Artikel Pilihan :
Tajuk : Sejarah Keagungan Bangsa Acheh - Bhg 1
Oleh:
Al-Ustadz Hilmy Bakar Hasany Almascaty
Chairman The Acheh Renaissance Movement
President Acheh Red Crescent (Hilal Ahmar Asyi)
Sumber ; http://www.acehforum.or.id/sejarah-agung-bangsa-t21883.html
1. Pendahuluan dan Latar Belakang
Allah SWT di dalam al-Qur’an telah memperingatkan kaum Muslim akan tindakan orang-orang kafir dan munafik yang tidak akan berhenti memerangi dan mendatangkan fitnah sehingga mereka mau mengikuti ajaran atau millah, pola hidup, pandangan orang-orang kafir. Dengan berbagai tipu daya, kafir dan munafik akan berusaha mengkerdilkan, mendiskreditkan bahkan membalik fakta dengan berbagai teori yang mereka rekayasa agar kaum Muslim asing dengan dirinya atau nenek moyang serta tradisi dan sejarah keagungan mereka. Coba kita membaca kembali sejarah Islam di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan sejarah perkembangan Islam di Acheh. Sejak sekolah menengah sampai ke perguruan tinggi kita selalu dihadapkan dengan pengkaburan, penyesatan bahkan penipuan demi penipuan yang dilakukan oleh para orientalis kafir dari Spanyol, Pertugis, Belanda dan lainnya yang diikuti oleh antek-anteknya.
Kaum kafir dan antek-anteknya sangat faham akan pentingnya sejarah bagi sebuah bangsa. Sejarah adalah ibarat nenek moyang bagi seorang manusia, jika tidak mengetahui siapa dan bagaimana nenek moyangnya, maka anak manusia inipun akan kehilangan jati dirinya. Itulah sebabnya Islam menganjurkan agar para pengikutnya mengetahui nasab mereka dan mentauladani perjuangan agung nenek moyang mereka, sebagaimana Muhammad Rasulullah yang selalu bangga dengan nenek moyang beliau Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang menjadi bapak bangsa Arab yang telah berhasil menggerakkan pembebasan dan pembangunan peradaban dunia dengan Islam. Maka alangkah naifnya, jika sebuah bangsa tidak mengetahui atau keliru tentang asal usul dan sejarah mereka.
Inilah yang telah dilakukan para bangsa penjajah, baik Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda dan penjajah-penjajah kafir lainnya. Setelah mereka menjajah sebuah bangsa, maka sejarah bangsa itu akan dihilangkan, dikaburkan dan dimanipulasi, sehingga generasi muda terpisah dengan sejarah dan tradisi nenek moyang mereka dengan segala keagungannya. Pada saat yang sama si penjajah menggantikan dengan sejarah yang mereka rekayasa, dengan maksud agar anak bangsa ini merasa rendah diri dan senantiasa mengangungkan penjajahnya. Itulah sebabnya peninggalan peradaban bangsa-bangsa Muslim yang menunjukkan keagungannya diboyong ke negaranya atau dimusnahkan agar tidak dapat dikenali lagi oleh generasi muda. Akibatnya generasi muda bangsa terjajah inipun tidak mengenal lagi keagungan tradisi dan peradaban mereka dan akhirnya tidak menimbulkan kebanggaan sebagai pewaris peradaban bangsanya.
Keagungan sejarah dan peradaban kaum Muslimin Nusantara yang telah berkembang pesat dalam bentuk pemikiran, budaya, seni, pengetahuan serta teknologi dinisbikan. Kaum Muslim sebelum kedatangan imperialis kolonialis kafir ini digambarkan sebagai sebuah bangsa primitif yang bar-bar, bertelanjang seperti orang Papua pake koteka dan perempuan kelihatan teteknya, yang kadang-kadang disorongkannya kepada babi peliharannya untuk menetek bersama anaknya. Bangsa Muslim yang sudah kosmopolit dan berhubungan dengan pusat peradaban di Mesir, Parsia ataupun Cina ini digambarkan sebagai bangsa sejenis monyet yang mereka juluki sebagai bangsa moor, yang masih melekat sampai saat ini kepada Muslim di Mindanau sebagai bangsa Moro. Seakan-akan kedatangan mereka yang menindas dan serakahlah yang telah menjadikan bangsa Muslim ini maju, padahal kenyataannya merekalah yang telah menghancurkan peradaban, memecah belah, mengadu domba, mengeksploitasi alamnya, memperbudak dan membodohi masyarakatnya, yang telah mengantarkan bangsa Muslim kembali pada titik terendah peradabannya.
Hal inilah yang telah dilakukan penjajah kafir terhadap bangsa-bangsa Muslim di Asia Tenggara, terutama di Acheh. Karena dibandingkan dengan bangsa-bangsa Muslim Melayu lainnya, Acheh adalah pusat Islamisasi terawal di kawasan ini, dan menjadi bangsa Muslim pertama yang memerangi penjajah kafir dan antek-anteknya dengan semangat jihad fie sabilillah, menjadi benteng utama pertahanan Islam yang tidak pernah ditaklukkan penjajah kafir dan mampu mempertahankan wilayah kekuasannya dengan perjuangan yang penuh herois, sehingga mendatangkan kerugian yang besar kepada penjajah Belanda kafir sebagaimana dinyatakan petinggi Belanda Paul Van ’t Veer, dalam De Acheh Oorlog; "Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih daripada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda"
Para ahli sejarah, terutama yang selalu mengutip pendapat intelektual penjajah kafir, dan ironisnya menjadi materi pada literatur resmi pemerintah sejak sekolah menengah sampai perguruan tinggi, menyatakan bahwa Islam mulai berkembang di Nusantara pada abad ke 12an Masehi dan Kerajaan Pasai yang berdiri pada awal abad ke 13 M dinyatakan sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara berdasarkan catatan perjalanan Marcopolo atau Ibnu Batutah. Meurah Silu yang terkenal dengan Sultan Malikus Salih digambarkan sebagai seorang muallaf yang baru masuk Islam setelah berkuasa, padahal silsilah beliau membuktikan bahwa nenek moyangnya berhubungan dengan keturunan Rasulullah melalui Imam Ja’far Shadiq. Tindakan pengkaburan ini dilanjutkan dengan pernyataan bahwa Kerajaan Jeumpa (Champa) yang terkenal sebagai pusat Islamisasi awal di Nusantara berada di Komboja dan tidak memiliki hubungan historis dengan Kerajaan Islam Acheh Darussalam, Kerajaan Islam Pasai ataupun Kerajaan Islam Perlak yang selanjutnya berperan sebagai pusat utama Islamisasi di alam Melayu Nusantara, termasuk Jawa. Padahal bukti-bukti menyatakan bahwa Kerajaan Jeumpa (Champa) sebagaimana dinyatakan Raffless berada di Acheh, atau di sekitar daerah Peudada kabupaten Bireuen saat ini.
Maka untuk mencapai sebuah renaisans, kebangkitan kembali Acheh dengan segala keagungan dan kegemilangannya, sejarah muram Acheh yang dicitrakan para penjajah dan antek-anteknya harus didekonstruksi, dihancurkan berkeping-keping menjadi serpihan-serpihan yang akan dianalisis bagian demi bagian secara detil. Dari hasil dekonstruksi inilah, sejarah Acheh direkonstruksi, dibangun kembali bagian demi bagiannya sebagaimana citra sebenarnya agar dapat menjadi spirit kebangkitan kembali yang dicita-citakan. Deconstruction for reconstruction.
2. Dekonstruksi Kegemilangan Acheh Pra-Islam
Para kolonialis Barat dengan segala ambisinya sebagai penjajah telah merancang berbagai strategi untuk tetap menjadikan bangsa jajahannya sebagai masyarakat yang bodoh, tertinggal dan tidak memiliki harkat dan martabat. Salah satu cara efektif yang dilakukannya adalah dengan memotong sejarah peradaban bangsa yang dijajahnya. Peninggalan-peninggalan agung nenek moyang mereka dibawa kabur, dirampok bahkan dihancurkan agar generasi muda tidak memiliki jati diri lagi. Itulah sebabnya bangsa-bangsa penjajah, baik Inggris, Pertogis maupun Belanda telah membawa semua bukti peninggalan kegemilangan Islam Nusantara ke Eropa dengan alasan pengembangan pengetahuan.
Selanjutnya mereka menjalankan politik belah bambu dan pecah belah lalu menguasai. Sebagaimana yang mereka telah lakukan di Nusantara. Bangsa Muslim Nusantara dipecah belah dengan pendekatan kesukuan dengan meniupkan fanatisme jahiliyah menggantikan ghirah Islamiyah. Bangsa yang tidak mau takluk dibawah jajahannya, diadu domba dengan saudaranya, seperti penjajah kaphe ini mengadu domba bangsa Padang dengan bangsa Acheh yang sama-sama diketahui sebagai pilar Islam Nusantara. Bangsa Padang direkrut menjadi tentara Belanda yang terkenal dengan Pasukan Marsose, lalu mereka diperintahkan untuk memerangi bangsa Acheh yang tidak mau tunduk kepada penjajah. Terjadilah pertumpahan darah sesama Muslim, yang satu menjadi antek kaphe Belanda dan yang satu sebagai pejuang yang berjihad melawan kezaliman Belanda. Berapa banyak mujahidien fie sabilillah di Acheh yang dibantai pasukan Marsose yang didirikan oleh antek Belanda Muhammad Syarief, tokoh Padang yang akhirnya mendapat medali penghargaan tertinggi dari Ratu Belanda karena berhasil membantai saudara Muslimnya di Acheh.
Masyarakat Nusantara yang sudah tumbuh berkembang dengan keagungan peradabannya sejak beribu-ribu tahun lalu, digambarkan oleh para sejarawan kolonial sebagai sebuah bangsa bar-bar, nomaden, seperti keadaan orang-orang Papua di Lembah Baliem saat ini, yang telanjang dan tinggal di pohon-pohon. Padahal kenyataannya sangat jauh berbeda. Karena masyarakat Nusantara adalah salah satu rumpun bangsa tua yang telah berhasil membangun sebuah entitas budaya dan peradabannya sendiri, sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Dari penemuan peninggalan-peninggalan situs sejarah dan benda-benda yang menyertainya dapat diketahui bahwa di Acheh pernah tumbuh berkembang sebuah peradaban yang digerakkan oleh Raja dari Kerajaan-Kerajaan Hindu seperti Kerajaan Indra Pura, Indra Purba, Indra Patra dan lain-lainnya.
Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah ini dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemeus menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, atau ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Sumatera mencari emas, kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Para pedagang Nusantara sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.
Dalam kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Raja Solomon, raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang berada dibawah kekuasaannya. Emas didapatkan dari negeri Ophir. Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke "tanah yang Kami berkati atasnya" (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera.(Sangtawal: ada pendapat yang menyatakan ianya di Gunung Ledang !) Kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemeus pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan asumsi bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya King Solomon.
Perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut "jalur sutra" (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Acheh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan .
Ini artinya peradaban Acheh adalah diantara peradaban tua di wilayah Nusantara. Namun belum banyak bukti yang dapat dikemukakan tentang kegemilangan masa lalu peradaban Acheh, yang menurut beberapa penelitian para ahli disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (i) belum diadakannya menggalian terhadap situs sejarah purba secara serius dan menyeluruh akibat pertimbangan politik ataupun konflik berkepanjangan (ii) hilangnya situs-situs penting, terutama dipinggir laut akibat terjadinya beberapa kali gelombang tsunami, sebagaimana tsunami 26 Desember 2004 lalu yang menghancurkan kota-kota purba Acheh yang umumnya dipinggir pantai yang berhadapan langsung dengan tsunami (iii) adalah menjadi tradisi sebagian masyarakat Acheh untuk memusnahkan peninggalan sejarah apabila sudah tidak dikehendaki penguasanya, contoh terdekat adalah pembakaran buku-buku ilmiyah karya Hamzah Fansuri dan ulama aliran Wujudiyah di depan Masjid Baiturrahman atas perintah Sultan Iskandar Tsani berdasarkan fatwa Syekh Nuruddin al-Raniri, atau pembakaran Istana Super Megah yang didirikan Sultan Iskandar Muda, Darud Dunya akibat terjadinya pemberontakan pada masa Sultanah Inayat Syah. Dan terakhir adalah bumi hangus Istana pada zaman Sultan Muhammad Daud Syah agar jangan sampai dikuasai penjajah Belanda.
Keadaan revolusioner dan dinamis yang terjadi di Acheh dari waktu ke waktu sepanjang 500 tahun terakhir telah memecah konsentrasi para pemimpin dan cendekiawan Acheh dalam memelihara peninggalan sejarahnya sehingga banyak yang terbengkalai, hilang, musnah bahkan sengaja dihilangkan dengan alasan keamanan. Penulis beberapa kali mendapatkan alasan ketakutan nara sumber yang memiliki peninggalan berharga berupa manuskrip penting, karena jika diketahui aparat akan diambil dan mereka dituduh sebagai pemberontak atau sparatis. Akibatnya banyak manuskrip-manuskrip penting peninggalan peradaban Acheh tertanam atau hilang.
Namun demikian, dari sumber-sumber sekunder dapat diketahui kembali, walaupun masih tingkat awal mula, tentang sejarah kegemilangan Acheh, terutama pada masa pra-Islam. Data-data tersebut sangat penting untuk mengetahui sejauh mana tingkat peradaban dan pengetahuan masyarakat Acheh pra-Islam, baik zaman pra-Hindu-Budha ataupun sebelumnya. Mengingat letak geografi Acheh yang strategis sebagai laluan dalam perjalanan menuju pulau Jawa atau Timur Jauh lainnya dari sumber peradaban tua umat manusia, baik di sekitar Asia Tengah, Timur Tengah ataupun Afrika. Karena di Jawa atau Kalimantan banyak ditemukan peradaban manusia yang telah berusia ratusan ribu tahun.
Dari sumber-sumber sekunder, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ternyata Acheh memiliki peranan penting dalam sejarah peradaban manusia. Salah satu bukti otentik yang tidak diragukan adalah perjalanan kapur Barus yang telah menembus peradaban Yunani, Rumawi sampai Mesir klasik. Produk unggulan Barus-Acheh ini telah menjadi komuditas primadona dunia yang tinggi nilainya, sehingga megantarkan Acheh sebagai salah satu bagian dari kegemilangan dan ketinggian peradaban klasik pra-Islam. Tentunya kedatangan manusia-manusia modern pada zaman itu ke Acheh telah membawa perubahan pada pengetahuan dan kebiasaan masyarakat, sebagaimana pengaruh kedatangan para relawan asing manca negara saat ini ke Acheh yang membawa berbagai bentuk pengetahuan, ilmu, budaya dan peradaban yang mempengaruhi pola hidup masyarakat. Kedatangan mereka sudah pasti akan membawa kemajuan dan kemakmuran kepada masyarakat Acheh, dan tidak diragukan bahwa kemakmuran akan mengantarkan kegemilangan peradaban umat manusia seperti apa yang dialami negara-negara maju seperti Amerika, Eropa maupun Jepang, India dan Cina saat ini.
Kegemilangan masyarakat Acheh yang telah berkembang pesat sebelum kedatangan Islam dengan pencapaian-pencapaian peradabannya telah memudahkan para pembawa Islam untuk memajukannya secara maksimal. Karena lebih mudah mengajarkan Islam yang sempurna dan menyeluruh kepada orang-orang yang berperadaban, berpengatahuan dan menggunakan akalnya untuk berfikir. Itulah sebabnya, saat ini para pendakwah kita lebih mudah menyebarkan Islam kepada masyarakat modern di Amerika, Eropa ataupun Jepang dari pada masyarakat di pedalaman Papua atau Kalimantan yang masih hidup telanjang dan jauh dari peradaban. Sebagaimana tersebar cerita dikalangan pendakwah, jika di Eropa orang-orang bule cerdik-pandai berlomba-lomba meninggalkan gereja dan masuk Islam karena alasan rasional dan sesuai dengan perkembangan zaman, tapi di negeri ini orang-orang bodoh dan tolol bisa diajak masuk gereja karena sebungkus super mie. Sungguh benar sabda Rasul, kebodohan akan membawa kemiskinan dan kemiskinan akan menjadikan orang mudah kepada kekafiran.
Masuknya Islam telah mengantarkan masyarakat Acheh sebagai bagian dari pergerakan internasional pembebasan umat manusia dari belenggu kegelapan yang membawanya sebagai masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-nilai keuniversalan dan keagungan Islam. Dalam Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin telah menggambarkan bagaimana tingginya pengetahuan dan pemikiran masyarakat Acheh, baik di kalangan para sultan, pejabat negara sampai kepada masyarakat umum sehingga banyak ulama yang datang ke Acheh harus kembali belajar agar cukup pengetahuannya untuk mengajar di tengah masyarakat Acheh yang kosmopolit masa itu. Itulah sebabnya para pemuka Islam menjuluki Acheh sebagai "Serambi Mekkah", sebagai satu-satunya serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna sebenarnya adalah karena Acheh telah menjadi pusat rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara.
Tradisi dan peradaban, terutama pemikiran Islam di Acheh sudah berkembang pesat dan bahkan para ulama dan cerdik pandainya memiliki kaliber yang sederajad dengan para ulama Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini dapat dilihat pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama Hijaz di Mekkah atas kepemimpinan wanita selama lebih 50 tahun pemerintahan 4 orang Sultanah Acheh atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-Adhil, Syekh Abdul Rauf al-Singkili (Maulana Syiah Kuala). Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad beliau yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan luas terhadap ajaran Islam. Setiap utusan Syarief Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan fatwanya sehingga hujjahnya tak terpatahkan. Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti Mekkah mengeluarkan fatwa yang memakzulkan (memberhentikan) Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada 1699 dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin negara.
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw telah berkata: "Sebaik-baik kamu pada zaman jahiliyah, akan menjadi sebaik-baik manusia setelah memeluk Islam". Ini adalah sebuah ungkapan yang telah menjadi kenyataan dalam sejarah kegemilangan Islam yang telah dipimpin Rasulullah saw. Pada zaman pra-Islam, banyak sekali tokoh-tokoh berpotensi, seperti Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid yang secara terang-terangan menentang Islam pada awal perkembangannya. Umar sendiri sempat mau membunuh Nabi Muhammad karena dianggapnya sebagai sumber perpecahan masyarakat Mekkah, namun akhirnya masuk Islam setelah membaca lembaran al-Qur’an yang dirampasnya dari adiknya yang sudah lebih dahulu masuk Islam. Setelah memeluk Islam, Umar adalah salah seorang pembela Islam yang berani dan telah menjadi Khalifah yang menyebarkan Islam ke seluruh pelosok dunia. Demikian pula dengan Khalid yang sempat memimpin kaum musyrikin melawan Nabi Muhammad sehingga kaum Muslim mengalami kekalahan di perang Uhud. Namun setelah Khalid masuk Islam, akhirnya dia digelar dengan "Pedang Allah" yang telah menumbangkan kekuasaan-kekuasaan besar seperti Romawi dan Parsia.
Masyarakat Arab sendiri sebelum kedatangan Islam adalah masyarakat yang terbelakang dari segi peradaban dan pengetahuan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya, baik Mesir, Rumawi ataupun Persia. Bahkan al-Qur’an sendiri menyebut masyarakat Arab di sekitar Mekkah sebagai Ummiyun, masyarakat yang tidak memiliki peradaban dan kekuasaan. Dalam sejarah disebutkan bahwa masyarakat Arab di sekitar Mekkah jika terjadi musim kemarau panjang, mereka terkadang menjadi pengungsi dan pengemis di sekitar Kerajaan-kerajaan besar seperti Mesir, Habsyah ataupun Parsia. Masyarakat Arab pra-Islam digambarkan sebagai sebuah suku bangsa kecil yang terpecah belah, miskin lagi terbelakang dengan hidup yang berpindah-pindah. Namun berkat Islam, bangsa yang kecil dan tidak diperhitungkan ini, dalam waktu kurang dari 30 tahun sejak kebangkitan Nabi Muhammad, telah menjadi sebuah bangsa besar yang menggetarkan semua super power, dan akhirnya sejarah membuktikan bahwa semua super power itu tunduk kepada masyarakat ummy yang telah mendapatkan pencerahan dan kekuatan spiritualitas dari keagungan nilai-nilai Islam. Selanjutnya umat Islam menjadi mercusuar peradaban manusia, yang menghubungkan peradaban klasik paganis menjadi peradaban modern rasionalis.
Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Acheh. Jika sebelum Islam mereka adalah sebuah bangsa yang sudah berperadaban maju, maka kedatangan Islam akan mendorong lebih kencang kemajuan dan pencapaian peradaban mereka sebagaimana dicatat sejarah. Jika sebelum Islam masyarakat Acheh hanya sebuah kerajaan-kerajaan kecil dibawah perlindungan Kerajaan Hindu seperti Sriwijaya, maka setelah Islam datang menyinari masyarakat Acheh, mereka bangkit menjadi sebuah kekuatan baru yang pada akhirnya menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara. Termasuk menjadi sebab utama tumbang dan lenyapnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, baik di Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua serta sampai di Sulu dan Mindanao yang telah mapan selama ribuan tahun. Pusat Islamisasi Nusantara Acheh digerakkan oleh Kerajaan-Kerajaan Islam silih berganti yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Dimulai dari berdirinya Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 777 M oleh Sasaniah Salman, yang dilanjutkan perannya oleh Kerajaan Islam Perlak tahun 805 M yang didirikan anak Raja Islam Jeumpa bernama Meurah Syahr Nawi dikembangkan keponakannya Maulana Abdul Aziz Syah dan keturunannya, disambung oleh Kerajaan Pasai pada abad XII yang didirikan keturunan Raja Jeumpa dan Perlak bernama Meurah Silu atau Sultan Malik al-Salih. dan seterusnya yang mulai mendapat kegemilangan pada masa Kerajaan Acheh Darussalam yang menggabungkan semua Kerajaan Islam Acheh, menggapai puncaknya keagungannya pada zaman Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636 M yang menguasai seluruh pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya serta menjadi pelindung Kerajaan-Kerajaan Islam lainnya, baik di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku sampai Sulu-Mindanao.
Demikian pula para Sultan Acheh ikut berperan aktif mendirikan Kerajaan Islam Jawa terbesar, baik Demak, Mataram maupun Banten. Kerajaan Islam Perlak dan Pasai secara teratur dan berkala telah mengirimkan para pendakwah Islam ke tanah Jawa yang digerakkan oleh para ulama keturunan Nabi Muhammad silih berganti. Yang paling terkenal adalah sebuah gerakan Islamisasi dengan nama Wali Sembilan atau Wali Songo yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi) bersama beberapa keluarga dekat dan keponakannya seperti Sunan Ampel, Sunan Drajad, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan lainnya yang memiliki satu jalur keturunan dan bermuara pada Imam Ja’far Sadiq. Penaklukan mereka terhadap Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang dominan masa itu, tidak dilakukan secara perang konfrontatif mengingat kuatnya Majapahit. Penyebaran Islam dilakukan melalui jalur perdagangan, perubahan sosial-budaya, pendidikan, dakwah dan yang paling strategis melalui jalur perkawinan.
Wali Songo mengawinkan Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V dengan kader muslimah terbaiknya yang dikenal dengan nama "Puteri Champa", gadis cantik jelita dan cerdas, seorang Puteri Kerajaan Islam Jeumpa Acheh yang juga masih keponakan dari Sunan Ampel, yang ketika itu telah membuka lembaga kaderisasi dan pendidikan di Ampel Surabaya. Dari perkawinan ini lahirlah seorang putera bernama Raden Fatah, yang sejak kecil sudah diungsikan dari Istana Majapahit dan mendapat pendidikan langsung para Wali Songo, dan dibesarkan dalam lingkungan pendidikan Sunan Ampel. Ketika dewasa, Raden Fatah diangkat menjadi penguasa lokal di Demak, Jawa Tengah. Setelah menggalang kekuatan dan mendapat dukungan meluas, Wali Songo memproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Demak dan mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan. Sejak saat itu, dimulailah penaklukan demi penaklukan yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan mulai berdiri Kesultanan-Kesultanan Islam. Sementara Syarief Hidayatullah, tidak diragukan berasal dari keturunan keluarga besar Kesultanan Perlak-Pasai yang telah telah mendirikan Kesultanan Banten di Jawa bagian Barat.
Pemikir Islam kontemporer Ismail R. Faruqi. menjuluki muslim nusantara, para pejuang Acheh sebagai "One of the oldest and bloodiest struggle of the Muslims have waged against Christian-Colonialist aggression". Salah satu rumpun bangsa yang paling pertama dan paling berdarah diantara bangsa Muslim dalam menentang agresi kaum Kristen-Kolonialis. Karena realitas sejarah membuktikan hampir 500 tahun lebih masyarakat Muslim Acheh dibawah kepemimpinan para Sultan berperang silih berganti melawan kaum Imprialis-Kolonialis "kaphe" yang hendak menjajah Acheh dan menghilangkan dominasi Islam. Dengan gagah perkasa dan senjata apa adanya mereka bangkit berjihad fie sabilillah melawan tentara-tentara Salib dari Portugis maupun Belanda yang telah memiliki persenjataan modern pada masa itu.
Akhirnya, sejarah kemanusiaan harus mengakui, Acheh dengan segala kegemilangan sejarah peradabannya sejak dahulu kala telah melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia pada bidangnya masing-masing yang tercatat dalam tinta emas sejarah umat manusia. Nama-nama besar dari Acheh telah menghiasi perjalanan sejarah umat manusia, diantaranya seperti Syahriansyah Salman, Syahri Nuwi, Sultan Malikus Saleh, Sultan Iskandar Muda, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry, Ratu Safiatuddin, Maulana Syiah Kuala, Laksamana Malahayati, Tgk. Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien dan lain-lainnya
Tajuk : Sejarah Keagungan Bangsa Acheh - Bhg 1
Oleh:
Al-Ustadz Hilmy Bakar Hasany Almascaty
Chairman The Acheh Renaissance Movement
President Acheh Red Crescent (Hilal Ahmar Asyi)
Sumber ; http://www.acehforum.or.id/sejarah-agung-bangsa-t21883.html
1. Pendahuluan dan Latar Belakang
Allah SWT di dalam al-Qur’an telah memperingatkan kaum Muslim akan tindakan orang-orang kafir dan munafik yang tidak akan berhenti memerangi dan mendatangkan fitnah sehingga mereka mau mengikuti ajaran atau millah, pola hidup, pandangan orang-orang kafir. Dengan berbagai tipu daya, kafir dan munafik akan berusaha mengkerdilkan, mendiskreditkan bahkan membalik fakta dengan berbagai teori yang mereka rekayasa agar kaum Muslim asing dengan dirinya atau nenek moyang serta tradisi dan sejarah keagungan mereka. Coba kita membaca kembali sejarah Islam di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan sejarah perkembangan Islam di Acheh. Sejak sekolah menengah sampai ke perguruan tinggi kita selalu dihadapkan dengan pengkaburan, penyesatan bahkan penipuan demi penipuan yang dilakukan oleh para orientalis kafir dari Spanyol, Pertugis, Belanda dan lainnya yang diikuti oleh antek-anteknya.
Kaum kafir dan antek-anteknya sangat faham akan pentingnya sejarah bagi sebuah bangsa. Sejarah adalah ibarat nenek moyang bagi seorang manusia, jika tidak mengetahui siapa dan bagaimana nenek moyangnya, maka anak manusia inipun akan kehilangan jati dirinya. Itulah sebabnya Islam menganjurkan agar para pengikutnya mengetahui nasab mereka dan mentauladani perjuangan agung nenek moyang mereka, sebagaimana Muhammad Rasulullah yang selalu bangga dengan nenek moyang beliau Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as yang menjadi bapak bangsa Arab yang telah berhasil menggerakkan pembebasan dan pembangunan peradaban dunia dengan Islam. Maka alangkah naifnya, jika sebuah bangsa tidak mengetahui atau keliru tentang asal usul dan sejarah mereka.
Inilah yang telah dilakukan para bangsa penjajah, baik Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda dan penjajah-penjajah kafir lainnya. Setelah mereka menjajah sebuah bangsa, maka sejarah bangsa itu akan dihilangkan, dikaburkan dan dimanipulasi, sehingga generasi muda terpisah dengan sejarah dan tradisi nenek moyang mereka dengan segala keagungannya. Pada saat yang sama si penjajah menggantikan dengan sejarah yang mereka rekayasa, dengan maksud agar anak bangsa ini merasa rendah diri dan senantiasa mengangungkan penjajahnya. Itulah sebabnya peninggalan peradaban bangsa-bangsa Muslim yang menunjukkan keagungannya diboyong ke negaranya atau dimusnahkan agar tidak dapat dikenali lagi oleh generasi muda. Akibatnya generasi muda bangsa terjajah inipun tidak mengenal lagi keagungan tradisi dan peradaban mereka dan akhirnya tidak menimbulkan kebanggaan sebagai pewaris peradaban bangsanya.
Keagungan sejarah dan peradaban kaum Muslimin Nusantara yang telah berkembang pesat dalam bentuk pemikiran, budaya, seni, pengetahuan serta teknologi dinisbikan. Kaum Muslim sebelum kedatangan imperialis kolonialis kafir ini digambarkan sebagai sebuah bangsa primitif yang bar-bar, bertelanjang seperti orang Papua pake koteka dan perempuan kelihatan teteknya, yang kadang-kadang disorongkannya kepada babi peliharannya untuk menetek bersama anaknya. Bangsa Muslim yang sudah kosmopolit dan berhubungan dengan pusat peradaban di Mesir, Parsia ataupun Cina ini digambarkan sebagai bangsa sejenis monyet yang mereka juluki sebagai bangsa moor, yang masih melekat sampai saat ini kepada Muslim di Mindanau sebagai bangsa Moro. Seakan-akan kedatangan mereka yang menindas dan serakahlah yang telah menjadikan bangsa Muslim ini maju, padahal kenyataannya merekalah yang telah menghancurkan peradaban, memecah belah, mengadu domba, mengeksploitasi alamnya, memperbudak dan membodohi masyarakatnya, yang telah mengantarkan bangsa Muslim kembali pada titik terendah peradabannya.
Hal inilah yang telah dilakukan penjajah kafir terhadap bangsa-bangsa Muslim di Asia Tenggara, terutama di Acheh. Karena dibandingkan dengan bangsa-bangsa Muslim Melayu lainnya, Acheh adalah pusat Islamisasi terawal di kawasan ini, dan menjadi bangsa Muslim pertama yang memerangi penjajah kafir dan antek-anteknya dengan semangat jihad fie sabilillah, menjadi benteng utama pertahanan Islam yang tidak pernah ditaklukkan penjajah kafir dan mampu mempertahankan wilayah kekuasannya dengan perjuangan yang penuh herois, sehingga mendatangkan kerugian yang besar kepada penjajah Belanda kafir sebagaimana dinyatakan petinggi Belanda Paul Van ’t Veer, dalam De Acheh Oorlog; "Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Acheh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun. Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda. Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Acheh itu lebih daripada hanya pertikaian militer: selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda"
Para ahli sejarah, terutama yang selalu mengutip pendapat intelektual penjajah kafir, dan ironisnya menjadi materi pada literatur resmi pemerintah sejak sekolah menengah sampai perguruan tinggi, menyatakan bahwa Islam mulai berkembang di Nusantara pada abad ke 12an Masehi dan Kerajaan Pasai yang berdiri pada awal abad ke 13 M dinyatakan sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara berdasarkan catatan perjalanan Marcopolo atau Ibnu Batutah. Meurah Silu yang terkenal dengan Sultan Malikus Salih digambarkan sebagai seorang muallaf yang baru masuk Islam setelah berkuasa, padahal silsilah beliau membuktikan bahwa nenek moyangnya berhubungan dengan keturunan Rasulullah melalui Imam Ja’far Shadiq. Tindakan pengkaburan ini dilanjutkan dengan pernyataan bahwa Kerajaan Jeumpa (Champa) yang terkenal sebagai pusat Islamisasi awal di Nusantara berada di Komboja dan tidak memiliki hubungan historis dengan Kerajaan Islam Acheh Darussalam, Kerajaan Islam Pasai ataupun Kerajaan Islam Perlak yang selanjutnya berperan sebagai pusat utama Islamisasi di alam Melayu Nusantara, termasuk Jawa. Padahal bukti-bukti menyatakan bahwa Kerajaan Jeumpa (Champa) sebagaimana dinyatakan Raffless berada di Acheh, atau di sekitar daerah Peudada kabupaten Bireuen saat ini.
Maka untuk mencapai sebuah renaisans, kebangkitan kembali Acheh dengan segala keagungan dan kegemilangannya, sejarah muram Acheh yang dicitrakan para penjajah dan antek-anteknya harus didekonstruksi, dihancurkan berkeping-keping menjadi serpihan-serpihan yang akan dianalisis bagian demi bagian secara detil. Dari hasil dekonstruksi inilah, sejarah Acheh direkonstruksi, dibangun kembali bagian demi bagiannya sebagaimana citra sebenarnya agar dapat menjadi spirit kebangkitan kembali yang dicita-citakan. Deconstruction for reconstruction.
2. Dekonstruksi Kegemilangan Acheh Pra-Islam
Para kolonialis Barat dengan segala ambisinya sebagai penjajah telah merancang berbagai strategi untuk tetap menjadikan bangsa jajahannya sebagai masyarakat yang bodoh, tertinggal dan tidak memiliki harkat dan martabat. Salah satu cara efektif yang dilakukannya adalah dengan memotong sejarah peradaban bangsa yang dijajahnya. Peninggalan-peninggalan agung nenek moyang mereka dibawa kabur, dirampok bahkan dihancurkan agar generasi muda tidak memiliki jati diri lagi. Itulah sebabnya bangsa-bangsa penjajah, baik Inggris, Pertogis maupun Belanda telah membawa semua bukti peninggalan kegemilangan Islam Nusantara ke Eropa dengan alasan pengembangan pengetahuan.
Selanjutnya mereka menjalankan politik belah bambu dan pecah belah lalu menguasai. Sebagaimana yang mereka telah lakukan di Nusantara. Bangsa Muslim Nusantara dipecah belah dengan pendekatan kesukuan dengan meniupkan fanatisme jahiliyah menggantikan ghirah Islamiyah. Bangsa yang tidak mau takluk dibawah jajahannya, diadu domba dengan saudaranya, seperti penjajah kaphe ini mengadu domba bangsa Padang dengan bangsa Acheh yang sama-sama diketahui sebagai pilar Islam Nusantara. Bangsa Padang direkrut menjadi tentara Belanda yang terkenal dengan Pasukan Marsose, lalu mereka diperintahkan untuk memerangi bangsa Acheh yang tidak mau tunduk kepada penjajah. Terjadilah pertumpahan darah sesama Muslim, yang satu menjadi antek kaphe Belanda dan yang satu sebagai pejuang yang berjihad melawan kezaliman Belanda. Berapa banyak mujahidien fie sabilillah di Acheh yang dibantai pasukan Marsose yang didirikan oleh antek Belanda Muhammad Syarief, tokoh Padang yang akhirnya mendapat medali penghargaan tertinggi dari Ratu Belanda karena berhasil membantai saudara Muslimnya di Acheh.
Masyarakat Nusantara yang sudah tumbuh berkembang dengan keagungan peradabannya sejak beribu-ribu tahun lalu, digambarkan oleh para sejarawan kolonial sebagai sebuah bangsa bar-bar, nomaden, seperti keadaan orang-orang Papua di Lembah Baliem saat ini, yang telanjang dan tinggal di pohon-pohon. Padahal kenyataannya sangat jauh berbeda. Karena masyarakat Nusantara adalah salah satu rumpun bangsa tua yang telah berhasil membangun sebuah entitas budaya dan peradabannya sendiri, sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Dari penemuan peninggalan-peninggalan situs sejarah dan benda-benda yang menyertainya dapat diketahui bahwa di Acheh pernah tumbuh berkembang sebuah peradaban yang digerakkan oleh Raja dari Kerajaan-Kerajaan Hindu seperti Kerajaan Indra Pura, Indra Purba, Indra Patra dan lain-lainnya.
Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah ini dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemeus menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, atau ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Sumatera mencari emas, kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Para pedagang Nusantara sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.
Dalam kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Raja Solomon, raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang berada dibawah kekuasaannya. Emas didapatkan dari negeri Ophir. Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke "tanah yang Kami berkati atasnya" (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera.(Sangtawal: ada pendapat yang menyatakan ianya di Gunung Ledang !) Kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemeus pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan asumsi bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya King Solomon.
Perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut "jalur sutra" (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Acheh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan .
Ini artinya peradaban Acheh adalah diantara peradaban tua di wilayah Nusantara. Namun belum banyak bukti yang dapat dikemukakan tentang kegemilangan masa lalu peradaban Acheh, yang menurut beberapa penelitian para ahli disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (i) belum diadakannya menggalian terhadap situs sejarah purba secara serius dan menyeluruh akibat pertimbangan politik ataupun konflik berkepanjangan (ii) hilangnya situs-situs penting, terutama dipinggir laut akibat terjadinya beberapa kali gelombang tsunami, sebagaimana tsunami 26 Desember 2004 lalu yang menghancurkan kota-kota purba Acheh yang umumnya dipinggir pantai yang berhadapan langsung dengan tsunami (iii) adalah menjadi tradisi sebagian masyarakat Acheh untuk memusnahkan peninggalan sejarah apabila sudah tidak dikehendaki penguasanya, contoh terdekat adalah pembakaran buku-buku ilmiyah karya Hamzah Fansuri dan ulama aliran Wujudiyah di depan Masjid Baiturrahman atas perintah Sultan Iskandar Tsani berdasarkan fatwa Syekh Nuruddin al-Raniri, atau pembakaran Istana Super Megah yang didirikan Sultan Iskandar Muda, Darud Dunya akibat terjadinya pemberontakan pada masa Sultanah Inayat Syah. Dan terakhir adalah bumi hangus Istana pada zaman Sultan Muhammad Daud Syah agar jangan sampai dikuasai penjajah Belanda.
Keadaan revolusioner dan dinamis yang terjadi di Acheh dari waktu ke waktu sepanjang 500 tahun terakhir telah memecah konsentrasi para pemimpin dan cendekiawan Acheh dalam memelihara peninggalan sejarahnya sehingga banyak yang terbengkalai, hilang, musnah bahkan sengaja dihilangkan dengan alasan keamanan. Penulis beberapa kali mendapatkan alasan ketakutan nara sumber yang memiliki peninggalan berharga berupa manuskrip penting, karena jika diketahui aparat akan diambil dan mereka dituduh sebagai pemberontak atau sparatis. Akibatnya banyak manuskrip-manuskrip penting peninggalan peradaban Acheh tertanam atau hilang.
Namun demikian, dari sumber-sumber sekunder dapat diketahui kembali, walaupun masih tingkat awal mula, tentang sejarah kegemilangan Acheh, terutama pada masa pra-Islam. Data-data tersebut sangat penting untuk mengetahui sejauh mana tingkat peradaban dan pengetahuan masyarakat Acheh pra-Islam, baik zaman pra-Hindu-Budha ataupun sebelumnya. Mengingat letak geografi Acheh yang strategis sebagai laluan dalam perjalanan menuju pulau Jawa atau Timur Jauh lainnya dari sumber peradaban tua umat manusia, baik di sekitar Asia Tengah, Timur Tengah ataupun Afrika. Karena di Jawa atau Kalimantan banyak ditemukan peradaban manusia yang telah berusia ratusan ribu tahun.
Dari sumber-sumber sekunder, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ternyata Acheh memiliki peranan penting dalam sejarah peradaban manusia. Salah satu bukti otentik yang tidak diragukan adalah perjalanan kapur Barus yang telah menembus peradaban Yunani, Rumawi sampai Mesir klasik. Produk unggulan Barus-Acheh ini telah menjadi komuditas primadona dunia yang tinggi nilainya, sehingga megantarkan Acheh sebagai salah satu bagian dari kegemilangan dan ketinggian peradaban klasik pra-Islam. Tentunya kedatangan manusia-manusia modern pada zaman itu ke Acheh telah membawa perubahan pada pengetahuan dan kebiasaan masyarakat, sebagaimana pengaruh kedatangan para relawan asing manca negara saat ini ke Acheh yang membawa berbagai bentuk pengetahuan, ilmu, budaya dan peradaban yang mempengaruhi pola hidup masyarakat. Kedatangan mereka sudah pasti akan membawa kemajuan dan kemakmuran kepada masyarakat Acheh, dan tidak diragukan bahwa kemakmuran akan mengantarkan kegemilangan peradaban umat manusia seperti apa yang dialami negara-negara maju seperti Amerika, Eropa maupun Jepang, India dan Cina saat ini.
Kegemilangan masyarakat Acheh yang telah berkembang pesat sebelum kedatangan Islam dengan pencapaian-pencapaian peradabannya telah memudahkan para pembawa Islam untuk memajukannya secara maksimal. Karena lebih mudah mengajarkan Islam yang sempurna dan menyeluruh kepada orang-orang yang berperadaban, berpengatahuan dan menggunakan akalnya untuk berfikir. Itulah sebabnya, saat ini para pendakwah kita lebih mudah menyebarkan Islam kepada masyarakat modern di Amerika, Eropa ataupun Jepang dari pada masyarakat di pedalaman Papua atau Kalimantan yang masih hidup telanjang dan jauh dari peradaban. Sebagaimana tersebar cerita dikalangan pendakwah, jika di Eropa orang-orang bule cerdik-pandai berlomba-lomba meninggalkan gereja dan masuk Islam karena alasan rasional dan sesuai dengan perkembangan zaman, tapi di negeri ini orang-orang bodoh dan tolol bisa diajak masuk gereja karena sebungkus super mie. Sungguh benar sabda Rasul, kebodohan akan membawa kemiskinan dan kemiskinan akan menjadikan orang mudah kepada kekafiran.
Masuknya Islam telah mengantarkan masyarakat Acheh sebagai bagian dari pergerakan internasional pembebasan umat manusia dari belenggu kegelapan yang membawanya sebagai masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-nilai keuniversalan dan keagungan Islam. Dalam Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin telah menggambarkan bagaimana tingginya pengetahuan dan pemikiran masyarakat Acheh, baik di kalangan para sultan, pejabat negara sampai kepada masyarakat umum sehingga banyak ulama yang datang ke Acheh harus kembali belajar agar cukup pengetahuannya untuk mengajar di tengah masyarakat Acheh yang kosmopolit masa itu. Itulah sebabnya para pemuka Islam menjuluki Acheh sebagai "Serambi Mekkah", sebagai satu-satunya serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna sebenarnya adalah karena Acheh telah menjadi pusat rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara.
Tradisi dan peradaban, terutama pemikiran Islam di Acheh sudah berkembang pesat dan bahkan para ulama dan cerdik pandainya memiliki kaliber yang sederajad dengan para ulama Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini dapat dilihat pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama Hijaz di Mekkah atas kepemimpinan wanita selama lebih 50 tahun pemerintahan 4 orang Sultanah Acheh atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik al-Adhil, Syekh Abdul Rauf al-Singkili (Maulana Syiah Kuala). Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad beliau yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan luas terhadap ajaran Islam. Setiap utusan Syarief Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan fatwanya sehingga hujjahnya tak terpatahkan. Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti Mekkah mengeluarkan fatwa yang memakzulkan (memberhentikan) Sultanah Kamalat Ziatuddinsyah pada 1699 dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin negara.
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw telah berkata: "Sebaik-baik kamu pada zaman jahiliyah, akan menjadi sebaik-baik manusia setelah memeluk Islam". Ini adalah sebuah ungkapan yang telah menjadi kenyataan dalam sejarah kegemilangan Islam yang telah dipimpin Rasulullah saw. Pada zaman pra-Islam, banyak sekali tokoh-tokoh berpotensi, seperti Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid yang secara terang-terangan menentang Islam pada awal perkembangannya. Umar sendiri sempat mau membunuh Nabi Muhammad karena dianggapnya sebagai sumber perpecahan masyarakat Mekkah, namun akhirnya masuk Islam setelah membaca lembaran al-Qur’an yang dirampasnya dari adiknya yang sudah lebih dahulu masuk Islam. Setelah memeluk Islam, Umar adalah salah seorang pembela Islam yang berani dan telah menjadi Khalifah yang menyebarkan Islam ke seluruh pelosok dunia. Demikian pula dengan Khalid yang sempat memimpin kaum musyrikin melawan Nabi Muhammad sehingga kaum Muslim mengalami kekalahan di perang Uhud. Namun setelah Khalid masuk Islam, akhirnya dia digelar dengan "Pedang Allah" yang telah menumbangkan kekuasaan-kekuasaan besar seperti Romawi dan Parsia.
Masyarakat Arab sendiri sebelum kedatangan Islam adalah masyarakat yang terbelakang dari segi peradaban dan pengetahuan jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lainnya, baik Mesir, Rumawi ataupun Persia. Bahkan al-Qur’an sendiri menyebut masyarakat Arab di sekitar Mekkah sebagai Ummiyun, masyarakat yang tidak memiliki peradaban dan kekuasaan. Dalam sejarah disebutkan bahwa masyarakat Arab di sekitar Mekkah jika terjadi musim kemarau panjang, mereka terkadang menjadi pengungsi dan pengemis di sekitar Kerajaan-kerajaan besar seperti Mesir, Habsyah ataupun Parsia. Masyarakat Arab pra-Islam digambarkan sebagai sebuah suku bangsa kecil yang terpecah belah, miskin lagi terbelakang dengan hidup yang berpindah-pindah. Namun berkat Islam, bangsa yang kecil dan tidak diperhitungkan ini, dalam waktu kurang dari 30 tahun sejak kebangkitan Nabi Muhammad, telah menjadi sebuah bangsa besar yang menggetarkan semua super power, dan akhirnya sejarah membuktikan bahwa semua super power itu tunduk kepada masyarakat ummy yang telah mendapatkan pencerahan dan kekuatan spiritualitas dari keagungan nilai-nilai Islam. Selanjutnya umat Islam menjadi mercusuar peradaban manusia, yang menghubungkan peradaban klasik paganis menjadi peradaban modern rasionalis.
Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Acheh. Jika sebelum Islam mereka adalah sebuah bangsa yang sudah berperadaban maju, maka kedatangan Islam akan mendorong lebih kencang kemajuan dan pencapaian peradaban mereka sebagaimana dicatat sejarah. Jika sebelum Islam masyarakat Acheh hanya sebuah kerajaan-kerajaan kecil dibawah perlindungan Kerajaan Hindu seperti Sriwijaya, maka setelah Islam datang menyinari masyarakat Acheh, mereka bangkit menjadi sebuah kekuatan baru yang pada akhirnya menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara. Termasuk menjadi sebab utama tumbang dan lenyapnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, baik di Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua serta sampai di Sulu dan Mindanao yang telah mapan selama ribuan tahun. Pusat Islamisasi Nusantara Acheh digerakkan oleh Kerajaan-Kerajaan Islam silih berganti yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Dimulai dari berdirinya Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 777 M oleh Sasaniah Salman, yang dilanjutkan perannya oleh Kerajaan Islam Perlak tahun 805 M yang didirikan anak Raja Islam Jeumpa bernama Meurah Syahr Nawi dikembangkan keponakannya Maulana Abdul Aziz Syah dan keturunannya, disambung oleh Kerajaan Pasai pada abad XII yang didirikan keturunan Raja Jeumpa dan Perlak bernama Meurah Silu atau Sultan Malik al-Salih. dan seterusnya yang mulai mendapat kegemilangan pada masa Kerajaan Acheh Darussalam yang menggabungkan semua Kerajaan Islam Acheh, menggapai puncaknya keagungannya pada zaman Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636 M yang menguasai seluruh pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya serta menjadi pelindung Kerajaan-Kerajaan Islam lainnya, baik di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku sampai Sulu-Mindanao.
Demikian pula para Sultan Acheh ikut berperan aktif mendirikan Kerajaan Islam Jawa terbesar, baik Demak, Mataram maupun Banten. Kerajaan Islam Perlak dan Pasai secara teratur dan berkala telah mengirimkan para pendakwah Islam ke tanah Jawa yang digerakkan oleh para ulama keturunan Nabi Muhammad silih berganti. Yang paling terkenal adalah sebuah gerakan Islamisasi dengan nama Wali Sembilan atau Wali Songo yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi) bersama beberapa keluarga dekat dan keponakannya seperti Sunan Ampel, Sunan Drajad, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan lainnya yang memiliki satu jalur keturunan dan bermuara pada Imam Ja’far Sadiq. Penaklukan mereka terhadap Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang dominan masa itu, tidak dilakukan secara perang konfrontatif mengingat kuatnya Majapahit. Penyebaran Islam dilakukan melalui jalur perdagangan, perubahan sosial-budaya, pendidikan, dakwah dan yang paling strategis melalui jalur perkawinan.
Wali Songo mengawinkan Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V dengan kader muslimah terbaiknya yang dikenal dengan nama "Puteri Champa", gadis cantik jelita dan cerdas, seorang Puteri Kerajaan Islam Jeumpa Acheh yang juga masih keponakan dari Sunan Ampel, yang ketika itu telah membuka lembaga kaderisasi dan pendidikan di Ampel Surabaya. Dari perkawinan ini lahirlah seorang putera bernama Raden Fatah, yang sejak kecil sudah diungsikan dari Istana Majapahit dan mendapat pendidikan langsung para Wali Songo, dan dibesarkan dalam lingkungan pendidikan Sunan Ampel. Ketika dewasa, Raden Fatah diangkat menjadi penguasa lokal di Demak, Jawa Tengah. Setelah menggalang kekuatan dan mendapat dukungan meluas, Wali Songo memproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Demak dan mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan. Sejak saat itu, dimulailah penaklukan demi penaklukan yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa dan mulai berdiri Kesultanan-Kesultanan Islam. Sementara Syarief Hidayatullah, tidak diragukan berasal dari keturunan keluarga besar Kesultanan Perlak-Pasai yang telah telah mendirikan Kesultanan Banten di Jawa bagian Barat.
Pemikir Islam kontemporer Ismail R. Faruqi. menjuluki muslim nusantara, para pejuang Acheh sebagai "One of the oldest and bloodiest struggle of the Muslims have waged against Christian-Colonialist aggression". Salah satu rumpun bangsa yang paling pertama dan paling berdarah diantara bangsa Muslim dalam menentang agresi kaum Kristen-Kolonialis. Karena realitas sejarah membuktikan hampir 500 tahun lebih masyarakat Muslim Acheh dibawah kepemimpinan para Sultan berperang silih berganti melawan kaum Imprialis-Kolonialis "kaphe" yang hendak menjajah Acheh dan menghilangkan dominasi Islam. Dengan gagah perkasa dan senjata apa adanya mereka bangkit berjihad fie sabilillah melawan tentara-tentara Salib dari Portugis maupun Belanda yang telah memiliki persenjataan modern pada masa itu.
Akhirnya, sejarah kemanusiaan harus mengakui, Acheh dengan segala kegemilangan sejarah peradabannya sejak dahulu kala telah melahirkan tokoh-tokoh berkaliber dunia pada bidangnya masing-masing yang tercatat dalam tinta emas sejarah umat manusia. Nama-nama besar dari Acheh telah menghiasi perjalanan sejarah umat manusia, diantaranya seperti Syahriansyah Salman, Syahri Nuwi, Sultan Malikus Saleh, Sultan Iskandar Muda, Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry, Ratu Safiatuddin, Maulana Syiah Kuala, Laksamana Malahayati, Tgk. Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nya’ Dhien dan lain-lainnya
Bersambung ke bhg 2........
ulasan menarik
ReplyDelete