Artikel Pilihan
Tajuk : Sejarah keagungan Bangsa Acheh - Bhg 3
Sumber ; http://www.acehforum.or.id/sejarah-agung-bangsa-t21883.html
Oleh:
Al-Ustadz Hilmy Bakar Hasany Almascaty
Chairman The Acheh Renaissance Movement
President Acheh Red Crescent (Hilal Ahmar Asyi)
Sambungan dari Bhg-2….
Islamisasi Acheh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah al-Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina, pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah para Khalifah berkaitan dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada zaman itu telah mencapai keemasaanya, sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai pusat-pusat perdagangan, peradaban dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur ini kemudian dipindahkan ke jalur laut karena berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama.
Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Acheh, sebagai daerah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Acheh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatra, telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka, yaitu bahasa Arab yang dengan al-Qur’an diturunkan. Pengaruh bahasa Acheh-Melayu dalam al-Qur’an dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam bahasa Arab pra-Islam.
Hubungan baik antara masyarakat Acheh dengan pendatang dari Arab telah mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Islam pertama di Acheh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Acheh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor pedirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M.
Maka jelaslah kebohongan Teori Gujarat yang dipopulerkan Snouck bersama antek-anteknya. Karena ternyata Islam berkembang sejak awal abad ke VII Masehi, lebih awal 600 tahun dari yang dikemukakan Teori Gujarat Snouck. Selanjutnya diharapkan para cendekiawan Muslim dapat mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, terutama Acheh sebagai serambi Mekkah.
Rekonstruksi Sejarah Acheh Untuk Kebangkitan dan Kegemilangan Peradaban
Untuk merekonstruksi, menyusun kembali kepingan-kepingan sejarah Acheh yang berserakan, menjadi sebuah gambaran sejarah yang jelas apa adanya bukanlah perkara mudah, mengingat sangat terbatasnya sumber-sumber rujukan yang dapat dipakai. Namun bagaimanapun sulitnya, sebuah penyusunan kembali sejarah sangat penting perannya dalam membangun sebuah jati diri masyarakat yang bercita-cita menggapai kegemilangan kembali seperti masyarakat Acheh. Berdasarkan data dan fakta yang ada, baik premer maupun sekunder, hendaklah mulai disusun sebuah rancang bangun sejarah Acheh yang akan menjadi cerminan masa depan. Karena seperti kata TS. Elliot, masa lalu adalah cermin masa kini yang akan mempengaruhi masa depan. Bagaimana kita akan melihat sosok bangsa dan masyarakat kita, jika cerminnya sendiri tidak ada.
Hal terpenting yang perlu direkonstruksi adalah peran Islam dalam sejarah pembangunan peradaban Acheh. Karena masa depan kegemilangan Acheh terletak sejauh mana komitmen interaksi masyarakatnya dengan Islam. Sejarah sendiri telah membuktikan bahwa puncak kegemilangan Islam dalam sepanjang sejarahnya adalah ketika para pemimpin yang dalam hal ini diwakili oleh para Sultan sebelum Sultan Iskandar Muda dengan para cendekiawannya, dalam hal ini diwakili oleh Hamzah Fansuri dilanjutkan Syamsuddin Sumatrani mampu membangun sebuah kolaborasi gerakan sinergis dan mampu merumuskan sebuah teologi kebangkitan berdasarkan Islam yang diterapkan kepada masyarakat Acheh sehingga mereka menjadi sebuah masyarakat kosmopolit yang berperadaban, berpengetahuan dan memiliki kemakmuran dan tentunya sekaligus memperoleh keadilan dan keamanan.
Bahwa segala pencapaian kegemilangan peradaban Acheh pada masa Sultan Iskandar Muda adalah sebuah produk dari pemahaman dan penerapan Islam secara benar dan tepat kepada masyarakat. Sama halnya, kebangkitan masyarakat Arab yang tertindas menjadi masyarakat Madani semata-mata karena berdasarkan spirit Islam yang dibawa Rasulullah dan diteruskan Para Khalifah dan pemimpin spiritual. Itulah sebabnya bangsa Arab terpuruk saat ini dan tidak pernah mengalami kebangkitan karena mereka mencampakkan spirit Islam dan menggantikannya dengan faham yang asing bagi tradisi dan dinamika pergerakan masyarakat mereka, baik faham sekulerisme, sosialisme, kapitalisme, nasionalisme dan sejenisnya yang menambah keterpurukan dan keterbelakangan mereka. Inilah pula yang telah menimpa Turki pasca tumbangnya Khalifah yang digantikan Kemal Attaturk dan mengarahkan bangsanya pada sekulerisme. Sampai saat ini bangsa Turki tidak pernah mencapai kemajuannya sebagai masyarakat Barat, karena jiwa mereka bertentangan dengan pola hidup sekuler mereka. Kegersangan jiwa masyarakat inilah yang akhirnya mengantarkan faksi Islam konservatip memenangi pemilihan Presiden ataupun Perdana Menteri.
Pengalaman pahit yang telah menimpa sebagian besar bangsa-bangsa Muslim yang pernah menjadi pusat mercusuar peradaban Islam seperti Mesir, Bagdad, Parsia, Pakistan, Turki dan lainnya, harus menjadi cerminan para pemimpin dan cendekiawan Acheh. Kegagalan demi kegagalan mereka dalam membangkitkan masyarakatnya akibat menerapkan faham yang tidak sesuai dengan jiwa dan nurani masyarakat, jangan diulang kembali pada masyarakat Acheh, cukuplah kita belajar dari kegagalan mereka dan jangan termasuk barisan yang gagal. Sebuah sistem hidup yang sekuler mungkin sesuai dengan masyarakat Barat, baik di Eropa dan Amerika dan terbukti telah mengantarkan mereka menuju renaisans dan menggapai kegemilangan sebagai bangsa yang maju dan makmur. Tapi menerapkan faham sekulerisme dengan segala derivatifnya kepada masyarakat yang telah memiliki akar tradisi dengan Islam, justru akan menghancurkan nilai-nilai rohaniah, sekaligus menimbulkan kerancuan demi kerancuan yang berakibat fatal yang tidak akan pernah mengantarkan masyarakat menuju kebangkitan dan kegemilangannya. Cukuplah kegagalan itu menimpa Mesir atau Turki, jangan diulang pada masyarakat Acheh yang selama ini penuh ujian dan cobaan.
Artinya, jika kita ingin membangkitkan kembali kegemilangan masyarakat Acheh, maka jalan satu-satunya hanya dengan Islam. Islam yang sesuai dengan tradisi, budaya, peradaban, watak, dinamika dan karakter masyarakat Acheh. Bukan penafsiran-penafsiran Islam yang telah mengalami bias masyarakat tertentu yang diimpor darimanapun. Kita membutuhkan Islam yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, Islam yang sesuai dengan masyarakat Acheh, Islam yang telah mengangkat harkat dan martabat nenek moyang mereka dahulu menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi Nusantara. Itulah Islam yang dibumikan atas realitas masyarakat Acheh, sebuah Islam ala manhaj Asyi, Islam yang tumbuh atas dasar metode keachehan. Islam yang progresif, dinamis, membebaskan dan mengantarkan menuju kegemilangan sejati.
Kerajaan Jeumpa Acheh, Kerajaan Islam Pertama Di Nusantara
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw membawa Islam, Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin hubungan dagang yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Acheh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab. Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. "Kafur Barus", "Kafur Fansur", "Kafur Barus min Fansur" yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya.
Hadirnya komuditas unggulan ini telah melahirkan berbagai teknologi pengolahan dalam penangannya. Karena sangat dibutuhkan sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian ataupun sebagai barang sakral dalam ritual keagamaan pagan, menjadikan asal kafur dan wilayah sekitarnya berkembang pesat. Tentu dari para petani, pedagang sampai para pengolah, peneliti, tabib sampai tukang sihir terlibat dalam proses pembuatan kafur yang bermutu. Tentu hal ini mengakibatkan hadirnya para pakar ke kota penghasil kafur dan membuat komunitas baru sesuai dengan peran masing-masing. Itulah sebabnya wajah orang Acheh berbeda dengan wajah orang Jawa, Makassar ataupun Melayu. Wajah mereka lebih kosmopolit yang merupakan perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan tentunya Eropa. Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-abad sebelum kedatangan Islam di wilayah ini.
Sehubungan dengan penyebaran Islam, tentu perkampungan para keturunan Arab lebih dominan, relatif lebih mudah dalam menerima kedatangan Islam, dengan beberapa alasan
(i) sumber utama al-Qur’an dan pengajarannya menggunakan bahasa Arab, yang tentu lebih mudah difahami oleh mereka yang sudah terbiasa dengan bahasa Arab seperti keturunan Arab yang sudah menyebar di sepanjang Barus-Fansur-Lamuri,
(ii) hukum, budaya, pola hidup ataupun tradisi yang dibawa Islam lebih dekat dengan kebiasaan orang Arab yang memang sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang merupakan bapak kaum Arab, sehingga keturunan Arab pra-Islam ini mudah langsung mengikutinya karena sudah menjadi kebiasaan hidupnya,
(iii) semangat kekeluargaan dan kesukuan sangat tinggi di kalangan bangsa Arab, termasuk Arab pra-Islam yang sangat menghormati dan menghargai sesamanya, itulah sebabnya banyak orang Arab yang membela Rasul walaupun tidak masuk Islam, inilah yang terjadi pada keturunan perantauan Arab ini, ada kebanggaan kesukuan memeluk agama Islam yang dibawa dari tanah leluhurnya daripada mengikuti ajaran lain,
(iv) tentu ajaran Islam yang rasional, adil, menawarkan persamaan kedudukan dan status menjadi daya tarik bagi masyarakat kosmopolit yang telah berbaur dengan berbagai peradaban besar sebagaimana yang dialami keturunan Arab
(v) disamping kepandaian dan ketampanan para pembawa Islam keturunan Arab telah membuat jatuh hati para Raja dan Meurah, mengangkat mereka jadi menantu, penasihat atau panglima dan ada yang menggantikan kedudukan Raja atas dukungan komunitas Arab yang memang sudah mapan dan memiliki kedudukan terhormat.
Jadi dengan demikian, tidak diragukan bahwa Islam telah tumbuh berkembang di Acheh, terutama di pesisirnya bersamaan dengan perkembangannya di semenanjung Arabia dan Parsia. Penyiaran ini utamanya dilakukan para pedagang Muslim asal Acheh yang bergagang ke Arab, ataupun pedagang Arab, Persia, India, Cina atau lainnya yang memang telah hilir mudik antara Dunia Arab Mesir sampai ke Tiongkok Cina melalui sebuah daerah yang oleh Claudius Ptolemaeus, disebut bernama "Barousai", yang tidak diragukan maksudnya adalah Barus di dekat Lamuri wilayah Acheh.
Penyebaran Islam juga dilakukan oleh para diplomat yang di utus para Khalifah yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad, terutama di zaman Khalifah Umar bin Khattab yang terbukti telah mengutus beberapa orang shahabat ke Cina yang meninggal di sana. Di samping untuk berdakwah tentu untuk memberikan sebuah tawaran umum para Khalifah kepada semua Raja: "Engkau memeluk Islam, artinya bersaudara dengan kami, jika tidak engkau membayar jizyah sebagai tanda ketundukan pada Islam, jika engkau menolak keduanya, berarti akan terjadi peperangan, karena sabda Nabi saw : "Aku diperintah memerangi manusia pembangkang sehingga mereka mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya". Cina menjadi salah satu tujuan dakwah Islam, karena pada masa itu Cina sudah menjadi salah satu Kerajaan besar. Tentu sebelum sampai ke Cina, para diplomat itu akan singgah di sekitar pesisir pantai Sumatra dan mencari perkampungan Arab dengan komunitasnya.
Bukti-bukti ilmiah telah ditemukan bahwa perdagangan antara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat atau "jalur sutra" (silk road), terbentang dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur menghubungkan Cina, India, Persia, Arab dengan Eropa, adalah jalur tertua yang di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Nusantara, melalui Selat Malaka (Fansur) ke India; selanjutnya ke Laut Tengah dan Eropa, ada pula jalur yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Fansur (Sumatra) sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.
Gangguan-gangguan keamanan sering terjadi pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka/Fansur) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya, pedagang-pedagang Fansur atau Nusantara telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina, dan pantai timur Afrika.
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Acheh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.
Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Jeumpa Acheh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Kerajaan Jeumpa Acheh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke "Pintou Rayeuk" (pintu besar).
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Acheh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Sekitar awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi ?) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja, dan Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama "Champia", yang artinya harum, wangi dan semerbak.
Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau murni keturunan raja-raja Parsia yang telah memeluk Islam. Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan asal keturunannya. Namun menurut pengamatan pakar sejarah Acheh, Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Karena
(i)beliau memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk kepada moyang perempuannya Puteri Syahr Banun, Puteri Maharaja Kerajaan Parsi yang menjadi istri Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah bin Muhammad Rasulullah saw
(ii) beliau mengawinkan anak perempuannya dengan cucu Imam Ja’far Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini
(iii) anak beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan ada yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi saw di Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia. Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian keluarga.
Terlepas dari perbedaan nama Raja pertama dari Kerajaan Islam Jeumpa tersebut, apakah Raja Abdullah atau Raja Salman, atau memang beliau menggunakan dua nama akibat menghindar dari kejaran para Penguasa Parsia yang sedang memburu pelarian keturunan Nabi, atau memang Pangeran Salman adalah bapak daripada Raja Abdullah, namun yang penting disepakati bahwa Islam telah bertapak di Kerajaan Jeumpa yang dipimpin oleh seorang Raja Muslim dan memiliki rakyat yang Muslim juga. Ini artinya Islam sudah mulai tersebar pada awal abad ke 8 atau sekitar tahun 150an Hijriah di wilayah Acheh dan memiliki hubungan dengan wilayah Islam lainnya. Hal ini jelas bertentangan dengan teori yang berkembang selama ini bahwa Islam masuk ke Acheh pada abad ke 12 Masehi dan Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman al-Parsi memilih kota kecil di wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca negara? Ada beberapa kemungkinan,
(i)beliau diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana,
(ii) beliau merasa nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah),
(iii)keinginan untuk mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya
dan
(iv)menghindar dari pandangan penguasa.
Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama. Mengingat Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia yang tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih ujung utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang mendiami perkampungan-perkampungan Arab atau Persia. Kemungkinan Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiran agar tidak terlalu menyolok dalam membangun kekuatan baru sebagai basis perjuangan Islamisasi dan membangun dinasti Ahlul Bayt di Nusantara. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra. Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.
Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran dengan Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur, beliau mengangkat anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang menonjol. Namun demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama dan pendakwah Islam. Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel. Berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel. Sementara Sunan Ampel adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang artinya kakek, mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan dengan Kerajaan Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat pendidikan bagi para ulama dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum ditemukan data tentang masalah ini.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Acheh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di wilayah Acheh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Acheh dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam Jeumpa Acheh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang telah menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan dan mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari Kerajaan Jeumpa di Acheh. Jadi dapat dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Achehlah yang telah mengalahkan dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan lewat perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Acheh Darussalam.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.
6. Kerajaan Islam Perlak
Setelah dewasa Syahri Nuwi, salah seorang anak Pengeran Salman, Raja Kerajaan Islam Jeumpa telah berhasil mengembangkan sebuah perkampungan pelabuhan yang dihuni para pedagang keturunan Arab, Parsi, India dan lainnya di sekitar wilayah Perlak yang pada waktu itu sekitar tahun 805 menjadi sebuah kota pelabuhan yang sedang berkembang pesat. Dengan bimbingan dari ayahnya, Syahri Nuwi kemudian berhasil mengembangkan pelabuhan kecil ini menjadi sebuah bandar baru yang banyak disinggahi para pedagang dari seluruh penjuru dunia, terutama dari Arab, Persia, India dan Cina. Sejak saat itu, Bandar Perlak menjadi salah satu bandar terpenting di pulau Sumatra, bahkan menggantikan peranan Bandar Fansur ataupun Barus sebagai tempat persinggahan para pedagang yang belayar dari Cina menuju Arab maupun Eropa. Kepemimpinannya yang menonjol telah mengantarkan Syahri Nuwi menjadi penguasa baru di Kerajaan yang diberikannya nama dengan Kerajaan Peureulak (Perlak) dengan gelar Meurah Syahri Nuwi.
Di bawah kepemimpinannya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Acheh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.
Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.
Pertanyaannya adalah, kenapa rombongan Nakhoda Khalifah yang dipimpin oleh para Keturunan Nabi Muhammad saw dan para pendukung setianya, baik dari Arab maupun Persia, yang datang dari Semenanjung Arabia itu memilih Perlak sebagai persinggahannya? Apakah mereka datang secara kebetulan dan mendarat sekenanya di Perlak kemudian berhasil merebut hati Meurah Perlak, dan selanjutnya keturunan mereka menjadi Sultan?
Menurut analisis penulis, bahwa kedatangan rombongan ini bukanlah sebuah kebetulan sejarah belaka. Namun merupakan sebuah perencanaan besar dari para pemimpin Ahlul Bayt saat itu yang sedang mencari wilayah baru bagi perkembangan Islam dan tentunya sebuah kerajaan yang mampu melindungi eksisitensi Ahlul Bayt sebagai sebuah entitas yang diamanahkan Allah dan Rasul-Nya sebagai penjaga Islam sepanjang masa.
Dalam sebuah hadits (hadits tsaqolain) yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda agar pengikutnya berpegang teguh kepada dua perkara supaya tidak sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan Itrah (Ahlul Bayt/keturunannya). Dua perkara inilah yang menjadi penghubung antara Rasulullah dengan umatnya, sehingga mereka diwajibkan membaca shalawat untuk beliau dan keluarga keturunannya. Karena Ahlul Bayt diamanahkan sebagai benteng utama Islam oleh Allah dan Rasul-Nya dan ummat diperintahkan untuk mencintai, menghormati dan berpegang teguh kepadanya, maka sejak awal kebangkitan Islam para Itrah Rasul mendapat kehormatan dan kedudukan masyarakat Muslim dimanapun mereka datang, baik di Persia, Afrika, Mesir, India, Cina dan tentunya termasuk di alam Nusantara. Apalagi di sepanjang pulau pesisir pulau Sumatra sudah tumbuh perkampungan-perkampungan Arab ataupun Parsia sebelum kedatangan Islam, yang nantinya menjadi pendorong lahirnya Kerajaan Islam setelah kedatangan Islam yang dibawa para pedagang Muslim.
Ahli sejarah telah mencatat beberapa dinasti Kerajaan Ahlul Bayt Nusantara, baik di wilayah Sumatera, Semenanjung Melayu, Borneo-Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua sekarang. Ditengarai, generasi awal datang dari Persia sekitar akhir abad pertama Hijriah atau sekitar abad VII Masehi, yang mendirikan kerajaan di sekitar Acheh-Sumatra, yang menjadi cikal bakal Kerajaan Perlak dan Pasai. Jika diurut silsilah para Sultan di Nusantara, sebagian besar akan bertemu pada jalur Imam Ja’far Sadiq yang sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti Rasulullah saw, baik Maulana Abdul Aziz Syah (Perlak), Sultan Malik al-Shalih (Pasai), Mughayat Syah (Acheh), Syarif Hidayatullah (Banten), Sultan Wan Abdullah (Kelantan) dan lain-lainnya. Dan tidak diragukan, sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, diantara mereka senantiasa memelihara kekerabatan dan saling topang menopang dalam menegakkan Islam dalam sebuah jaringan Ahlul Bayt. Tokoh-tokoh Ahlul Bayt yang sudah memegang kekuasaan segera akan memberikan bantuan kepada yang lainnya.
Ketika Ahlul Bayt di Semenanjung Arabia tengah mendapat kesulitan pada zaman Maulana Muhammad bin Ja’far Shidiq, maka segera keluarga mereka yang sudah mapan meminta kedatangan mereka ke Perlak yang tengah membangun kekuatan baru di bawah pimpinan generasi yang lebih awal datang, dalam hal ini Syahri Nuwi anak daripada Pangeran Salman yang datang dari Persia, yang tidak diragukan memiliki hubungan kekerabatan dengan rombongan yang datang. Itulah sebabnya Syahri Nuwi menikahkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan Maulana Ali bin Muhammad bin Ja’far Shidiq. Perkawinan dua keluarga besar Ahlul Bayt ini telah melahirkan generasi baru, Maulana Abdul Aziz, yang dinobatkan menjadi Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, yang akhirnya menjadi pusat pergerakan
Islamisasi di Nusantara, sekaligus menjadi penghubung dengan dinasti-dinasti Ahlul Bayt di seluruh dunia.
Dan tidak diragukan bahwa perkembangan Kerajaan Perlak menjadi sebuah kota kosmopolitan baru di pesisir pulau Sumatra tidak lain disebabkan oleh kedatangan para pendukung Ahlul Bayt dari seluruh penjuru dunia untuk membesarkan Kerajaan Islam di Nusantara ini. Dengan segala kepakaran, pengetahuan, jaringan, logistik dan potensi lainnya yang mereka miliki, mereka curahkan untuk membangun sebuah pusat pergerakan baru bagi pertumbuhan Islam di Nusantara khususnya. Berbeda halnya dengan Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan lebih awal oleh para Ahlul Bayt secara sembunyi dan tidak diekspose, Kerajaan Perlak didirikan dengan kemegahan dan terang-terangan memberikan gelar Sayyid Maulana kepada Sultannya, sebagai sebuah proklamasi Kerajaan yang dipimpin Ahlul Bayt. Selanjutnya kegemilangan Kerajaan Islam Perlak dipimpin oleh Sultan keturunan dari Maulana Muhammad bin Ja’far Shadiq dan secara berganti dilanjutkan oleh keturunan dari Syahri Nuwi yang telah menggunakan gelar Makhdum, yang juga merupakan keluarga besar Ahlul Bayt.
Terkadang para peneliti sejarah Islam terjebak dalam kebingungan peristilahan ini, akibat ketidakfahaman mereka dengan jaringan keluarga Ahlul Bayt yang sangat mengutamakan kekerabatan dan silaturrahmi di kalangan mereka. Pergantian dari satu Sultan dengan Sultan lainnya adalah hal yang biasa dalam dinamika kekuasaan Ahlul Bayt yang mengutamakan kualitas personal pemimpinnya. Contoh nyata adalah bagaimana Syahri Nuwi rela menyerahkan kepemimpinan Kerajaan Perlak yang berkembang pesat kepada keponakannya, Maulana Abdul Aziz, dan setelah beberapa generasi Perlak dipimpin oleh keturunan Makhdum dari keluarga Syahri Nuwi kembali. Hal ini dinilai sebagai sebuah perebutan kekuasaan diantara para Sultan jika tidak dilihat dari sebuah perancangan besar dinasti Ahlul Bayt secara menyeluruh yang memiliki hirarki dan kepemimpinan spiritual sambung menyambung.
Kerajaan Perlak telah menjadi basis Islamisasi Nusantara pada zamannya yang berhasil mengirim para pendakwah dan pembimbing Islam ke penjuru Nusantara. Namun sejauh ini, Kerajaan Perlak belum berhasil secara totalitas mengsilamkan beberapa Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa yang menjadi penghalang utama Islamisasi Nusantara. Namun Kerajaan Islam Perlak telah berhasil membangun infrastruktur dan jaringan Islamisasi yang akan memudahkan Kerajaan Islam selanjutnya dalam mengislamisasikan Nusantara, sekaligus menghancurkan dominasi Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan sekitarnya. Pada saat bersamaan, telah tumbuh pula pusat-pusat bandar Islam berpotensi yang dikembangkan oleh para keturunan dinasti Ahlul Bayt terdahulu, diantaranya adalah Pasai, yang akan melanjutkan peranan Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat Islamisasi Nusantara.
7. Kerajaan Islam Pasai
Salah seorang keturunan dari Sultan Perlak, bernama Meurah Silu yang dikenal dengan Sultan Malik al-Salih (w.1297 M) kemudian mendirikan Kerajaan Islam Pasai, yang pada akhirnya menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak yang mulai menurun peranannya pada awal abad ke 13 Masehi. Di sini perlu diluruskan beberapa legenda yang menyatakan bahwa Meurah Silu bukan terlahir sebagai seorang Muslim, namun dia menganut Islam sesudah menjadi Raja Pasai. Realitas ini sungguh bertentangan dengan fakta sejarah, karena jelas silsilah Meurah Silu (Malik al-Salih) menyambung kepada keturunan Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti Muhammad saw. Dengan demikian jelas beliau adalah salah seorang Ahlul Bayt Nabi Muhammad yang memiliki hubungan dekat dengan para Sultan Kerajaan Perlak maupun Jeumpa yang menjadi penggerak Islamisasi Nusantara. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Sultan Malik al-Salih begitu tampil memimpin Kerajaan Pasai dan memproklamirkannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara menggantikan peranan Kerajaan Perlak.
Sebelumnya Pasai adalah sebuah perkampungan yang menjadi bandar transit bagi para pedagang yang menggunakan kapal layar dari negeri Arab menuju Cina ataupun sebaliknya. Namun dengan kemunculan Kerajaan Pasai pada awal abad 13 Masehi yang dipimpin Sultan Malik al-Salih, telah terjadi perubahan drastis dalam lalu lintas perdagangan di selat Malaka. Acheh yang dahulunya dikenal sebagai daerah penghubung, kini menjadi lebih aktif dalam perdagangan. Kerajaan Pasai menjadi pusat perdagangan dalam mengekspor hasil-hasil hutan dan pertanian. Komuditas Lada adalah diantara hasil pertanian yang sangat digemari oleh orang-orang Eropa, Arab dan Cina, yang telah menaikkan nama Kerajaan Pasai di seluruh dunia yang mendorong hadirnya saudagar-saudagar asing dari seluruh dunia. Berbagai kapal dagang dari seluruh dunia datang membawa bermacam-macam dagangan untuk diperjual-belikan di pelabuhan Pasai.
Di bawah kepemimpinan Sultan Malik al-Salih yang memiliki kemampuan besar kepemimpinan serta berpegang teguh pada ajaran Islam, Kerajaan Pasai berkembang pesat bukan hanya sebagai bandar pelabuhan yang mengimpor berbagai komuditas di kawasan Selat Malaka pada saat itu, namun beliau mendorong rakyatnya menguasai berbagai teknologi. Dan terbukti masyarakatnya tergolong memiliki teknologi yang maju, khususnya dalam teknologi pertanian. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai menjadi salah satu negeri pengekspor berbagai bentuk hasil pertanian, seperti lada, bawang, semangka, pisang, tebu, jeruk dan lain-lainnya.
Sepeninggal Sultan Malik al-Salih, Kerajaan Pasai berkembang dengan pesatnya di bawah kepemimpinan keturunan beliau yang tetap menjalankan kebijakan yang telah digariskan para pendahulunya, bahwa Pasai sebagai penggerak dan pusat Islamisasi Nusantara. Ibnu Batutah, seorang musafir dan peneliti sosial asal Maroko telah mengunjungi Kerajaan Pasai antara tahun 1345-1346 Masehi. Dia menyebutkan dalam catatannya bahwa kerajaan ini sudah maju dalam perdagangan; hubungan dagang telah diadakan secara luas dengan Tiongkok dan India. Sultan Malik al-Zahir, yang memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh lagi sangat taat kepada agama. Ia bermazhab Syafie dan sangat gemar mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah agama. Setiap hari jum’at ia pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Ibnu Batutah juga menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam kemakmuran dan kedamaian yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan acara pernikahan putra beliau yang menggambarkan kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai.
Perkembangan pesat Kerajaan Pasai yang telah mengantarkan kemakmuran dan kebesaran masyarakatnya, dan terutama kemampuannya sebagai pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara, telah menimbulkan hasud dan dengki kerajaan-kerajaan lainnya, terutama kerajaan Budha Thailand yang bekerjasama dengan kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang telah merancang penyerangan dan penghancuran Kerajaan Pasai dengan berbagai cara agar melemahkan semangat Islamisasi di Nusantara. Diantaranya adalah dengan menangkap salah seorang Sultannya dan ditawan di negeri Siam (Thailand). Demikian pula, pada pertengahan abad ke 14 Masehi Kerajaan Majapahit melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Pasai yang mendapat perlawanan hebat dari para mujahidin Pasai yang telah mendapat pendidikan kerohanian dari para Wali, sehingga banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak. Bahkan dikabarkan, Mahapatih Gadjah Mada yang memimpin penyerangan ke Pasai telah menjadi korban dan terbunuh ketika melarikan diri. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai tetap eksis dan bangkit kembali menjadi salah satu Kerajaan Islam yang terkuat di Nusantara.
Kemakmuran dan kebesaran Pasai dalam abad-abad berikutnya, bukan saja telah menjadikannya sebagai pusat penyebaran agama Islam dengan mengirimkan para muballigh ke tempat-tempat yang diperlukan, terutama ke Malaka, Jawa dan Patani. Tetapi juga sebagai pusat pengajian Islam di mana berkumpul berbagai ulama dan sarjana yang mengajar dan membahas masalah-masalah agama serta menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang muncul dan datang dari daerah-daerah sekitar Nusantara. Disebutkan dalam Sejarah Melayu bahwa seorang ulama sufi dari Mekkah, Syekh Abu Ishak telah menulis sebuah buku berjudul Durr al-Manzum, yang terdiri dari dua bab, pertama tetang zat Allah dan kedua tentang sifat Allah. Atas anjuran muridnya Maulana Abu Bakar, kitab tersebut ditambah bab ketiga tentang af’al Allah (perbuatan Allah). Kemudian Maulana Abu Bakar membawa kitab tersebut ke Sultan Malaka, Sultan Mansyur Syah. Sultan menerima kitab tersebut dengan upacara khusus kebesaran seperti menyambut tamu kehormatan Kerajaan. Selanjutnya kitab tersebut dikirim ke Pasai untuk diberi penjelasan lebih mendalam oleh seorang ulama Pasai bernama Makhdum Patakan. Pemahaman keislaman para Sultan, Ulama, Cendekiawan dan rakyat Pasai pada saat itu berkembang pesat, yang tidak hanya membahas aspek-aspek fiqih dan hukum semata, namun sudah mencapai pembahasan yang bersifat "esoterik" sebagaimana yang dibuktikan dengan beberapa jawaban Ulama Pasai bernama Makhdum Muda kepada Sultan Malaka yang telah mengutus Tun Bija Wangsa.
Kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Pasai akhirnya telah mengantarkannya sebagai pusat rujukan dan pengembangan pemikiran Islam Nusantara, tempat berkumpul para Ulama dan Cendekiawan membahas masalah-masalah keagamaan dan tentunya sebagai pusat pendidikan tingkat tinggi keislaman di Nusantara. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai dianggap oleh daerah-daerah lain di Nusantara sebagai pusat rujukan dan fatwa yang berwenang dalam menyelesaikan masalah-masalah agama. Hal ini memang sangat memungkinkan, sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah, bahwa di Kerajaan Pasai telah tinggal beberapa jenis Ulama dan Cendekiawan, seperti ahli hukum Islam, para penyair, para hukama (ahli filsafat) dan lain-lain.
Peran sentral Kerajaan Pasai sebagai motor penggerak Islamisasi di Nusantara, terutama menjelang abad ke 15 Masehi semakin menonjol, sehingga banyak menarik minat para Cendekiawan Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Di antara tokoh yang nantinya sangat berpengaruh dalam Islamisasi Nusantara, khususnya Islamisasi Jawa yang masih di bawah dominasi Kerajan Hindu-Budha, adalah Saiyid Hussein Jamadul Kubra dengan dua orang anaknya, Maulana Ishak dan Maulana Malik Ibrahim yang datang dari derah Samarkand, Parsia. Kedatangan tokoh-tokoh Ulama dan Cendekiawan besar dunia Islam, baik dari Yaman, Hadramaut, Maroko (Maghribi), Persia maupun India dan lain-lainnya, benar-benar telah menjadikan Pasai sebagai poros baru peradaban Islam, khususnya dalam pengembangan pemikiran keislaman atau selanjutnya berperan dalam melahirkan gerakan-gerakan seperti Wali Songo yang telah mengislamkan tanah Jawa.
Bersambung ke Bhg 4(akhir) seterusnya...
Tajuk : Sejarah keagungan Bangsa Acheh - Bhg 3
Sumber ; http://www.acehforum.or.id/sejarah-agung-bangsa-t21883.html
Oleh:
Al-Ustadz Hilmy Bakar Hasany Almascaty
Chairman The Acheh Renaissance Movement
President Acheh Red Crescent (Hilal Ahmar Asyi)
Sambungan dari Bhg-2….
Islamisasi Acheh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah al-Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina, pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah para Khalifah berkaitan dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada zaman itu telah mencapai keemasaanya, sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai pusat-pusat perdagangan, peradaban dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur ini kemudian dipindahkan ke jalur laut karena berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama.
Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Acheh, sebagai daerah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Acheh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatra, telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka, yaitu bahasa Arab yang dengan al-Qur’an diturunkan. Pengaruh bahasa Acheh-Melayu dalam al-Qur’an dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam bahasa Arab pra-Islam.
Hubungan baik antara masyarakat Acheh dengan pendatang dari Arab telah mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Islam pertama di Acheh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar tahun 777 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Acheh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor pedirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M.
Maka jelaslah kebohongan Teori Gujarat yang dipopulerkan Snouck bersama antek-anteknya. Karena ternyata Islam berkembang sejak awal abad ke VII Masehi, lebih awal 600 tahun dari yang dikemukakan Teori Gujarat Snouck. Selanjutnya diharapkan para cendekiawan Muslim dapat mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi tentang sejarah masuknya Islam di Nusantara, terutama Acheh sebagai serambi Mekkah.
Rekonstruksi Sejarah Acheh Untuk Kebangkitan dan Kegemilangan Peradaban
Untuk merekonstruksi, menyusun kembali kepingan-kepingan sejarah Acheh yang berserakan, menjadi sebuah gambaran sejarah yang jelas apa adanya bukanlah perkara mudah, mengingat sangat terbatasnya sumber-sumber rujukan yang dapat dipakai. Namun bagaimanapun sulitnya, sebuah penyusunan kembali sejarah sangat penting perannya dalam membangun sebuah jati diri masyarakat yang bercita-cita menggapai kegemilangan kembali seperti masyarakat Acheh. Berdasarkan data dan fakta yang ada, baik premer maupun sekunder, hendaklah mulai disusun sebuah rancang bangun sejarah Acheh yang akan menjadi cerminan masa depan. Karena seperti kata TS. Elliot, masa lalu adalah cermin masa kini yang akan mempengaruhi masa depan. Bagaimana kita akan melihat sosok bangsa dan masyarakat kita, jika cerminnya sendiri tidak ada.
Hal terpenting yang perlu direkonstruksi adalah peran Islam dalam sejarah pembangunan peradaban Acheh. Karena masa depan kegemilangan Acheh terletak sejauh mana komitmen interaksi masyarakatnya dengan Islam. Sejarah sendiri telah membuktikan bahwa puncak kegemilangan Islam dalam sepanjang sejarahnya adalah ketika para pemimpin yang dalam hal ini diwakili oleh para Sultan sebelum Sultan Iskandar Muda dengan para cendekiawannya, dalam hal ini diwakili oleh Hamzah Fansuri dilanjutkan Syamsuddin Sumatrani mampu membangun sebuah kolaborasi gerakan sinergis dan mampu merumuskan sebuah teologi kebangkitan berdasarkan Islam yang diterapkan kepada masyarakat Acheh sehingga mereka menjadi sebuah masyarakat kosmopolit yang berperadaban, berpengetahuan dan memiliki kemakmuran dan tentunya sekaligus memperoleh keadilan dan keamanan.
Bahwa segala pencapaian kegemilangan peradaban Acheh pada masa Sultan Iskandar Muda adalah sebuah produk dari pemahaman dan penerapan Islam secara benar dan tepat kepada masyarakat. Sama halnya, kebangkitan masyarakat Arab yang tertindas menjadi masyarakat Madani semata-mata karena berdasarkan spirit Islam yang dibawa Rasulullah dan diteruskan Para Khalifah dan pemimpin spiritual. Itulah sebabnya bangsa Arab terpuruk saat ini dan tidak pernah mengalami kebangkitan karena mereka mencampakkan spirit Islam dan menggantikannya dengan faham yang asing bagi tradisi dan dinamika pergerakan masyarakat mereka, baik faham sekulerisme, sosialisme, kapitalisme, nasionalisme dan sejenisnya yang menambah keterpurukan dan keterbelakangan mereka. Inilah pula yang telah menimpa Turki pasca tumbangnya Khalifah yang digantikan Kemal Attaturk dan mengarahkan bangsanya pada sekulerisme. Sampai saat ini bangsa Turki tidak pernah mencapai kemajuannya sebagai masyarakat Barat, karena jiwa mereka bertentangan dengan pola hidup sekuler mereka. Kegersangan jiwa masyarakat inilah yang akhirnya mengantarkan faksi Islam konservatip memenangi pemilihan Presiden ataupun Perdana Menteri.
Pengalaman pahit yang telah menimpa sebagian besar bangsa-bangsa Muslim yang pernah menjadi pusat mercusuar peradaban Islam seperti Mesir, Bagdad, Parsia, Pakistan, Turki dan lainnya, harus menjadi cerminan para pemimpin dan cendekiawan Acheh. Kegagalan demi kegagalan mereka dalam membangkitkan masyarakatnya akibat menerapkan faham yang tidak sesuai dengan jiwa dan nurani masyarakat, jangan diulang kembali pada masyarakat Acheh, cukuplah kita belajar dari kegagalan mereka dan jangan termasuk barisan yang gagal. Sebuah sistem hidup yang sekuler mungkin sesuai dengan masyarakat Barat, baik di Eropa dan Amerika dan terbukti telah mengantarkan mereka menuju renaisans dan menggapai kegemilangan sebagai bangsa yang maju dan makmur. Tapi menerapkan faham sekulerisme dengan segala derivatifnya kepada masyarakat yang telah memiliki akar tradisi dengan Islam, justru akan menghancurkan nilai-nilai rohaniah, sekaligus menimbulkan kerancuan demi kerancuan yang berakibat fatal yang tidak akan pernah mengantarkan masyarakat menuju kebangkitan dan kegemilangannya. Cukuplah kegagalan itu menimpa Mesir atau Turki, jangan diulang pada masyarakat Acheh yang selama ini penuh ujian dan cobaan.
Artinya, jika kita ingin membangkitkan kembali kegemilangan masyarakat Acheh, maka jalan satu-satunya hanya dengan Islam. Islam yang sesuai dengan tradisi, budaya, peradaban, watak, dinamika dan karakter masyarakat Acheh. Bukan penafsiran-penafsiran Islam yang telah mengalami bias masyarakat tertentu yang diimpor darimanapun. Kita membutuhkan Islam yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, Islam yang sesuai dengan masyarakat Acheh, Islam yang telah mengangkat harkat dan martabat nenek moyang mereka dahulu menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi Nusantara. Itulah Islam yang dibumikan atas realitas masyarakat Acheh, sebuah Islam ala manhaj Asyi, Islam yang tumbuh atas dasar metode keachehan. Islam yang progresif, dinamis, membebaskan dan mengantarkan menuju kegemilangan sejati.
Kerajaan Jeumpa Acheh, Kerajaan Islam Pertama Di Nusantara
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw membawa Islam, Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin hubungan dagang yang erat sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Acheh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab. Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah asalnya dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. "Kafur Barus", "Kafur Fansur", "Kafur Barus min Fansur" yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya.
Hadirnya komuditas unggulan ini telah melahirkan berbagai teknologi pengolahan dalam penangannya. Karena sangat dibutuhkan sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian ataupun sebagai barang sakral dalam ritual keagamaan pagan, menjadikan asal kafur dan wilayah sekitarnya berkembang pesat. Tentu dari para petani, pedagang sampai para pengolah, peneliti, tabib sampai tukang sihir terlibat dalam proses pembuatan kafur yang bermutu. Tentu hal ini mengakibatkan hadirnya para pakar ke kota penghasil kafur dan membuat komunitas baru sesuai dengan peran masing-masing. Itulah sebabnya wajah orang Acheh berbeda dengan wajah orang Jawa, Makassar ataupun Melayu. Wajah mereka lebih kosmopolit yang merupakan perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi dan tentunya Eropa. Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-abad sebelum kedatangan Islam di wilayah ini.
Sehubungan dengan penyebaran Islam, tentu perkampungan para keturunan Arab lebih dominan, relatif lebih mudah dalam menerima kedatangan Islam, dengan beberapa alasan
(i) sumber utama al-Qur’an dan pengajarannya menggunakan bahasa Arab, yang tentu lebih mudah difahami oleh mereka yang sudah terbiasa dengan bahasa Arab seperti keturunan Arab yang sudah menyebar di sepanjang Barus-Fansur-Lamuri,
(ii) hukum, budaya, pola hidup ataupun tradisi yang dibawa Islam lebih dekat dengan kebiasaan orang Arab yang memang sudah dilaksanakan sejak zaman Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang merupakan bapak kaum Arab, sehingga keturunan Arab pra-Islam ini mudah langsung mengikutinya karena sudah menjadi kebiasaan hidupnya,
(iii) semangat kekeluargaan dan kesukuan sangat tinggi di kalangan bangsa Arab, termasuk Arab pra-Islam yang sangat menghormati dan menghargai sesamanya, itulah sebabnya banyak orang Arab yang membela Rasul walaupun tidak masuk Islam, inilah yang terjadi pada keturunan perantauan Arab ini, ada kebanggaan kesukuan memeluk agama Islam yang dibawa dari tanah leluhurnya daripada mengikuti ajaran lain,
(iv) tentu ajaran Islam yang rasional, adil, menawarkan persamaan kedudukan dan status menjadi daya tarik bagi masyarakat kosmopolit yang telah berbaur dengan berbagai peradaban besar sebagaimana yang dialami keturunan Arab
(v) disamping kepandaian dan ketampanan para pembawa Islam keturunan Arab telah membuat jatuh hati para Raja dan Meurah, mengangkat mereka jadi menantu, penasihat atau panglima dan ada yang menggantikan kedudukan Raja atas dukungan komunitas Arab yang memang sudah mapan dan memiliki kedudukan terhormat.
Jadi dengan demikian, tidak diragukan bahwa Islam telah tumbuh berkembang di Acheh, terutama di pesisirnya bersamaan dengan perkembangannya di semenanjung Arabia dan Parsia. Penyiaran ini utamanya dilakukan para pedagang Muslim asal Acheh yang bergagang ke Arab, ataupun pedagang Arab, Persia, India, Cina atau lainnya yang memang telah hilir mudik antara Dunia Arab Mesir sampai ke Tiongkok Cina melalui sebuah daerah yang oleh Claudius Ptolemaeus, disebut bernama "Barousai", yang tidak diragukan maksudnya adalah Barus di dekat Lamuri wilayah Acheh.
Penyebaran Islam juga dilakukan oleh para diplomat yang di utus para Khalifah yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad, terutama di zaman Khalifah Umar bin Khattab yang terbukti telah mengutus beberapa orang shahabat ke Cina yang meninggal di sana. Di samping untuk berdakwah tentu untuk memberikan sebuah tawaran umum para Khalifah kepada semua Raja: "Engkau memeluk Islam, artinya bersaudara dengan kami, jika tidak engkau membayar jizyah sebagai tanda ketundukan pada Islam, jika engkau menolak keduanya, berarti akan terjadi peperangan, karena sabda Nabi saw : "Aku diperintah memerangi manusia pembangkang sehingga mereka mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya". Cina menjadi salah satu tujuan dakwah Islam, karena pada masa itu Cina sudah menjadi salah satu Kerajaan besar. Tentu sebelum sampai ke Cina, para diplomat itu akan singgah di sekitar pesisir pantai Sumatra dan mencari perkampungan Arab dengan komunitasnya.
Bukti-bukti ilmiah telah ditemukan bahwa perdagangan antara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat atau "jalur sutra" (silk road), terbentang dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur menghubungkan Cina, India, Persia, Arab dengan Eropa, adalah jalur tertua yang di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Nusantara, melalui Selat Malaka (Fansur) ke India; selanjutnya ke Laut Tengah dan Eropa, ada pula jalur yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Fansur (Sumatra) sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.
Gangguan-gangguan keamanan sering terjadi pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka/Fansur) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya, pedagang-pedagang Fansur atau Nusantara telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina, dan pantai timur Afrika.
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Acheh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.
Maka berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Jeumpa Acheh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Kerajaan Jeumpa Acheh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke "Pintou Rayeuk" (pintu besar).
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Acheh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Sekitar awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang pemuda tampan bernama Abdullah yang memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi ?) untuk berdagang. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Dia dinikahkan dengan puteri Raja, dan Abdullah dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama "Champia", yang artinya harum, wangi dan semerbak.
Menurut silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seulodong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi. Menurut penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran Salman ke atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau murni keturunan raja-raja Parsia yang telah memeluk Islam. Karena di silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan asal keturunannya. Namun menurut pengamatan pakar sejarah Acheh, Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Karena
(i)beliau memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk kepada moyang perempuannya Puteri Syahr Banun, Puteri Maharaja Kerajaan Parsi yang menjadi istri Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah bin Muhammad Rasulullah saw
(ii) beliau mengawinkan anak perempuannya dengan cucu Imam Ja’far Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini
(iii) anak beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan ada yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi saw di Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia. Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian keluarga.
Terlepas dari perbedaan nama Raja pertama dari Kerajaan Islam Jeumpa tersebut, apakah Raja Abdullah atau Raja Salman, atau memang beliau menggunakan dua nama akibat menghindar dari kejaran para Penguasa Parsia yang sedang memburu pelarian keturunan Nabi, atau memang Pangeran Salman adalah bapak daripada Raja Abdullah, namun yang penting disepakati bahwa Islam telah bertapak di Kerajaan Jeumpa yang dipimpin oleh seorang Raja Muslim dan memiliki rakyat yang Muslim juga. Ini artinya Islam sudah mulai tersebar pada awal abad ke 8 atau sekitar tahun 150an Hijriah di wilayah Acheh dan memiliki hubungan dengan wilayah Islam lainnya. Hal ini jelas bertentangan dengan teori yang berkembang selama ini bahwa Islam masuk ke Acheh pada abad ke 12 Masehi dan Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Yang perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman al-Parsi memilih kota kecil di wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah berkembang pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca negara? Ada beberapa kemungkinan,
(i)beliau diterima dengan baik oleh masyarakat Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana,
(ii) beliau merasa nyaman dan sesuai dengan penguasa (meurah),
(iii)keinginan untuk mengembangkan wilayah ini setingkat Barus, Lamuri dan lainnya
dan
(iv)menghindar dari pandangan penguasa.
Alasan terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama. Mengingat Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia yang tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun 150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih ujung utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah terkenal dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang mendiami perkampungan-perkampungan Arab atau Persia. Kemungkinan Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiran agar tidak terlalu menyolok dalam membangun kekuatan baru sebagai basis perjuangan Islamisasi dan membangun dinasti Ahlul Bayt di Nusantara. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai Abdullah.
Di bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra. Jeumpa sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan makna Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.
Untuk mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran dengan Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur, beliau mengangkat anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang. Syahr Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini, hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang menonjol. Namun demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama dan pendakwah Islam. Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel. Berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel. Sementara Sunan Ampel adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang artinya kakek, mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini dapat dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan dengan Kerajaan Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat pendidikan bagi para ulama dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum ditemukan data tentang masalah ini.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless berada di wilayah Acheh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di wilayah Acheh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Acheh dengan Raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Sejarah ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam Jeumpa Acheh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang telah menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan dan mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari Kerajaan Jeumpa di Acheh. Jadi dapat dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Achehlah yang telah mengalahkan dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan lewat perkawinan yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis hubungan dengan Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Acheh Darussalam.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.
6. Kerajaan Islam Perlak
Setelah dewasa Syahri Nuwi, salah seorang anak Pengeran Salman, Raja Kerajaan Islam Jeumpa telah berhasil mengembangkan sebuah perkampungan pelabuhan yang dihuni para pedagang keturunan Arab, Parsi, India dan lainnya di sekitar wilayah Perlak yang pada waktu itu sekitar tahun 805 menjadi sebuah kota pelabuhan yang sedang berkembang pesat. Dengan bimbingan dari ayahnya, Syahri Nuwi kemudian berhasil mengembangkan pelabuhan kecil ini menjadi sebuah bandar baru yang banyak disinggahi para pedagang dari seluruh penjuru dunia, terutama dari Arab, Persia, India dan Cina. Sejak saat itu, Bandar Perlak menjadi salah satu bandar terpenting di pulau Sumatra, bahkan menggantikan peranan Bandar Fansur ataupun Barus sebagai tempat persinggahan para pedagang yang belayar dari Cina menuju Arab maupun Eropa. Kepemimpinannya yang menonjol telah mengantarkan Syahri Nuwi menjadi penguasa baru di Kerajaan yang diberikannya nama dengan Kerajaan Peureulak (Perlak) dengan gelar Meurah Syahri Nuwi.
Di bawah kepemimpinannya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah.
Wan Hussein Azmi dalam Islam di Acheh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak.
Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni al-Fasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah.
Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.
Pertanyaannya adalah, kenapa rombongan Nakhoda Khalifah yang dipimpin oleh para Keturunan Nabi Muhammad saw dan para pendukung setianya, baik dari Arab maupun Persia, yang datang dari Semenanjung Arabia itu memilih Perlak sebagai persinggahannya? Apakah mereka datang secara kebetulan dan mendarat sekenanya di Perlak kemudian berhasil merebut hati Meurah Perlak, dan selanjutnya keturunan mereka menjadi Sultan?
Menurut analisis penulis, bahwa kedatangan rombongan ini bukanlah sebuah kebetulan sejarah belaka. Namun merupakan sebuah perencanaan besar dari para pemimpin Ahlul Bayt saat itu yang sedang mencari wilayah baru bagi perkembangan Islam dan tentunya sebuah kerajaan yang mampu melindungi eksisitensi Ahlul Bayt sebagai sebuah entitas yang diamanahkan Allah dan Rasul-Nya sebagai penjaga Islam sepanjang masa.
Dalam sebuah hadits (hadits tsaqolain) yang diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw bersabda agar pengikutnya berpegang teguh kepada dua perkara supaya tidak sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan Itrah (Ahlul Bayt/keturunannya). Dua perkara inilah yang menjadi penghubung antara Rasulullah dengan umatnya, sehingga mereka diwajibkan membaca shalawat untuk beliau dan keluarga keturunannya. Karena Ahlul Bayt diamanahkan sebagai benteng utama Islam oleh Allah dan Rasul-Nya dan ummat diperintahkan untuk mencintai, menghormati dan berpegang teguh kepadanya, maka sejak awal kebangkitan Islam para Itrah Rasul mendapat kehormatan dan kedudukan masyarakat Muslim dimanapun mereka datang, baik di Persia, Afrika, Mesir, India, Cina dan tentunya termasuk di alam Nusantara. Apalagi di sepanjang pulau pesisir pulau Sumatra sudah tumbuh perkampungan-perkampungan Arab ataupun Parsia sebelum kedatangan Islam, yang nantinya menjadi pendorong lahirnya Kerajaan Islam setelah kedatangan Islam yang dibawa para pedagang Muslim.
Ahli sejarah telah mencatat beberapa dinasti Kerajaan Ahlul Bayt Nusantara, baik di wilayah Sumatera, Semenanjung Melayu, Borneo-Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua sekarang. Ditengarai, generasi awal datang dari Persia sekitar akhir abad pertama Hijriah atau sekitar abad VII Masehi, yang mendirikan kerajaan di sekitar Acheh-Sumatra, yang menjadi cikal bakal Kerajaan Perlak dan Pasai. Jika diurut silsilah para Sultan di Nusantara, sebagian besar akan bertemu pada jalur Imam Ja’far Sadiq yang sampai kepada Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti Rasulullah saw, baik Maulana Abdul Aziz Syah (Perlak), Sultan Malik al-Shalih (Pasai), Mughayat Syah (Acheh), Syarif Hidayatullah (Banten), Sultan Wan Abdullah (Kelantan) dan lain-lainnya. Dan tidak diragukan, sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, diantara mereka senantiasa memelihara kekerabatan dan saling topang menopang dalam menegakkan Islam dalam sebuah jaringan Ahlul Bayt. Tokoh-tokoh Ahlul Bayt yang sudah memegang kekuasaan segera akan memberikan bantuan kepada yang lainnya.
Ketika Ahlul Bayt di Semenanjung Arabia tengah mendapat kesulitan pada zaman Maulana Muhammad bin Ja’far Shidiq, maka segera keluarga mereka yang sudah mapan meminta kedatangan mereka ke Perlak yang tengah membangun kekuatan baru di bawah pimpinan generasi yang lebih awal datang, dalam hal ini Syahri Nuwi anak daripada Pangeran Salman yang datang dari Persia, yang tidak diragukan memiliki hubungan kekerabatan dengan rombongan yang datang. Itulah sebabnya Syahri Nuwi menikahkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan Maulana Ali bin Muhammad bin Ja’far Shidiq. Perkawinan dua keluarga besar Ahlul Bayt ini telah melahirkan generasi baru, Maulana Abdul Aziz, yang dinobatkan menjadi Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, yang akhirnya menjadi pusat pergerakan
Islamisasi di Nusantara, sekaligus menjadi penghubung dengan dinasti-dinasti Ahlul Bayt di seluruh dunia.
Dan tidak diragukan bahwa perkembangan Kerajaan Perlak menjadi sebuah kota kosmopolitan baru di pesisir pulau Sumatra tidak lain disebabkan oleh kedatangan para pendukung Ahlul Bayt dari seluruh penjuru dunia untuk membesarkan Kerajaan Islam di Nusantara ini. Dengan segala kepakaran, pengetahuan, jaringan, logistik dan potensi lainnya yang mereka miliki, mereka curahkan untuk membangun sebuah pusat pergerakan baru bagi pertumbuhan Islam di Nusantara khususnya. Berbeda halnya dengan Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan lebih awal oleh para Ahlul Bayt secara sembunyi dan tidak diekspose, Kerajaan Perlak didirikan dengan kemegahan dan terang-terangan memberikan gelar Sayyid Maulana kepada Sultannya, sebagai sebuah proklamasi Kerajaan yang dipimpin Ahlul Bayt. Selanjutnya kegemilangan Kerajaan Islam Perlak dipimpin oleh Sultan keturunan dari Maulana Muhammad bin Ja’far Shadiq dan secara berganti dilanjutkan oleh keturunan dari Syahri Nuwi yang telah menggunakan gelar Makhdum, yang juga merupakan keluarga besar Ahlul Bayt.
Terkadang para peneliti sejarah Islam terjebak dalam kebingungan peristilahan ini, akibat ketidakfahaman mereka dengan jaringan keluarga Ahlul Bayt yang sangat mengutamakan kekerabatan dan silaturrahmi di kalangan mereka. Pergantian dari satu Sultan dengan Sultan lainnya adalah hal yang biasa dalam dinamika kekuasaan Ahlul Bayt yang mengutamakan kualitas personal pemimpinnya. Contoh nyata adalah bagaimana Syahri Nuwi rela menyerahkan kepemimpinan Kerajaan Perlak yang berkembang pesat kepada keponakannya, Maulana Abdul Aziz, dan setelah beberapa generasi Perlak dipimpin oleh keturunan Makhdum dari keluarga Syahri Nuwi kembali. Hal ini dinilai sebagai sebuah perebutan kekuasaan diantara para Sultan jika tidak dilihat dari sebuah perancangan besar dinasti Ahlul Bayt secara menyeluruh yang memiliki hirarki dan kepemimpinan spiritual sambung menyambung.
Kerajaan Perlak telah menjadi basis Islamisasi Nusantara pada zamannya yang berhasil mengirim para pendakwah dan pembimbing Islam ke penjuru Nusantara. Namun sejauh ini, Kerajaan Perlak belum berhasil secara totalitas mengsilamkan beberapa Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa yang menjadi penghalang utama Islamisasi Nusantara. Namun Kerajaan Islam Perlak telah berhasil membangun infrastruktur dan jaringan Islamisasi yang akan memudahkan Kerajaan Islam selanjutnya dalam mengislamisasikan Nusantara, sekaligus menghancurkan dominasi Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan sekitarnya. Pada saat bersamaan, telah tumbuh pula pusat-pusat bandar Islam berpotensi yang dikembangkan oleh para keturunan dinasti Ahlul Bayt terdahulu, diantaranya adalah Pasai, yang akan melanjutkan peranan Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat Islamisasi Nusantara.
7. Kerajaan Islam Pasai
Salah seorang keturunan dari Sultan Perlak, bernama Meurah Silu yang dikenal dengan Sultan Malik al-Salih (w.1297 M) kemudian mendirikan Kerajaan Islam Pasai, yang pada akhirnya menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak yang mulai menurun peranannya pada awal abad ke 13 Masehi. Di sini perlu diluruskan beberapa legenda yang menyatakan bahwa Meurah Silu bukan terlahir sebagai seorang Muslim, namun dia menganut Islam sesudah menjadi Raja Pasai. Realitas ini sungguh bertentangan dengan fakta sejarah, karena jelas silsilah Meurah Silu (Malik al-Salih) menyambung kepada keturunan Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti Muhammad saw. Dengan demikian jelas beliau adalah salah seorang Ahlul Bayt Nabi Muhammad yang memiliki hubungan dekat dengan para Sultan Kerajaan Perlak maupun Jeumpa yang menjadi penggerak Islamisasi Nusantara. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Sultan Malik al-Salih begitu tampil memimpin Kerajaan Pasai dan memproklamirkannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara menggantikan peranan Kerajaan Perlak.
Sebelumnya Pasai adalah sebuah perkampungan yang menjadi bandar transit bagi para pedagang yang menggunakan kapal layar dari negeri Arab menuju Cina ataupun sebaliknya. Namun dengan kemunculan Kerajaan Pasai pada awal abad 13 Masehi yang dipimpin Sultan Malik al-Salih, telah terjadi perubahan drastis dalam lalu lintas perdagangan di selat Malaka. Acheh yang dahulunya dikenal sebagai daerah penghubung, kini menjadi lebih aktif dalam perdagangan. Kerajaan Pasai menjadi pusat perdagangan dalam mengekspor hasil-hasil hutan dan pertanian. Komuditas Lada adalah diantara hasil pertanian yang sangat digemari oleh orang-orang Eropa, Arab dan Cina, yang telah menaikkan nama Kerajaan Pasai di seluruh dunia yang mendorong hadirnya saudagar-saudagar asing dari seluruh dunia. Berbagai kapal dagang dari seluruh dunia datang membawa bermacam-macam dagangan untuk diperjual-belikan di pelabuhan Pasai.
Di bawah kepemimpinan Sultan Malik al-Salih yang memiliki kemampuan besar kepemimpinan serta berpegang teguh pada ajaran Islam, Kerajaan Pasai berkembang pesat bukan hanya sebagai bandar pelabuhan yang mengimpor berbagai komuditas di kawasan Selat Malaka pada saat itu, namun beliau mendorong rakyatnya menguasai berbagai teknologi. Dan terbukti masyarakatnya tergolong memiliki teknologi yang maju, khususnya dalam teknologi pertanian. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai menjadi salah satu negeri pengekspor berbagai bentuk hasil pertanian, seperti lada, bawang, semangka, pisang, tebu, jeruk dan lain-lainnya.
Sepeninggal Sultan Malik al-Salih, Kerajaan Pasai berkembang dengan pesatnya di bawah kepemimpinan keturunan beliau yang tetap menjalankan kebijakan yang telah digariskan para pendahulunya, bahwa Pasai sebagai penggerak dan pusat Islamisasi Nusantara. Ibnu Batutah, seorang musafir dan peneliti sosial asal Maroko telah mengunjungi Kerajaan Pasai antara tahun 1345-1346 Masehi. Dia menyebutkan dalam catatannya bahwa kerajaan ini sudah maju dalam perdagangan; hubungan dagang telah diadakan secara luas dengan Tiongkok dan India. Sultan Malik al-Zahir, yang memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh lagi sangat taat kepada agama. Ia bermazhab Syafie dan sangat gemar mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah agama. Setiap hari jum’at ia pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Ibnu Batutah juga menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam kemakmuran dan kedamaian yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan acara pernikahan putra beliau yang menggambarkan kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai.
Perkembangan pesat Kerajaan Pasai yang telah mengantarkan kemakmuran dan kebesaran masyarakatnya, dan terutama kemampuannya sebagai pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara, telah menimbulkan hasud dan dengki kerajaan-kerajaan lainnya, terutama kerajaan Budha Thailand yang bekerjasama dengan kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang telah merancang penyerangan dan penghancuran Kerajaan Pasai dengan berbagai cara agar melemahkan semangat Islamisasi di Nusantara. Diantaranya adalah dengan menangkap salah seorang Sultannya dan ditawan di negeri Siam (Thailand). Demikian pula, pada pertengahan abad ke 14 Masehi Kerajaan Majapahit melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Pasai yang mendapat perlawanan hebat dari para mujahidin Pasai yang telah mendapat pendidikan kerohanian dari para Wali, sehingga banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak. Bahkan dikabarkan, Mahapatih Gadjah Mada yang memimpin penyerangan ke Pasai telah menjadi korban dan terbunuh ketika melarikan diri. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai tetap eksis dan bangkit kembali menjadi salah satu Kerajaan Islam yang terkuat di Nusantara.
Kemakmuran dan kebesaran Pasai dalam abad-abad berikutnya, bukan saja telah menjadikannya sebagai pusat penyebaran agama Islam dengan mengirimkan para muballigh ke tempat-tempat yang diperlukan, terutama ke Malaka, Jawa dan Patani. Tetapi juga sebagai pusat pengajian Islam di mana berkumpul berbagai ulama dan sarjana yang mengajar dan membahas masalah-masalah agama serta menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang muncul dan datang dari daerah-daerah sekitar Nusantara. Disebutkan dalam Sejarah Melayu bahwa seorang ulama sufi dari Mekkah, Syekh Abu Ishak telah menulis sebuah buku berjudul Durr al-Manzum, yang terdiri dari dua bab, pertama tetang zat Allah dan kedua tentang sifat Allah. Atas anjuran muridnya Maulana Abu Bakar, kitab tersebut ditambah bab ketiga tentang af’al Allah (perbuatan Allah). Kemudian Maulana Abu Bakar membawa kitab tersebut ke Sultan Malaka, Sultan Mansyur Syah. Sultan menerima kitab tersebut dengan upacara khusus kebesaran seperti menyambut tamu kehormatan Kerajaan. Selanjutnya kitab tersebut dikirim ke Pasai untuk diberi penjelasan lebih mendalam oleh seorang ulama Pasai bernama Makhdum Patakan. Pemahaman keislaman para Sultan, Ulama, Cendekiawan dan rakyat Pasai pada saat itu berkembang pesat, yang tidak hanya membahas aspek-aspek fiqih dan hukum semata, namun sudah mencapai pembahasan yang bersifat "esoterik" sebagaimana yang dibuktikan dengan beberapa jawaban Ulama Pasai bernama Makhdum Muda kepada Sultan Malaka yang telah mengutus Tun Bija Wangsa.
Kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Pasai akhirnya telah mengantarkannya sebagai pusat rujukan dan pengembangan pemikiran Islam Nusantara, tempat berkumpul para Ulama dan Cendekiawan membahas masalah-masalah keagamaan dan tentunya sebagai pusat pendidikan tingkat tinggi keislaman di Nusantara. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai dianggap oleh daerah-daerah lain di Nusantara sebagai pusat rujukan dan fatwa yang berwenang dalam menyelesaikan masalah-masalah agama. Hal ini memang sangat memungkinkan, sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah, bahwa di Kerajaan Pasai telah tinggal beberapa jenis Ulama dan Cendekiawan, seperti ahli hukum Islam, para penyair, para hukama (ahli filsafat) dan lain-lain.
Peran sentral Kerajaan Pasai sebagai motor penggerak Islamisasi di Nusantara, terutama menjelang abad ke 15 Masehi semakin menonjol, sehingga banyak menarik minat para Cendekiawan Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Di antara tokoh yang nantinya sangat berpengaruh dalam Islamisasi Nusantara, khususnya Islamisasi Jawa yang masih di bawah dominasi Kerajan Hindu-Budha, adalah Saiyid Hussein Jamadul Kubra dengan dua orang anaknya, Maulana Ishak dan Maulana Malik Ibrahim yang datang dari derah Samarkand, Parsia. Kedatangan tokoh-tokoh Ulama dan Cendekiawan besar dunia Islam, baik dari Yaman, Hadramaut, Maroko (Maghribi), Persia maupun India dan lain-lainnya, benar-benar telah menjadikan Pasai sebagai poros baru peradaban Islam, khususnya dalam pengembangan pemikiran keislaman atau selanjutnya berperan dalam melahirkan gerakan-gerakan seperti Wali Songo yang telah mengislamkan tanah Jawa.
Bersambung ke Bhg 4(akhir) seterusnya...
No comments:
Post a Comment