Friday, March 13, 2009

Hikayat Sangtawal ( 11 ) - Patani Bangkit - Bhg 2



Artikel Pilihan 1 :

Tajuk : Hilangnya Sebuah Negeri Islam Melayu

Posted by: faizn in Kelantan-Patani's Forgotten History - (klik sini)

Oleh: Iman NugrahaSH


Bagi sebagian umat, Patani mungkin hanya sebuah nostalgia negeri Melayu. Orang-orang yang memperhatikan peta Asia Tenggara sekarang akan mengetahui bahwa sebuah negeri Islam yang dulu berjaya kini telah hilang dan tinggal kenangan.


Berbeda dengan nasib negeri lainnya seperti Bosnia, Kashmir, Chechnya atau Palestina yang tak pernah sepi dari pemberitaan. Patani ditakdirkan telah menjadi sebuah negeri yang dilupakan orang, sepi dan tidak naik panggung. Namanya hanya terdapat pada peta dan dokumen lama saja. Demikian juga dengan orang Patani, hilang dan tak dikenal.


Patani yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah Changwad atau wilayah Patani sebagaimana terdapat dalam peta negara Thailand sekarang, tetapi lebih kepada sebuah negeri yang sempadannya lebih luas (Negeri Patani Besar) yang meliputi wilayah-wilayah Narathiwat (Teluban), Yala (Jalor) dan sebagian Senggora (Songkla, daerah-daerah Sebayor dan Tibor) bahkan Kelantan, Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling).

Patani itu Langkasuka

Negeri Patani memiliki sejarah yang cukup lama, jauh lebih lama daripada sejarah negeri-negeri di Semenanjung Melayu seperti Malaka, Johor dan Selangor. Sejarah lama Patani merujuk kepada kerajaan Melayu tua pengaruh Hindu-India bernama Langkasuka sebagaimana dikatakan oleh seorang ahli antropologi sosial di Prince of Songkla University di Patani, Seni Madakakul bahwa Langkasuka itu terletak di Patani. Pendapat beliau ini didukung oleh ahli sejarawan lainnya seperti Prof. Zainal Abidin Wahid, Mubin Shepard, Prof. Hall dan Prof. Paul Wheatly.



Lebih jauh bahkan Sir John Braddle menegaskan bahwa kawasan timur Langkasuka meliputi daerah pantai timur Semenanjung, mulai dari Senggora, Patani, Kelantan sampai ke Trengganu, termasuk juga kawasan sebelah utara negeri Kedah (M. Dahlan Mansoer, 1979).

Dalam buku sejarah negeri Kedah, Hikayat Merong Mahawangsa, ada menyebutkan bahwa negeri Langkasuka terbagi dua: Sebagian terletak di negeri Kedah yaitu terletak di kawasan tebing sungai Merbok. Sebagian lainnya terletak di sebelah timur Kedah, yaitu di pantai Laut China Selatan. Dalam hal ini Prof. Paul Wheatly tanpa ragu mengatakan bahwa Langkasuka terletak di Patani sekarang. Pendapat beliau dikuatkan dengan temuan kepingan batu-batu purba peninggalan kerajaan Langkasuka di daerah Jerang dan Pujud (nama-nama kota pada masa itu). Konon, menurut buku Negarakertagama, Jerang atau Djere merupakan ibukota Langkasuka. Sedangkan asal muasal orang Patani menurut para antropolog berasal dari suku Javanese-Malay. Sebab ketika itu suku inilah yang mula-mula mendiami Tanah Melayu. Kemudian berdatangan pedagang Arab dan India yang melakukan persemendaan sehingga menurunkan keturunan Melayu Patani di selatan Thai sekarang.


Tanah Melayu telah didatangi pedagang dari Arab, India dan China sejak sebelum masehi. Seorang pengembara China menyebutkan bahwa ketika kedatangannya ke Langkasuka pada tahun 200 masehi, ia mendapati negeri itu telah lama dibuka.


Pengaruh Sriwijaya

Sebelum menjadi negeri Islam, Patani (baca: Langkasuka) dikenal sebagai kerajaan Hindu Brahma. Rajanya yang terkenal adalah Bhaga Datta (515 M) yang berarti “pembawa kuasa”. Ketika kerajaan Sriwijaya di nusantara berhasil menaklukkan Nakorn Sri Thamarat (sekarang Ligor di Thailand) pada 775 M dan kemudian mengembangkan kekuasaannya ke selatan (Patani), mulailah penduduk Patani meninggalkan agama Hindu dan memeluk Budha. Sebuah berhala Budha zaman Sriwijaya yang ditemui dalam gua Wad Tham di daerah Yala membuktikan pertukaran agama di atas.


Di bawah pemerintahan Sriwijaya inilah Patani mulai menapaki kemajuan, ramai dan terkenal. Hasil negeri Patani pada waktu itu banyak berupa pertanian dan perniagaan. Beberapa pengetahuan bernilai seperti teknik membajak dan berdagang diterima oleh orang Patani dari orang Jawa. Diyakini juga bahwa kerajaan Sriwijaya inilah yang membawa dan mengembangkan bahasa Melayu ke Patani. Besarnya upeti yang diberikan setiap tahun ke kerajaan Sriwijaya menunjukkan bahwa Patani ketika itu kaya dan makmur.




Memeluk Islam

Tak diketahui pasti kapan Patani memeluk Islam, namun kalau dilihat kebanyakan karya sastra sejarah dan merujuk kepada Teeuw dan Wyatt, juga W.K Che Man maka dapat diperkirakan bahwa Patani menjadi negeri Islam pada 1457 (Martinus Nijhoff, 1970).
Masuknya Patani kedalam Islam ibarat sebuah “dongeng”, namun itulah adanya, seperti tertulis dalam buku-buku sejarah. Dikisahkan pada waktu itu Patani (Langkasuka) diperintah oleh raja Phya Tu Nakpa. Raja dikabarkan menderita sakit yang tak kunjung sembuh. Beliau mendengar ada seorang tabib, syeikh Said, seorang Muslim, yang mampu menyembuhkan sakitnya. Tabib tersebut sanggup mengobati penyakit sang Raja asal dengan syarat jika sembuh dari sakitnya maka Raja harus memeluk Islam. Namun Raja Phya Tu Nakpa ingkar janji setelah sembuh. Akhirnya Raja sakit kembali. Kejadian ini terulang sampai tiga kali. Pada kali ketiga inilah Raja bertaubat, ia tidak akan memungkiri janjinya lagi.


Setelah Raja sembuh dari sakitnya, beliau bersama keluarga dan pembesar istana memeluk Islam. Raja Phya Tu Nakpa berganti nama menjadi Sultan Ismail Shah. Sejak saat itu mulailah Islam berkembang dan pengaruh Hindu-Budha mulai berkurang, lemah dan akhirnya hilang dari Patani.


Raja Phya Tu Nakpa (Sultan Ismail Shah) diketahui juga sebagai pengasas negeri Patani. Beliaulah yang mengganti nama kerajaan lama menjadi Patani yang berarti “Pantai Ini”. Karena beliau secara kebetulan menemukan suatu tempat yang indah dan ideal untuk dijadikan negeri di tepi pantai. Riwayat lain mengatakan Patani berasal dari kata “Pak Tani”. Yaitu pemilik pondok (seorang petani garam) ditepi pantai yang ditemui oleh Raja ketika beliau bepergian mencari lokasi negeri baru. (Ibrahim Shukri, tanpa tahun)


Setelah berpindah ke Patani, Patani menjadi lebih ramai dan oleh karena lokasinya yang baik, tempat baru ini menjadi makmur dan mewah. Patani menjadi pusat daya tarik saudagar-saudagar dari timur seperti Jepang, China, Siam dan Eropa. Tercatat pada 1516 kapal dagang Portugis singgah pertama kalinya di pelabuhan Patani. Pinto, seorang saudagar dan penjelajah asal Portugis menyatakan: “Pada masa saya datang ke Patani dalam tahun itu saya telah berjumpa hampir-hampir 300 orang Portugis yang tinggal di dalam pelabuhan Patani. Selain dari Portugis didapati juga bangsa-bangsa timur seperti Siam, China dan Jepang. Orang-orang Jepang besar juga perniagaannya di pelabuhan ini.”



Menaklukkan Siam

Sepeninggal Sultan Ismail Shah, putranya yaitu Sultan Muzaffar Shah, diangkat menjadi Sultan Patani. Selain meneruskan dan memajukan negerinya, Sultan Muzaffar Shah sering melakukan lawatan ke negara tetangga seperti Malaka, Siam. Namun dalam lawatan ke Siam (sekarang Thailand) beliau diperlakukan tidak selayaknya oleh Raja Siam. Raja Siam merasa lebih tinggi derajat dan kedudukannya daripada Sultan Patani. Sehingga perlakuan ini menimbulkan perasaan terhina dalam jiwa Sultan Muzaffar.


Ketika mengetahui kerajaan Siam diserang oleh Burma pada 1563, Sultan Muzaffar Shah bersama adiknya Sultan Mansyur Shah memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang Siam. Dengan mengerahkan 200 kapal perang dan ribuan pasukan, Siam akhirnya jatuh ke tangan Sultan Muzaffar pada tahun itu juga.


Sayang, tak lama kemudian, Sultan Muzaffar meninggal secara mendadak di muara sungai Chao Phraya dan dimakamkan di sana. Sebelum meninggal Sultan Muzaffar mengamandatkan kekuasaan kepada adiknya, Sultan Mansyur Shah. Hal ini dilakukan karena sampai akhir hayatnya Sultan Muzaffar tidak mengetahui bahwa permaisurinya sedang hamil. Sekalipun Sultan Muzaffar mempunyai anak dari selirnya (Pengiran Bambang), namun dalam tradisi pewarisan tahta di kerajaan Melayu tidak mengenal calon Raja dari anak selir. Sehingga diangkatlah adiknya (Sultan Mansyur Shah) menjadi Sultan Patani sampai akhir hayatnya (1564-1572).


Sebelum meninggal, Sultan Mansyur Shah telah berwasiat agar anak saudaranya — anak Sultan Muzaffar Shah — yaitu Patik Siam (10 th), pewaris sah kesultanan, diangkat menggantikan dirinya. Namun pengangkatan ini menimbulkan kebencian dan kedengkian dari Pangiran Bambang (anak Raja dari selir). Para ahli sejarah mengatakan bahwa peristiwa ini merupakan titik awal perselisihan dan perebutan kekuasaan dalam istana. Antara tahun 1573-1584 merupakan tahun-tahun penuh gejolak bagi kesultanan Patani. Tercatat dua kali terjadi perebutan kekuasaan disertai pembunuhan yang semuanya melibatkan anak-anak dari selir (anak Raja yang bukan dari permaisuri).


Kejayaan dan Keruntuhan

Patani mencapai zaman keemasannya ketika diperintah oleh empat orang Ratu yaitu Ratu Hijau (1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu Ungu (1624-1635) dan Ratu Kuning (1635-1651). Patani pada zaman Ratu-ratu sangat makmur dan kaya. Kekuasaannya meluas hingga ke Kelantan dan Trengganu sehingga terkenal dengan sebutan Negeri Patani Besar. Kecuali Johor, tidak ada negeri lain di belahan timur Semenanjung Melayu yang memiliki kemakmuran dan kekuatan sehebat Patani kala itu.
Kekuatan negeri Patani tergambar dari kemampuannya mematahkan empat kali serangan kerajaan Siam pada 1603, 1632, 1634 dan 1638. Patani memiliki 3 buah meriam besar yang sangat masyhur yaitu Seri Negara, Seri Patani dan Mahalela. Mampu mengerahkan 180.000 pasukan siap tempur dan diperkuat oleh sebuah benteng yang tak kalah terkenalnya yakni Benteng Raja Biru.


Sayang, masa kejayaan ini hanya bertahan 67 tahun. Ketika Ratu Kuning meninggal pada 1651, Patani mengalami proses kemerosotan secara politik, militer dan ekonomi. Patani hanya mencatat kemajuan ketika dipimpin oleh Raja Sakti I dan Raja Bahar yang mampu menyatukan Senggora (Songkla) dan Pethalung.


Pada akhir abad ke-17 ini, Patani mulai kehilangan era keemasannya. Tidak adanya peperangan dengan Siam, yang merupakan musuh tradisi bersama, sampai menjelang kejatuhannya (hampir satu abad) menyebabkan negeri Patani Besar yang tadinya bersatu (meliputi Kelantan, Trengganu, Patani Awal, Senggora dan Pethalung), perlahan-lahan mulai memisahkan diri. Perang yang terakhir yang melibatkan Patani - Siam terjadi pada 1638. Sejak tahun itu tidak ada lagi peperangan di antara kedua negara.


Kekuatan politik dan daya tarik pelabuhannya sebagai pusat dagang utama juga semakin redup, seiring dengan makin banyaknya pusat-pusat dagang yang baru seperti Johor, Malaka, Aceh, Banten dan Batavia (Jakarta).


Sebagai negara perairan, ekonomi Patani sangat tergantung pada perniagaan. Kemerosotannya pada bidang ini telah menyebabkan barometer ekonomi Patani anjlok. Maka boleh dikata, sejak awal abad ke-18, pelabuhan Patani hanya sebagai tempat persinggahan saja bukan pusat dagang dan bisnis lagi. Ditambah lagi faktor ketidakstabilan politik, perpecahan wilayah dan krisis pucuk pimpinan, maka lengkaplah Patani menjadi “Orang Sakit di Semenanjung Melayu”.


Malang bagi Patani, karena hampir bersamaan dengan kemerosotan ini, Siam, di bawah pimpinan Panglima Taksin bangkit kembali dan berhasil mengusir Burma dari seluruh negeri. Sehingga ketika Patani lengah dan lemah, Siam berhasil menaklukkannya pada 1785. Maka mulai tahun inilah, Patani berada dalam cengkeraman Siam. Bahkan pada 1909, lewat Perjanjian Bangkok antara Inggris-Siam, Patani akhirnya terserap menjadi wilayah “resmi” Siam yang kemudian merubah namanya menjadi Thailand sampai sekarang ini.






Artikel Pilihan 2 :

Tajuk : Dua Ratus Tahun Penjajahan Siam

Posted by: faizn in Kelantan-Patani's Forgotten History - (klik sini)

Artikel Oleh : Sapto Waluyo (laporan dari Penang, Malaysia)


Kerajaan Melayu Patani pernah berjaya sebelum ditaklukkan Kerajaan Siam. Kini nasib mayoritas muslimin di wilayah selatan menjadi tertindas di tanah sendiri. Saatnya Indonesia bersikap tegas, memainkan peran kekuatan penyeimbang.


Di negeri ini nyaris tak ada yang mengenal sejarah Patani, kecuali namanya. Padahal, Mohammad Zamberi A. Malek, dosen Akademi Pengajian Melayu di Universitas Malaya, mengungkapkan perjuangan Muslimin di wilayah Thailand Selatan itu terkait erat dengan bangsa Indonesia. “Sejarah panjang perseteruan Kerajaan Melayu dan Siam (Thailand) dimulai saat berdirinya Kerajaan Nanchao (650 M), dengan ibukotanya Lopburi. Kerajaan Siam-Nanchao semasa dengan Majapahit dan Sriwijaya di Indonesia,” ujar Zamberi dalam seminar di Universitas Sain Malaysia, Penang, akhir pekan lalu.


Pada 1230 M, Sriwijaya yang berpusat di Palembang, Sumatera Selatan melepaskan kekuasaannya atas Semenanjung Melayu. Maka, kerajaan Siam yang bernama Sukhothai atau Sukhodaya (1238) mulai merambah ke selatan. Rama Khamhaeng, memerintah 1279 – 1299 M, memimpin penyerangan dan berhadapan dengan Raja Sang Tawal (1267 – 1335) dari semenanjung utara Melayu. Sang Tawal kalah dan mundur ke selatan.
Menurut sumber sejarawan Cina, Yuan Shih (1295), orang Melayu disebut Mali-yu-erh, sedang Siam dijuluki Sien. Kedua bangsa itu sudah lama saling berperang. Pada masa itu, utusan Siam yang bernama Kan-mu-ting dari kota Petchburi menghadap Kaisar Cina. Kaisar memerintahkan Rama Khamhaeng untuk menghentikan perang dengan Melayu. “Oleh karena orang Siam dan Melayu sering berbunuhan sekian lama, maka kamu hendaklah menunaikan perintah dan berjanji, jangan mengganggu lagi orang-orang Melayu”. Pada 1294 dibangun garis batas Melayu-Siam di Petchburi-Ratchburi, berdekatan dengan kota Bangkok sekarang.



Prasasti Sukhothai sendiri mendakwakan, kerajaan Melayu Tambralingga telah ditaklukkannya pada 1292. Itulah, kalau benar, kejatuhan pertama negeri Melayu-Islam ke tangan kerajaan Budha. Sasaran selanjutnya adalah kerajaan Melayu Langkasuka (Patani) dan Kathaha (Kedah) yang amat kuat akar keislamannya. Sejak itu, Siam dipandang sebagai musuh tradisional bangsa Melayu.


Sepeninggal Rama Khamhaeng, dominasi Siam diwarisi anaknya, Lodaiya. Ancaman Siam sampai ke batas wilayah Melayu di Segenting Kra. Di akhir era kejayaannya Sukhothai telah menjarah tanah Melayu hingga Terang, Cahaya, Ranong, Cumpon, Hujong Sanglang (Pulau Phuket), dan Patalung. Betapa luas wilayah Melayu yang dirampas, namun Siam bernafsu mencaplok Temasek (Singapura). Namun, ambisi itu ditahan armada laut Majapahit.
Pelanjut kerajaan Sukhothai adalah Krung Sri Ayuthia yang berhadapan dengan Kerajaan Melayu Malaka. Menurut pengembara Cina lain, Yin Ching, yang pernah singgah di Malaka tahun 1403, setiap tahun kerajaan Malaka menyetor upeti sebanya 40 peti bunga emas ke Ayuthia. Tapi, Malaka membangkang dan menolak membayar upeti. Serangan Siam dibawah Raja Boromoraja (1445) dan Boromo Tralokanart (1456) berhasil dihalau Tun Perak.


Serangan Siam dilanjutkan ke wilayah Pahang (1500) semasa kepemimpinan Sultan Abdul Jamil Syah. Hingga Raja Siam Narai Maharaj (1657-1688) menundukkan Singgora (Songkhla, sekarang) di bawah pemerintahan Sultan Sulaiman Syah pada 1687. Ini tanda kekalahan pertama bangsa Melayu di wilayah sendiri, Semenanjung. Negeri Melayu Perak, Kelantan, Kedah dan Trengganu memiliki catatan sejarah getir dalam menghalau serangan Siam.


Mohammad Zamberi memaparkan 10 kali pertempuran Siam-Patani yang berlangsung sengit. Pertempuran pertama meletus di masa Sultan Muzaffar Syah (1530-1564). Sebanyak dua kali angkatan perang Patani coba menaklukkan Ayuthia (1563). Meski gagal, momen itu diingat sebagai keberanian untuk menyerang ibukota Kerajaan Gajah Putih.


Pada 1603, Patani diserang, namun tentara Siam tak bisa menginjakkan kakinya dengan aman. Pada 11 Mei 1634, Siam secara besar-besaran bertekad menghancurkan Patani yang kebetulan dipimpin seorang raja perempuan, namun sekali lagi gagal total, walau telah didukung armada penjajah Belanda. Kekalahan itu merupakan tamparan keras buat arogansi Siam. Sejak itu berturut-turut Siam melancarkan serangan pada 1671, 1679, dan 1709.


Rencana penyerbuan digencarkan kembali 1786 oleh Raja Muda Siam bernama Phra Rathcawong Bovom Satan Mongkhol. Lewat pangkalan militernya di Songkhla, serangan laut dilakukan sampai mendarat di daerah Jering. Kota Gerisik di Patani pun digempur habis. Dari nama kota itu kita tahu, bahwa dakwah Islam dari Nusantara (Sunan Gresik) pernah sampai ke tanah Patani.

Sultan Muhammad (1776-1786) pun menjadi korban kekejaman Siam, dan seluruh negeri Patani jatuh pada bulan November 1786.Kekalahan itu membawa penderitaan umat Islam di kota Patani yang berpenduduk 90.000 orang. Sekitar 15.000 orang hijrah ke Perak, Kelantan, Trengganu dan Kedah. Sedikitnya 4.000 orang Patani ditawan dan dikerahkan membangun “Terusan Sejuta Jeritan” secara paksa. Sebagian lain dijadikan benteng hidup untuk mengamankan Bangkok dari serangan musuh.



Bersamaan dengan penyerbuan Siam ke Patani, pasukan Inggris mendarat di Pulau Pinang, Malaysia. Raja-raja Melayu Semenanjung mengharap bantuan Sir Francis Light, namun Inggris terbukti bersekongkol dengan Siam. Pada 1832 meletus lagi peperangan akibat penyerbuan Siam ke Kedah. Pasukan Patani, Kelantan dan Trengganu ikut membantu jihad, namun sebagian pasukan melarikan diri. Lagi-lagi penduduk Patani yang berjumlah 54.000 orang jadi korban balas dendam Siam, 6.000 orang diantaranya ditawan.


Berdasarkan taktik “divide et impera”, persis seperti dijalankan kolonialis Belanda di Indonesia, Siam membelah kerajaan Patani menjadi tujuh wilayah kecil-kecil. Strategi itu melumpuhkan kekuatan Patani, hingga pada 1902 seluruh raja-raja Melayu ditawan. Pada 1909, dengan dukungan Inggris dilakukan perjanjian Melayu-Siam yang membagi wilayah Malaysia-Thailand dewasa ini. Provinsi Patani, Yala, dan Narathiwat menjadi bagian dari kekuasaan Thailand secara paksa.


M. Abdus Sabur, Sekretaris Jenderal AMAN (Asian Muslim Action Network), mencoba menelusuri akar konflik di Thailand Selatan. Ia telah mewawancarai 30 anak muda yang tinggal di lima provinsi selatan (Narathiwat, Pattani, Yala, Satun, dan Songkhla). Disamping itu, Shabur juga memeriksa sejumlah riset yang dilakukan para peneliti dan berita yang diterbitkan surat kabar utama Thailand berbahasa Inggris, The Nation dan Bangkok Post.


Dalam amatan Shabur, empat provinsi berbasis mayoritas Muslim, yakni Pattani (77%), Yala (78%), Narathiwat (63%), dan Satun (66%). “Penduduk Pattani, Yala dan Narathiwat berbahasa Melayu atau Jawi, sedang Satun berbahasa Thai. Sementara Songkhla yang pernah menjadi bagian kerajaan Pattani, kini hanya minoritas Muslim (19%), dan kulturnya telah di-Budhis atau di-Siamkan,” papar Sabur.


Sejumlah faktor dijelaskannya sebagai latar belakang konflik. Pemerintah Thailand, sebagaimana Kerajaan Siam, tak menghormati identitas etnik, bahasa dan agama yang dipeluk mayoritas penduduk wilayah Selatan. Sementara kaum muslimin sendiri memiliki perasaan menyatu dengan sejarah Pattani lama. Kondisi makin mengenaskan, karena pemerintah Thailand memaksakan format negara modern dengan ideologi Budhisme dan kekerasan militer. Keterbelakangan ekonomi selatan yang diakibatkan eksploitasi pemerintah pusat menambah parah situasi, sedang pengaruh gejolak politik regional dan internasional turut membakarnya.

Dalam pandangan Sabur, konflik di provinsi selatan bagai “gunung api yang tertidur dan setiap saat siap meledak”.



Tokoh medis asal Patani, dr. Ariffin, yang memimpin lembaga kemanusiaan di wilayah selatan menggariskan, ada empat aktor yang berpengaruh dalam konflik, yakni: politik (partai, militer dan polisi), birokrasi (pemerintah pusat), kelompok perlawanan, dan kekuatan global-regional. Keempatnya menekan kondisi masyarakat Muslim yang lemah. Birokrasi Thailand amat ditentukan oleh keseimbangan antara partai dan faksi militer serta polisi. Sejak era 1980-an, Thailand sangat rentan dengan ancaman kudeta militer. Saat ini, PM Thaksin Shinawatra telah menyatakan mundur dari pemerintahan, tapi tetap memegang jabatan nomor satu di partai berkuasa, sehingga bisa menyetir siapapun yang menjadi PM.


Selain pelaku utama itu, sebenarnya ada lagi aktor mafia narkotika dan pengusaha multinasional yang berperan melestarikan konflik di selatan. Wilayah selatan yang subur jadi eksperimen peredaran obat bius lintas negara. Thailand juga dikenal sebagai situs prostitusi dan perdagangan anak dan perempuan (human trafickking) paling rawan. Juga, menjadi kawasan yang empuk untuk mengobarkan isu terorisme internasional yang dikaitkan dengan gerakan Islam. Kelompok perlawanan Patani terdiri dari: Pattani United Liberation Organization (PULO) yang bergerak sejak 1960-an, New Pattani Liberation Organization (NPLO), Mujahideen Islam Pattani, dan Barisan Revolusi Nasional(BRN). Tampaknya belum ada aliansi perlawanan yang solid.

Padahal sejarawan John Nieuhoff, seperti dikutip Zamberi, pernah mencatat pada 1660, betapa Patani merupakan kerajaan Melayu terkuat di Semenanjung. “The country of Patane is so populous, as to be able to bring 180.000 armed men into the filed, … and the best known by the history of its revolutions”. Mengapa nasibnya terus menderita hingga kini? Perlu dilacak kondisi kepemimpinan, kualitas angkatan bersenjata, dan masyarakat sipil di Patani masa dulu, agar dapat dipulihkan kekuatannya saat ini.


Jika dihitung sejak perjanjian Melayu-Siam (1909), sudah 97 tahun Patani diduduki Thailand. Namun, bila dihitung sejak jatuhnya kerajaan Patani (1786), maka usia penjajahan Siam telah mencapai 220 tahun! Penjajahan berlangsung lebih lama, bila jatuhnya kerajaan Melayu Tambralingga (1292) dijadikan patokan bagi keganasan Siam. Di sinilah berlaku hukum kekuatan yang menentukan keadaan, bahkan kesuksesan diplomasi juga ditentukan keunggulan militer.


Pentingnya balancing power, kekuatan penyeimbang terhadap rezim Budhis di Thailand, dapat dirujuk dari tampilnya Majapahit di abad 14 yang berhasil menahan ambisi Siam. Bagaimanakah posisi Indonesia menghadapi kekejaman di wilayah selatan Thailand? Apakah kita berdiam diri belaka? Bukan memberi dukungan kongkrit, pemerintah kita malah asyik mengimpor beras, sayur-sayuran dan buah-buahan dari Thailand. Padahal, sebagian besar hasil eksport Thailand itu berasal dari wilayah selatan Muslim yang kini masih dijajah pemerintahan Budhis.
Ironi besar sepanjang sejarah kemanusiaan, bila kita bersahabat dengan musuh ideologis. Saatnya sekarang, pemerintah Indonesia bersikap tegas kepada Thailand: hentikan kekerasan di wilayah Selatan dan beri mereka otonomi khusus sesuai amanat konstitusi Thailand sendiri! Jika UU Darurat masih terus diberlakukan dan penindasan terhadap kaum muslim Patani dikekalkan, maka kita wajib memboikot seluruh produk asal Thailand dan memutuskan hubungan diplomatik. Bahkan, rezim penindas di Thailand (khususnya, di masa eks PM Thaksin Shinawatra) patut dibawa ke Mahkamah Internasional atas segala kekejamannya.

No comments:

Post a Comment