melalui Perjanjian Paris. Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang baik dan dapat dipercayai. Dan inilah perwatakan musuh-musuh Islam sebenarnya pada abad ini. Hal ini dibuktikan dengan termeterainya Perjanjian Bates pada 1899 yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Islam Moro.
Namun perjanjian tersebut hanya taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, kerana pada masa yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan revolusi Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah pemberontak revolusi kalah pada 1902, sikap AS berubah dengan menunjukkan wajahnya yang sebenar. Setahun kemudian iaitu pada 1903 Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah Moroland dengan alasan untuk membangunkan rakyat Mindanao dan Sulu.
Sebaliknya apa yang berlaku ialah peperangan demi peperangan yang ditimpakan AS terhadap Bangsa Moro. Teofisto Guingona, Sr. mencatat antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Manakala di antara tahun 1921-1923, terjadi 21 kali pertempuran.”
Kita melihat betapa AS dengan kebijaksanaannya berdamai dengan Masyarakat Moro ketika AS sedang menangani pemberontakan di utara itu. Setelah berjaya mematahkan pemberontakan revolusi yang terdiri kelompok Kristian di utara Filipina pada 4 Julai 1902 dengan jayanya maka Presiden AS Theodore Roosevelt ketika itu menyatakan,
“ Keamanan telah pun tercapai di semua gugusan kepulauan, kecuali di negeri yang didiami oleh Kaum Moro”.
Dengan penuh ketidak-pekaan, wilayah selatan telah diserang dalam bulan Mei 1902. Maka bermulalah siri insiden, kemarahan yang amat, yang mana masyarakat Islam Moro di Sulu telah menjadi mangsa kekejaman yang tak dapat di gambarkan lagi.
Apakah ini yang dikatakan penyelamatan atau pembangunan? Atau sememangnya satu pembunuhan secara terancang untuk meng‘kasi’kan semangat orang-orang Islam Moro sebagaimana yang telah mereka buat terhadap kaum Red Indian di Amerika?
Sebenarnya boleh sahaja kita persalahkan masyarakat Moro ini kenapa mesti memerangi AS yang berjasa menyatukan dua wilayah besar Mindanao dan Kepulauan Sulu? Bukankah sebelumnya AS yang telah mengalahkan Spanyol dan menjadikan mereka (Moro) bebas dan terbela di tangan AS sekarang?
Bermacam persoalan yang bermain di kepala kita sebenarnya yang perlukan jawapan. Perlu ditegaskan disini bahawa AS tidaklah berpengalaman berperang dengan masyarakat Islam di Nusantara sebelum ini. Penulis menyebut Nusantara sebab budaya dan adat resam masyarakat Moro tiada bezanya dengan masyarakat Melayu lain di Nusantara, malah berkongsi Mazhab Sunnah (Syafi’i) yang sama serta sistem monarki Sultan yang sama. Malah AS sendiri tidak pernah lagi berperang dengan mana-mana wilayah Islam sebelum ini.
Fakta Kegagalan Amerika
Mengapa pendekatan AS menyatukan Mindanao dan Sulu yang di sebut Moroland itu tidak berjaya malah ditentang oleh masyarakat Moro? Bagi pihak masyarakat Moro sendiri pula apakah yang mereka inginkan sebenarnya lantaran mereka menentang habis-habisan penyatuan dua wilayah itu? Bukankah pendekatan AS itu baik untuk mereka?
Jawapan kepada persoalannya amat mudah iaitu mencari sebab-sebabnya terlebih dahulu. Kita lihat beberapa fakta yang mungkin membantu kita mencari sabab musababnya penentangan masyarakat Moro terhadap pendekatan AS itu.
.
Fakta 1:
AS setelah mengambil alih Filipina pada 1898 melalui Perjanjian Paris daripada Spanyol, AS mendapati wilayah Selatan masih ditadbir oleh masyarakat Moro dengan diketuai oleh Sultan dan para Datu yang masih berpegang kuat kepada ajaran Islam. Ini bermakna Spanyol telah menjual Negara Filipina kepadanya termasuk dua wilayah (Mindanao & Sulu) yang belum di kuasainya 100%.
Fakta 2:
Masyarakat Islam Moro yang majoritinya hanya di selatan terbahagi kepada dua wilayah besar iaitu Mindanao dan Sulu. Ini bermakna ditadbir oleh dua kekuasaan yang berdaulat masing-masing di bawah Kesultanan Maguindanao dan Kesultanan Sulu. Kedua-dua wilayah kesultanan punya sejarah peperangan yang panjang dengan Spanyol selama lebih 300 tahun dan masih belum dikuasai sekalipun ketika kedatangan Amerika Syarikat. Apa yang mereka mahu ialah kemerdekaan mutlak agar mereka bebas bergerak dan memilih Islam sebagai agama rasmi serta bebas mengamalkan adat resam dan budaya mereka. Bila AS mengambil alih kekuasaan dari Spanyol mereka (orang-orang Moro) mendapati bahawa tiada bezanya dengan Spanyol malah AS lagi teruk.
Fakta 3:
Setelah AS mendapati bahawa masyarakat Islam Moro belum ditundukkan oleh Spanyol malah sanggup menggadai nyawa sekali lagi sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada Spanyol sebelum ini maka tiada cara lain melainkan menggunakan cara atau taktik “Menundukkan Red Indian” itu semula. Bagi AS ia adalah satu-satunya cara yang berjaya dan akan mengulanginya di Filipina kali ini. Sebab itu perlunya kedua wilayah itu disatukan tanpa mengambil kira kedudukan sultan-sultan di dua wilayah itu (sebab itu Perjanjian Bates telah dibatalkan oleh AS sendiri setelah menyedari perjanjian tersebut tidak menguntungkan mereka dan diganti pula dengan Perjanjian Carpenter pada 1915).
_______________________________________________________________________
AKHIRNYA satu lagi keadaan yang tidak diingini oleh umat Islam seluruh dunia pada ketika itu ialah pembunuhan beramai-ramai terhadap orang Sulu di Bud Bagsak dan Bud Dajo telah berlaku. Umat Islam Moro merasakan negara mereka dijual tanpa persetujuan mereka sendiri oleh Spanyol kepada Amerika. Bukan sahaja Bangsa Moro yang dijual hidup-hidup oleh Spanyol malah AS seolah-olahnya terbeli ikan busuk yang tidak sesuai lagi dimakan kecuali perlu dicincang lumat atau dilenyek terlebih dahulu sebelum dijadikan baja. Sebab itu salah satu tindakan AS untuk mem‘baja’kan bangsa Islam Moro ialah menyatukan dua wilayah besar Mindanao dan Kepulauan Sulu di bawah satu nama dan pentadbiran iaitu “MOROLAND”.
Bolehkah menyatukan dua wilayah yang bertaraf negara dengan empunya kesultanan masing-masing begitu mudah? Ia sama seperti menyatukan negara Malaysia dan negara Indonesia dalam satu negara kesatuan dengan istilah “Indonesia Raya” sebagaimana yang berlaku di era konfrontasi Malaysia-Indonesia ketika dulu kerana mendapat inspirasi dari Kesatuan Soviet di Russia. Ia tidak akan berjaya. Kalau ia berjaya sekali pun akan berlaku seperti apa yang kita lihat sekarang ini di selatan Filipina. Peperangan berterusan dan keganasan juga akan berterusan. Hasilnya penduduknya akan bertebaran merata-rata mencari penghidupan yang lebih selamat dari konflik yang tiada kesudahan. Pembangunan akan terbantut dan terus tergendala maka yang rugi umat Islam sendiri dengan kemunduran yang berleluasa.
Hakikatnya ialah, Mindanao punya sistem kesultanannya sendiri dibawah kesultanan Maguindanao. Kepulauan Sulu juga punya sistem kesultanan yang unik dan tersendiri malah kekuasaan kesultanan Sulu juga pernah menjadi empayar. Perlu juga ditegaskan di sini bahawasanya Masyarakat Moro di Mindanao adalah dikuasai oleh Kesultanan dan para Datu Maguindanao dan bahasa yang digunakan secara meluas ialah Bahasa Maguindanao dan Maranao. Suku-suku kaum di Mindanao juga banyak. Mereka punya sejarah kesultanan yang hebat menentang penjajah seperti Sultan Qudarat dan sebagainya.
Moro Lawan Amerika Syarikat
Filipina telah diserahkan kepada Amerika Syarikat (A.S.) dibawah perjanjian “Treaty of Paris” 1898. Wilayah Islam Sunni di Filipina selatan terpaksa mengatur pertahanan semula. Pada tahun 1899-1902 pemberontakan di wilayah Utara (pemberontakan Aguinaldo) telah berjaya di Filipina ditamatkan dengan jayanya dibawah pasukan tentera A.S. dan telah diistiharkan tamat pada 4 Julai 1902. Presiden A.S. Theodore Roosevelt ketika itu menyatakan “Keamanan telah pun tercapai di semua gugusan kepulauan, kecuali di negeri yang didiami oleh kaum Moro”. Dengan penuh ketidak-pekaan, wilayah selatan telah diserang dalam bulan Mei 1902. Bangsa Moro tidak memerlukan A.S. malah memutuskan melancarkan Jihad demi kemerdekaan wilayah mereka dari kuasa asing samada Filipina, Spanyol atau A.S.
Tentera A.S , tentera laut dan darat akhirnya mendapati diri mereka berdepan dengan musuh iaitu Moro yang begitu cepat menyesuaikan diri dengan kedatangan AS menunjukkan kegagahan mereka, berdedikasi sesama mereka dan yang lebih penting Moro adalah musuh yang sangat ketat dan sukar. Malah tentera A.S. menjadi lebih berhati-hati dengan kesan semangat kerohanian Islam yang menyebabkan BangsaMoro terdorong berjihad, dengan pendirian bahawa apa yang benar pada mereka ialah kebebasan bernegara sendiri yakni ‘kemerdekaan’.
Berbanding Tentera A.S. peralatan ketenteraan Moro sangat daif dan ketinggalan. Tentera A.S. banyak senjata, model senjata seperti 30-caliber Krag-Jorgensen rifle- M1892 dan M1896 dengan senapang 5-shot magazine. Dicipta oleh Gatling dan Hotchkiss serta beberapa model meriam ringan. Manakala tentera Moro hanya memiliki pelbagai jenis senjata lama, termasuk senapang yang menggunakan ubat bedil (Muzzle-Loaders) dan beberapa meriam tembaga kuno. Itulah senjata yang mereka mampu dan mahir menggunakannya yang sangat memeranjatkan, dengan hanya senjata musuh, mereka datang dan menyerang sampingan telah menaikkan kegerunan seolah-olah membunuh diri dengan harapan membunuh sebanyak mungkin sebelum diri-sendiri terbunuh. Tentera A.S. melihat dan baru dapat mengenali dan memahami betapa kemampuan orang Moro dengan Barong terhunus sepanjang 1½-kaki berbentuk seperti daun (Barong adalah Pedang panjang Kampilan 3 ½-kaki senjata tradisi Moro, Kaum Tausug), adalah senjata tradisi Moro Kaum Maguindanao dan Maranao. Manakala Kris adalah senjata paling berkuasa ketika itu (di seluruh Nusantara).
Lazimnya, tentera Moro sangat terlatih dengan serangan dalam hutan, belukar dan serangan hutan paya, dan juga mahir dalam serangan kota. Orang Moro sering menyerang hendap kumpulan bergerak musuh ataupun sedang berkhemah dan selalu melakukan serangan secara dekat menetak dan menikam tentera A.S. dengan pantas sekalipun tentera A.S. bersenjata canggih ketika itu. Tentera A.S. tidak pernah tersua musuh jenis seperti ini sebelumnya, suasananya tidak seperti Peperangan Revolusi negera mereka dulu ataupun peperangan dengan Puak Indian.
Satu lagi masalah tentera A.S. ialah mereka tidak dapat membezakan tentera lelaki atau tentera wanita Moro. Kadang-kadang tentera wanita Moro tentera lelaki Moro sedangkan kononnya mempunyai kupayaan sama dengan tentera A.S. hanya ditugaskan memerangi kaum lelaki sahaja. Ini adalah masalah besar tentera A.S. ketika itu (hanya alasan). Yang lebih memburukkan keadaan ialah pahlawan wanita berpakaian serupa dengan pakaian pahlawan lelaki Moro. Tentera A.S. ketika itu adalah dilarang menembak kaum wanita dalam kumpulan rakyat Filipina. Yang menambahkan lagi masalah tentera A.S. ialah fakta bahawa keupayaan luarbiasa dan keyakinan yang nekad oleh pahlawan Moro, walaupun mereka ditembak dengan senapang canggih berkali-kali tapi masih dapat menetak dengan Kris mereka sehingga kehembusan nafas mereka yang terakhir. Pahlawan Moro berlatih serangan berani mati, atau telah terbena semangat ingin mati dalam diri mereka, di seluruh dunia, pahlawan Muslim telah menjadi musuh yang sangat merbahaya, sebab tiada erti kehidupan di dunia buat mereka (setelah datangnya panggilan berjihad).
Juramentado Dan Jihad
Pihak Amerika dikejutkan dengan taktik serangan berani mati tentera Moro. Tentera Spanyol yang sebelum kedatangan tentera Amerika menggelar serangan berani mati sebagai “Juramentado”, secara kasar bermakna “nekad untuk mati” atau dengan kata lain ‘Berani Mati’. Begitulah cara tentera Moro mentafsirkan erti Jihad. Dengan tujuan yang nekad membunuh mati untuk seramai mungkin tentera Kristian sebelum diri sendiri mendapatkan balasan syurga. Seorang Moro “Juramentado” akan menyerang kumpulan musuh dengan satu tujuan “membunuh dan mati”. Mujahideen Bangsamoro mengambil keputusan ini untuk mendapat keredhaan Allah swt, berkorban untuk mati.
Pada 1899, Lieutenant John J. Pershing telah tiba di Filipina dan ditugaskan dalam Eighth Army Corps. Misi utamanya ialah mengalahkan penyerang-penyerang Moro yang terdiri daripada pelbagai suku kaum itu. Akhirnya beliau dinaikkan pangkat sebagai Captain Pershing pada 2 February 1901. Beliau bertindak sebagai ‘adjutant’, jurutera, pegawai kastam dan komander pasukan berkuda. Penting juga dinyatakan di sini bahawa Pershing telah berada di Filipina dari 1899 hingga Jun 1913. Pershing juga dinaikkan pangkat ke Brigadier General oleh Presiden Roosevelt dalam tahun 1906 dan dihantar semula ke Filipina sebagai Gabernor Wilayah di selatan Filipina dan ditugaskan untuk membuat perjanjian dengan Moro.
Satu alasan yang perlu diperhatikan apabila tentera Moro secara berterusan menyelinap masuk menyerang dan membunuh rakyat Jolo, pegawai-pegawai Jolo, tentera Amerika atau rakyat Amerika ketika 1912 dan pada awal 1913 menjadikan General Amerika tertekan menyebabkan kerahan memburu dan menyerang tentera Moro. Diketahui dengan jelas juga bagaimana 38-caliber U.S. Army revolver tidak dapat menewaskan Pahlawan-pahlawan Moro yang terus menyerang dan membunuh tentera Amerika walaupun telah berkali-kali ditembak di tubuh mereka. Bila Brigadier General John J. Pershing mendapat penghantaran kapal yang membawa persenjataan baru yang lebih berkuasa 45-caliber automatic revolver, dia begitu berharap senjata baru itu dapat menghentikan serangan berani mati para juramentado Moro. (pent.- Selepas ini berlakulah pembunuhan beramai-ramai oleh tentera Amerika ke atas orang Moro di kota pertahanan Bud Bagsak, Jolo Sulu).
Kebangkitan Bangsa Moro Abad Ke-21: (Kesinambungan perang angkatan bersenjata Moro pada abad ke-20).
Pengulas abad ke-21 dari Filipina, serangan pengganas 11 September 2001 di Pusat Dagangan Dunia dan Pentagon denga cepat menuduh “Juramentado”. Seorang pemerhati menyatakan: “Keputusan bahawa (11 September) pengganas membunuh seramai mungkin dan akhirnya turut membunuh diri mereka mengingatkan kita pada orang Islam ‘Juramentado’ di Zamboanga dan Jolo, Filipina Selatan ketika era penjajahan Amerika ke atas kepulauan itu pada awal 1900-an”.
.
Pertembungan Moro dengan bala tentera U.S. berterusan sejak ketika memuncaknya perang yang pertama pada 1902 sehingga dengan rasminya tentera U.S. memerintah penuh pada 1913. Perang Dunia Pertama telah menjadi gangguan, dan perang telah mancapai tahap yang lebih rumit dengan menaikkan semangat masyarakat Filipina Utara (Wilayah Kristian totok) menuntut perhatian dan keadilan berbanding Moro, serta cita-cita Jepun menakhluk Filipina dalam Perang Dunia II menambahkan lagi kekecewaan Moro untuk mendapatkan kemerdekaan. Kemasukan Jepun telah ditentang hebat oleh tentera Moro, tetapi setelah selesai perang (War World II) Filipina pada 04 July 1946, dan masyarakat Moro mendapati telah dimerdekakan diri dan wilayah mereka telah disatukan bersama Republik Filipina pula.
.
Dekad yang seterusnya, Moro menyambung penentangan mereka berbanding berintegrasi dengan Republik Filipina. Kerajaan melaksanakan migrasi Kristian Filipina ke tanah atau wilayah tradisi Moro di Selatan yang mana dilihat oleh masyarakat Moro sebagai pengambil-alihan tanah secara besar-besaran adalah seperti mencurah minyak ke api. Perjuangan Moro mutakhir menggambarkan persamaan kemasukan rakyat Filipina (Kristian) ke Selatan dengan “Tindakan Polis ‘Israel’ menentang rakyat Palestin”. Kerajaan Kristian Utara akan menambahkan lagi ancaman keatas identiti Masyarakat Islam Moro. Moro gunakan taktik perang gerila di Pulau Jolo telah mendapat perhatian Major General Jens A. Doe, general pemerintah 41st Infantry Division, pada April 1945.
.
Kebangkitan MNLF Melawan Marcos
Moro menuntut bahagian dari hasilbumi mereka daripada Kerajaan Pusat dengan permintaan yang berbeza iaitu pelaburan ke kawasan mereka, pendidikan, penjagaan kesihatan, mendapat hak sistem keadilan, dan beberapa permintaan lagi iaitu pemangkin aspirasi kepada kemerdekaan sebelum ini. Tetapi kumpulan-kumpulan ganas Kristian yang bersekongkol dengan angkatan polis tempatan telah melakukan kekejaman terutamanya pembunuhan beramai-ramai Jabidah pada 18 March 1968, telah menjadi bencana melahirkan tindakbalas ganas dari Moro ketika era pemerintahan Marcos. Tentera Filipina membunuh sekurang-kurangnya 200 Moro yang direkrut di Corregidor Island. Para rekrut ini (Jabidah Special Forces) sedang dalam latihan untuk misi perang yang luarbiasa dengan sasaran iaitu merampas Sabah (Borneo) yang dipertikaikan pemilikan Malaysia ke atas Sabah di bawah kod “Operation Merdeka”.
Para rekrut Moro telah ditembak setelah enggan mengikut arahan dan juga untuk menyembunyikan bukti tujuan sebenar operasi itu. (Bermakna mereka dibunuh setelah mengetahui tujuan mereka di latih lalu enggan mengikut arahan seterusnya)
Setelah tercetus situasi ini maka tiba-tiba secara diam-diam tertubuhlah satu formasi tentera, Moro National Liberation Front (MNLF) lewat 1969. Para pelajar Moro dari seluruh universiti di Filipina, Mesir, dan dimana-mana tempat di Timur Tengah yang prihatin untuk mewujudkan negara Islam yang merdeka di Filipina Selatan bersatu menubuhkan MNLF. MNLF semakin kuat dengan bantuan asing seperti Muammar Qaddafi dari Libya dan turut membantu ialah Gabenor Sabah, Malaysia, yang menyumbang persenjataan dan lain-lain bantuan perubatan dari Libya yang juga melatih latihan ketenteraan para belia Moro.
Dengan dokongan bantuan persenjataan dari luar dan bermacam-macam lagi bantuan, dalam pertengahan 1970-an, MNLF dianggarkan mempunyai ahli yang mencecah 30,000 tentera lelaki lengkap bersenjata bertempur dengan tentera Filipina dan Polis di kepulauan Sulu dan Mindanao. Pada awalnya telah menampakkan kejayaan tetapi mula lemah penentangannya pada lewat 1975, walaubagaimana pun para pemimpinnya berpindah ke Sabah dan mendapat sedikit bantuan dari kerajaan serta Program Amnesty. (Talipok, Kota Kinabalu & Mawtas atau Kg. Bahagia Sandakan adalah sebahagian Penempatan Amnesty untuk pelarian Filipina yang masih wujud sehingga ke hari ini). Genjatan senjata pada 1976 dan pembangunan di kawasan otonomi sementara telah diberikan, tetapi bukannya kemerdekaan, zon kawasan masyarakat Islam di selatan seolah-olahnya adalah kawasan mutlak MNLF. Tidak lama kemudian, disusuli oleh Iran dengan kebangkitan revolusinya pada 1979 telah turut membantu datangnya curahan bantuan dan dokongan semula di peringkat antarabangsa kepada MNLF.
Kemudian pada tahun 1987 di Jolo Filipina tercetus lagi satu ensiden yang menyebabkan perang Moro masih tiada jalan penyelesaian. Seorang Datu, iaitu Datu Halun Amilusia yang memiliki senapang antik ayahnya era Perang Dunia II, jenis M-1 Carbine yang begitu bangga dengan riflenya. Ketika dulu pernah digunakan membunuh tentera Jepun dan pernah melalui zaman kerajaan Islam ketika dulu, dan juga pernah membunuh tentera Filipina. Khabarnya adik lelaki dan Ayah Datu ini, Pernah mendapat anugerah “Bronze Star” kerana keberanian menjadi tentera gerila menentang tentera Jepun, telah dibunuh oleh tentera Filipina pada 1985 ketika tentera Filipina menyerang rumahnya. Pembunuhan seperti ini bukannya sedikit, maka tindak balas ganas dari pihak Moro akan berterusan.
Kebangkitan MILF
Dalam tahun 1979, satu kumpulan kecil saingan yang tidak bertahan lama telah muncul yang telah diasaskan oleh pemimpin MNLF yang tidak sehaluan yang berpusat di Saudi Arabia. Pada 1977 iaitu Bangsa Moro Liberation Organization, kepimpinan MNLF yang tidak bersatu menyebabkan perpecahan maka tertubuhla organisasi ini. Pada 1983 satu lagi kumpulan serpihan tersebut menamakan kumpulan baru iaitu MILF (Moro Islamic Liberation Front). Walaupun MILF lebih kecil dari pendahulunya (MNLF) tetapi juga mempunyai keupayaan yang tidak terduga dengan persenjataan perang yang lengkap.
Pada ketika ini, 3 organisasi Islam dengan keunggulan masing-masing ingin menunjukkan kepada masyarakat Moro dengan janji menaikkan taraf hidup mereka, genjatan senjata, serta berbincang perdamaian dengan organisasi pertubuhan Moro lain untuk berdamai dengan kerajaan Filipina. Tetapi suasana menjadi semakin rumit bila satu lagi kebangkitan yang lebih jauh dari jangkauan geografi, iaitu bermulanya perang Soviet-Afghan pada Disember 1979. Telah menghasilkan satu lagi pemberontak kumpulan, lebih radikal dan ganas berbanding kumpulan Islam lain di Filipina, dinamakan Abu Sayyaf Group (ASG).
(ASG) dan Keganasan? Kebangkitan Abu Sayyaf
Sebelum formasi ASG ini secara terperinci, kita menelusuri asal kemunculan secara kasarnya kita bersetuju bahawa pengasas kepada kumpulan Moro ini Bakar Janjalani yang pernah belajar di Timur ialah Abdurrazak Abu Tengah telah tertarik dengan fahaman Wahhabi yang dilagang oleh Professor Abdul Rasul Abu Sayyaf. Professor Afghan dan kaum dari etnik Pashtun ini adalah seorang bekas pengikut fahaman yang berasal dari Arab Saudi – yang diasaskan pada kurun ke-18 oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab (Sebenarnya Arab Saudi bermazhab Neo-Hambali yakni Mazhab Hambali mengikut acuan Ibnu Taimiyyah yang diperkenalkan oleh Muhammad Bin Abdul Wahhab kepada pemerintahan awal Bani Sa’ud. Sebahagian umat Islam menggelar mereka Wahhabi tetapi mereka yang digelar wahhabi ini pula menamakan diri mereka Salafi).
Selepas pelanggaran Soviet ke atas Afghanistan, Abu Sayyaf, dikatakan telah menjadi seorang yang disegani, sifat kepemimpinannya terserlah dan telah mewujudkan kumpulan-kumpulan mujahideen yang beroperasi dekat Kabul yang menentang tentera Soviet pada 1986. Untuk menunjukkan pengikut Wahhabi dari Arab Saudi kesatuan Islam, para simpati radikal adalah penyumbang kewangan terbesar kepada kumpulan ini, yang juga Islam. Yang akhirnya menjadi bantuan dikaitkan dengan persaudaraan pemusatan aktiviti oleh seorang rakyat Jordan berbangsa Palestin Sheikh Abullah Azzam untuk membawa masuk ramai mujahideen dari luar yang juga mendapat pelbagai sokongan pada 1984. Kewangan dan sumbangan lain selalunya datang dari sumbangan amal umat Islam.
Dilaporkan ASG telah melatih lebih kurang 20,000 tentera mujahideen asing. Kebanyakan dari mereka yang dilatih di kem berhampiran Peshawar, Pakistan, yang bersedia untuk dekerah berperang adalah dari Timur Tengah, Afrika Selatan dan Filipina.
Abu (Abdurrazak) sendiri tiba di Afghanistan pada 1986 dan Bakar Janjalani di laporkan menyertai Kesatuan Islam Sayyaf (Sayyaf’s Islamic Union). Dia berkemungkinan berada di Afghanistan dalam kem latihan Sayyaf dan seterusnya berada di situ sehingga perang tamat. Sebagaimana ribuan tentera Islam yang bukan berbangsa Afghan, termasuk mujahideen Mesir, Saudi, Algeria, Chechen, Uzbek, Kuwait, Uighurs dari Xinjiang China, dan lain-lain, Janjalani juga turut serta menghalau keluar Tentera Soviet dari Afghanistan. Dengan tamatnya peperangan mujahideen mendapat kejayaan yang membanggakan pada Februari 1989, hampir kesemua pejuang mujahideen asing bertebaran di negara-negara Islam di seluruh dunia setelah kembali ke negara masing-masing.
Telah didokumentasikan dengan baik, bahawa kebanyakan dari mereka telah terlibat dengan kekacauan dan kumpulan-kumpulan penentang bersenjata untuk berperang atas nama jihad keatas rejim kerajaan masing-masing yang dianggap telah melakukan bid’ah atau keterlaluan mengikut pemerintahan acuan barat. Kesinambungan terjalin erat dan semakin subur dari pengalaman perang Afghanistan, telah menguasai peraturan dalam serangan ke atas kehidupan rakyat Amerika Syarikat, harta serta kepentingan A.S. di seluruh dunia yang akan terus berlaku dimasa-masa akan datang.
Pada pertengahan 1989 hingga 1990, Janjalani muncul dan meninggalkan Afghanistan menuju ke wilayah asalnya di Filipina iaitu Pulau Basilan, Sulu yang hanya dipisahkan oleh selat lurus dengan ibu negeri Mindanao, Zamboanga. Dia dan ramai lagi bekas pejuang Afghan Moro kembali ke Filipina dengan pandangan, kejayaan Afghanistan perlu diulangi di Filipina. Azam yang begitu tinggi untuk mendapatkan kemerdekaan dengan mewujudkan kerajaan Islam yang tegas di Selatan Filipina.
Ada juga Mujahideen Moro yang sekembali dari Afghan menyertai MNLF dan sebilangan lagi menyertai MILF. Walaubagaimana pun Janjalani (Abdurrazak) percaya akan “keaslian” agama Islam yang di bawa oleh Wahhabi. Di Basilan dengan bandar utamanya Tabuk, dia pernah berkata bahawa sudah tiba masanya mengubah kepada suasana awal (awal Islam) dengan wanita berpakaian hitam dan lelakinya memakai pakaian kelabu atau putih.
Dia memulakan dengan beberapa orang pengikut dan menubuhkan kumpulan pemberontak yang dinamakannya Abu Sayyaf. Sempena nama mentornya (Prof. Abdul Rasul Abu Sayyaf). Elemen tidak sehaluan dalam MNLF yang diketuai oleh seorang yang berfahaman sama dengan Janjalani, seorang guru yang warak bernama Wahab Akbar, menyertai Janjalani dalam perjuangan ini. Dengan pengikut yang kecil pada peringkat awal kira-kira 20 keahlian, dengan matlamat mewujudkan kerajaan Islam yang asli di Mindanao.
ASG semakin berkembang dengan keahlian yang semakin ramai sekurang-kurangnya beberapa ratus keahlian yang semakin menonjol dan semakin dirasakan kehadirannya di dan beberapa kawasan di Mindanao. ASG Basilan, gugusan kepulauan Sulu telah menunjukkan dirinya yang sebenar di khalayak dengan sifat ganasnya seperti pengeboman, pembunuhan, serangan dan serang hendap yang juga diketahui sebagai merompak, memeras ugut, penculikan dan akhirnya menjadi ‘trademark’ mereka.
Salah satu elemen yang cukup besar yang mengundang tindakbalas Tentera Filipina yang di sokong oleh A.S berkemungkinan disebabkan penahanan 2 muballigh Kristian dari Wichita, Kansas dan beberapa ‘Nurse’ Filipina. ASG juga digambarkan sebagai satu kekuatan yang menguasai lautan tradisi Moro, aktiviti pelanunan berleluasa di sekitar perairan Filipina yang kadang-kadang aktiviti mereka menjangkau ke tempat-tempat yang lebih jauh dari rumah mereka. Komentator Filipina membuat salah seorang lanun yang manjadi legenda bernama antara perbandingan kumpulan ASG Jikiri (Dzikiri) kira-kira tahun 20-an yang lalu dengan mempunyai persamaan. Selepas bertahun berjaya dengan perlakuan jenayahnya iaitu dengan berselindung di sebalik tuntutan mengembalikan sebahagian hak-hak orang Moro, yang akhirnya Jikiri terbunuh setelah bertempur dengan pegawai Amerika secara “hand-to-hand” di Pulau Patian. Kini, kapal-kapal perniagaan komersil mula takut yang ASG pula dan kumpulan-kumpulan ganas lainnya akan mengalihkan perhatian kepada mereka sebagai mangsa mudah di lautan yang terbentang luas itu akan menjadi kenyataan.
.
Askar Filipina dan angkatan Polis juga mencapai beberapa kejayaan dalam misi menghapuskan ASG, termasuk kejayaan meragut nyawa pengasasnya, Janjalani (Abdurrazak) pada Disember 1998 dalam satu pertempuran bersenjata yang juga turut menangkap atau membunuh beberapa pemimpin beserta pengikut lain. pengasasnya dan dengan gelaran seperti Khaddafy Janjalani, adik kepada nama pemimpin Libya yang mendapat sokongan, kini menjadi pemimpin ASG yang baru.
.
Laporan ada mengaitkan antara Osama Bin Laden dan ASG yang pernah bertemu di Afghanistan pada 1980-an di mana Osama seperti juga Janjalani (Abdurrazak) sangat rapat ketika dalam hubungannya dengan Professor Abdul Rasul Abu Sayyaf Sayyaf’s Islamic Union dan turut sama-sama berperang. Ketika kerahan Osama ini dilaporkan penyumbang perang Afghan, Al-Qaeda kumpulan kewangan di samping penyumbang lain kepada ASG. Walaubagaimana pun secara tepat bantuan itu disalurkan tidaklah diketahui.
.
Pada awal pertengahan 1990-an adik tiri Osama, seorang jutawan Arab Saudi ketua bernama Muhammad Jamal Khalifa, disyaki salah seorang dari penyumbang kewangan kepada ASG dan berkemungkinan pemberontak Islam Filipina turut mendapat bantuan sama. Melalui sumbangan amal di Filipina, sesetengah sumbangan melalui individu yang ada pertalian dengan Khalifa, Ramzi Yusuf, yang mana terlibat dalam pengeboman Pusat Dagangan Dunia (World Trade Center) pada 1993.
.
Kami menamatkan perang Moro ini di sini. Mengenai sejarah ASG di atas, jelas menunjukkan pada kita asal usul ASG itu. Beberapa orang Sulu yang kami temui dan temuramah melalui internet menyatakan bahawa Abdul Razak Janjalani itu sekalipun dikatakan menganut ajaran Wahhabi/Salafi tetapi telah menunjukkan keazaman dan ketelusan semasa hayatnya memerangi ketidak adilan Filipina terhadap Sulu. Tetapi setelah beliau terbunuh, jamaahnya telah diambil alih oleh pemimpin yang telah disusupi anasir luar. Hakikatnya ASG itu adalah produk CIA dengan kerjasama pihak keselamatan Filipina sendiri dengan merancang serangan-serangan ganas agar ASG dituduh pengganas pula, maka ada alasan meminta bantuan Amerika seterusnya membawa tentera Amerika masuk ke Sulu.
________________________________________________________________________
Ulasan: Dalam konteks penentangan orang-orang Moro di Selatan Filipina, perlu kita ambil perhatian bahawasanya mereka (orang-orang Moro) secara semulajadinya menentang kepada pencerobohan penjajah yang sudah mereka maklumi sebagai pembawa ajaran Kristian kerana mereka telah pun menyaksikannya sendiri bagaimana para penjajah berjaya mengkristiankan utara Filipina. Prof. Cesar telah menyentuh perkara ini dalam bukunya ‘Islam Di Filipina’ bahawa Spanyol telah menunjukkan diri mereka sebagai penjajah yang memaksakan agama mereka (Kristian) keatas Moro Sulu sebab itu orang-orang Moro Sulu termasuk Moro Mindanao sangat keras penentangannya terhadap Spanyol hinggakan tidak pernah Spanyol mendapat kesempatan menakluk wilayah selatan kecuali memeterai perjanjian perdagangan sahaja. Spanyol telah melakukan perkara yang memalukan dan biadap dengan menjual kesemua wilayah Filipina termasuk Sulu dan Mindanao kepada Amerika Syarikat (setelah kalah perang) dengan harga murah. Walhal dua wilayah besar Sulu dan Mindanao itu tidak pernah ditakluki oleh Spanyol.
Rentetan dari penjualan negara yang biadap itu, Amerika mendapati dua wilayah di selatan itu belum tertakluk sebab itu Amerika mengganas di Sulu dengan melakukan pembunuhan beramai-ramai yang tercatat dalam sejarah mereka sendiri sebagai “Pembunuhan yang memalukan”.
Kerana membunuh ribuan rakyat Moro Sulu termasuk kaum wanita dan kanak-kanak hanya disebabkan kaum Tausug tidak puas hati dengan pendudukan Amerika di wilayah mereka yang sememangnya merdeka. Prof. Datu Emmanuel D.Mangubat menyatakan dalam satu artikelnya dalam akhbar tempatan Filipina bahawa ketika Aguinaldo berjaya memerdekakan Filipina dari tangan Amerika Syarikat wilayah Selatan (Moroland) itu masih berperang dengan Amerika maka bagaimana mereka (Filipina) mengatakan yang Sulu dan Mindanao itu wilayah mereka? Wallahu a’lam.
Nota kaki:
[1] Islam Di Filipina, Prof. Cesar Adib Majul, m.s. 154 (Terjemahan Shamsuddin Jaapar, DBP:1988).
.
[2] Lapu-Lapu perwira yang membunuh Ferdinand Magellan ini dikatakan berbangsa Bugis dari Sulawesi manakala dari versi lain menyatakan bahawa beliau ialah dari kaum Tausug Sulu. Rasanya kedua-duanya benar, sebab sekiranya beliau berasal dari Tanah Bugis sudah tentu di Sulu pun ada kaum yang berasal dari Tanah Bugis itu, iaitu kaum Tausug Baklaya. Tausug Baklaya adalah Tausug yang tinggal di persisiran pantai Sulu dan sejarah menyatakan mereka berasal dari Sulawesi atau dari Tanah Bugis.
.
[3] Kesultanan Sulu dan Kesultanan Brunei sememangnya adalah bersaudara sekalipun antara mereka tidak berkahwin campur kerana moyang mereka Sultan Sulu, Sultan Shariful Hashim (keturunan Sayyidina Hussein r.a.) dan Sultan Brunei, Sultan Sharif Ali Barakat (keturunan Sayyidina Hassan r.a.) itu adalah dikalangan Ahlul Bait Rasulullah s.a.w.
.
[4] Rujuk: Salsilah Kesultanan Sulu susunan YM Datu Ali Aman – Pangeran Budiman @ Raja Ilo sebenarnya adalah Sultan Sulu dari keturunan Sultan Shariful Hashim, anak saudaranya berkahwin dengan Sultan Brunei ketika itu.
.
tumpang tanya ... encik sangtawal ni sejarawan ker. Ker cekgu atau lecturer??? blog ni rasa2 adik2 kita leh bukak , thanks bnyak info
ReplyDeletesalam In Harmony...
ReplyDeleteTerima kasih atas sokongan dan kunjungan anda..
saya bukan sejarawan,bukan cikgu...apatah lagi lecturer...saya orang biasa je...saya juga bukan agamawan...cuma saya minat sejarah bangsa kita....kita dulu serumpun bangsa melayu nusantara...namun penjajah telah mengenalkan konsep pecah dan perintah dengan tujuan untuk melemahkan bangsa melayu dan menghapuskan identiti bangsa melayu sendiri....blog ini memaparkan artikel saya dan artikel-artikel pilihan dari pelbagai sumber untuk bacaan anak-anak cucu generasi kita...supaya mereka tidak buta sejarah bangsa...bangsa yahudi dan golongan JESUITS adalah mereka yang bijak sejarah...dengan kajian yang terperinci tentang sesuatu sejarah bangsa,mengkaji kekuatan dan kelemahan sesuatu bangsa itu mereka akan mudah menjalankan misi mereka dan mereka mudah berasimilasi dengan bangsa-bangsa yang mereka telah kaji ini...itu sebabnya mereka boleh "survived"
saya merasa rugi jika tidak berkongsi maklumat dengan anak bangsa saya...contohnya ramai yang tidak tahu yang bandar MANILA itu sebenarnya pernah disebut sebagai AMANILLAH iaitu bererti "mendapat keamanan Allah"...tetapi dek kerana kelicikan penjajah...mereka telah mengkristiankan seluruh filipina utara...padahal islam terlebih dahulu sampai kesana..
ramai yang terleka dan tidak tahu sebenarnya...filipina pernah dijual mentah-mentah oleh sepanyol Secara tidak sah dan tak bermoral kepada Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 melalui Traktat Paris.
strategi tersebut sebenarnya jika dilihat secara menyeluruh di nusantara ini adalah sama tidak kira penjajah itu sepanyol,inggeris atau belanda.
Lihat nasib bangsa melayu dibumi Aceh,bangsa melayu di bumi Patani,bangsa moro,sulu dan tausug di moroland....itulah percaturan JESUITS untuk menggagalkan misi dakwah ke Timur datuk sekalian para wali 7 dan wali Songo iaitu Sayyid Hussien jamaluddin kubra...
dari jalan laut dan ingin menggagalkan misi Saad Bin Waqqas melalui jalan darat...
Wassalam...
harap saudara boleh ulas tentang ini .Semoga rakan rakan kita dapat kefahamam tentang malaysia
ReplyDeleteMCA: Malaysia is a secular state
17 Mar 09 : 2.00PM
By Gan Ping Sieu
editor@thenutgraph.comeditor@thenutgraph.com
AS MCA Political Education Bureau head, I have reservations over the written reply given by Prime Minister Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi to Member of Parliament for Bukit Gelugor Karpal Singh in the Dewan Rakyat on 12 March 2009 that "Malaysia is a 'negara Islam'."
I welcome the prime minister's statement that Malaysia is not a theocratic state and shall adhere to a parliamentary democratic system as enshrined in the Federal Constitution. But the reference of Malaysia as a "negara Islam" by the prime minister is wholly unnecessary, as the phrase "negara Islam" will only serve to confuse the rakyat and cause unwanted fear.
Historical documents
The MCA is of the position that Malaysia is nothing but a secular state. This is evidenced from the following historical accounts and the subsequent debates when the Federal Constitution was drafted:
The Alliance Memorandum submitted to the Reid Constitution Commission on 27 Sept 1956 clearly stated that "the religion of Malaya shall be Islam ... and shall not imply that the state is not a secular state."
When the Working Party, comprising the Alliance and the rulers' representatives and the High Commissioner, met on 22 Feb 1957 to review the Reid Commission draft on the possibility of the provision on religion being misinterpreted, the Alliance and Umno chief Tunku Abdul Rahman assured the Working Party that "the whole Constitution was framed on the basis that the Federation would be a secular state."
At the London Constitutional talks in May 1957, the Colonial Office did not object to the inclusion of an official religion after being assured by the Alliance leaders that they "had no intention of creating a Muslim theocracy and that Malaya would be a secular state."
On behalf of the Alliance, (later Tun) Tan Siew Sin told the federal legislature that the inclusion of the official religion "... does not in any way derogate from the principle, which has always been accepted, that Malaya will be a secular state and that there would be complete freedom to practise any other religion."
A year after Independence, on 1 May 1958, then Prime Minister Tunku Abdul Rahman clarified in the Legislative Council that "I would like to make it clear that this country is not an Islamic state as it is generally understood. We merely provide that Islam shall be the official religion of the state."
Judicial recognition
The above position has received judicial recognition. Former Lord President Tun Mohamed Salleh Abas, in Che Omar bin Che Soh v Public Prosecutor (1988), stated that the term "Islam" in Article 3(1) of the Federal Constitution meant "only such acts as relate to rituals and ceremonies... the law in this country is ... secular law."
The former Lord President Tun Mohamed Suffian Hashim also wrote that Islam was made the official religion primarily for ceremonial purposes, to enable prayers to be offered in the Islamic way on official public occasions, such as the installation or birthday of the Yang di-Pertuan Agong, Independence Day and similar occasions.
Constitution law expert Prof Dr Shad Saleem Faruqi and prominent legal scholar, the late Tan Sri Professor Ahmad Ibrahim, also shared the above observations.
The MCA is of the position that the guiding principles for public administration in our beloved multiracial country shall always adhere to universal values of equality, justice, fairness, transparency, mutual respect, the rule of law, etc., which transcends all religions.
Gan Ping Sieu
MCA Spokesperson and Head of MCA Political Education Bureau
BERANI BERUBAH!
ReplyDeleteMencerahkan..
ReplyDeleteAllahuakbar,
ReplyDeleteMy brotherhood Bangsa Moro, may Allah always with you all in Jihad Fisabillillah. My Late Brother Dr. Hamzah Dirondatu A. Disomancop teach only one Doa' SALAMUN KAULANMIR RABBIR RAHIM, that Allah will protect from all of his enemy. Insyaallah.
Wasalam.
assalamualaikum saudara ku sangtawal may the god bless the hero of muslim all of the world 'bersatulah menegakkan kebenaran ( HAQ )PATTANI'MALYSIA INDONESIA MORRO SOUTH EAST ASIA AGAIN THE REAL DEVIL 'WASSALAM
ReplyDeleteJUNAID AL BAGHDAD AL LOMBOKY INDONESIA
ALLAAHUAKHBAR !!
ReplyDeleteHasbunallah wanimal wakil
ReplyDeleteBerat mata memandang lebih berat
Bahu memikul etulah yang di alami
Oleh saudara seagama kita di pilipina sejak dari moyang mereka
Lagi hinggah lah sekerang mereka terus ditindas dan digunakan demi kepentingan politik sehingga lah menjadi beban untuk mereka dalam menjalani kehidupan kerana mereka terus di tekan
Oleh kerejaan pilipina sendiri mahupun luar negara dengan di level kan sebagai pengganas betapa besar nya pengorbanan mereka untuk agama Allah sejak dari nenek moyang mereka lagi hingga lah kini mereka sanggup gadaikan nyawa untuk meneruskan pertahanan nenek moyang mereka yang tidak bersetuju untuk di keluarkan dari agama islam
Rantai Manila yg ada di kerajaan Gowa Tallo (Makassar/suku makassar) yang berupa kalung emas murni merupakan salah satu dari sekian banyak pusaka kerajaan Makassar...
ReplyDeleteAdakah hubungannya antara pusaka tersebut dengan Kerajaan Makassar ? Mengingat Kerajaan Makassar adalah kerajaan maritim terbesar pada zamannya .